Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan.
"Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.
Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia selalu berulah dengan segala sisi buruknya.
"Sayang ..." Sultan memanggil lembut.
Hening. Masih tidak ada jawaban.
"Aku memohon padamu, semuanya akan jelas setelah kita berbicara." Bahkan, Sultan sampai merengek, tetapi sama sekali tidak menggugah hati Arimbi.
Mengacak rambutnya frustrasi, Sultan pun balik arah meninggalkan kamar Arimbi. Usahanya masih tidak berhasil, wanita itu sangat marah. Meminta bantuan Marlina juga percuma, Arimbi kekeuh tidak ingin melihatnya bahkan dia mengancam tidak akan makan.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Marlina.
"Dia masih marah padaku, Bu."
"Tuan yang sabar ya, mungkin tidak sekarang, tapi lain waktu." Marlina berusaha menenangkan Sultan yang tampak begitu sedih. Kantung matanya sampai menghitam.
Tiba-tiba dari arah depan Ratih datang dengan ceria, lantas memeluk Sultan tanpa permisi. Tidak Sultan maupun Marlina menganga kaget. Sejak hari itu Sultan memang mencabut peringatannya pada satpam dan bebas menerima Ratih sebagai tamu, tetapi tidak seperti ini juga caranya. Ratih sangat lancang dan tidak tahu malu.
"Lepaskan tanganmu." Sultan berontak, menarik paksa dirinya sampai Ratih tersingkir. Wanita itu pun tertawa geli.
"Aku sudah mendapat gaun yang tepat untuk acara pernikahan kita nanti."
"Harus berapa kali aku katakan padamu, batalkan semuanya!" bentak Sultan, tangan kekarnya mendorong tubuh Ratih yang terus menempel. "Sekarang, pergi dari rumahku."
Seakan tuli Ratih malah semakin masuk ke dalam rumahnya menuju dapur, tidak lama dia kembali dengan buah apel di tangan. Bagaikan rumah sendiri Ratih bebas melakukan apapun, mengambil makanan dan minuman dengan sesuka hati. Sultan pun geram. Marlina sudah menceritakan semuanya pada Sultan. Segala cara juga sudah dilakukan, tetapi Ratih semakin menjadi seakan belum puas bermain-main sebelum keinginannya terwujud.
"Biarkan aku yang mengurus semua konsepnya, kamu cukup menunggu hasil dan percayakan kepadaku. Aku tahu kamu sedang stres, Tuan. Jadi, kamu tidak perlu ikut memikirkan bagaimana jadinya, karena aku yang akan menyiapkan seluruhnya," kata Ratih dengan santai, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan dua gaun mewah bewarna merah keemasan.
Ketika Ratih mengulurkan ke arahnya, Sultan pun segera mengambilnya, lantas membanting ponsel itu hingga terbagi menjadi dua. Ratih sempat kaget, tetapi tidak berlangsung lama karena kedatangan Arimbi mengubah suasana menjadi lebih memanas. Kesempatan itu Ratih ambil sebaik mungkin, dia berlari mendekati Sultan, lalu menciumnya di depan Arimbi.
"Kalian ..." Napas Arimbi bagaikan tersekat, sakit bukan kepalang.
"Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat." Sultan menghampiri Arimbi yang sudah menangis hebat, setelah berhasil menyingkirkan tubuh Ratih.
"Aku sudah tidak percaya denganmu lagi, Mas." Isak tangis Arimbi semakin keras, dadanya terasa sangat sesak. "Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, dan sekarang aku ingin kita pisah."
***
Tiga hari sudah berlalu pascaoperasi, Hanna duduk dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Dokter dengan beberapa suster sudah siap membuka perban di wajah Hanna, sementara Leo berdiri di dekat jendela membiarkan pihak rumah sakit bekerja. Setiap detik seakan berjalan lambat bagi Hanna, dirinya tidak sabar melihat wajahnya yang rusak kembali seperti dulu. Setidaknya itu yang suster katakan setiap kali memeriksa keadaannya.
"Mungkin, untuk beberapa hari kulit akan sangat sensitif. Kami anjurkan agar tetap berada di dalam ruangan." Dokter terus berbicara, sedangkan Hanna hanya mendengarkan saja tanpa memberikan reaksi apapun.
"Tapi, kalau untuk melatih pigmen kulit, sister boleh berjemur di bawah matahari pagi sekitar 1-2 jam."
Helai demi helai perlahan jatuh ke tangan dokter, menariknya dengan sangat lembut, bahkan tidak terasa. Kedua mata Hanna masih tertutup rapat, menunggunya sampai selesai.
"Setelah perban terbuka sempurna, kami harapkan jangan membuka mata terlebih dulu ya," pinta salah satu suster, Hanna mengangguk paham.
"Berikan cerminnya, Sus." Dokter itu meminta sebuah cermin, tersenyum lebar seakan puas dengan hasilnya. "Sesuai ekspetasi, sister. Sekarang, kamu bisa membuka mata perlahan."
Jantung Leo berdetak lebih cepat, memerhatikan bulu mata Hanna yang bergerak lambat. Menyaksikan reaksi terkejutnya saat melihat wajah Arimbi yang berada di dalam cermin. Dengan tidak percaya Hanna meraba segala sisi wajah itu, dan menggeleng keras.
Hanna tampak tidak terima, meraih cermin tersebut, lalu melemparnya ke sembarang arah. "Itu bukan wajahku."
Dokter dan beberapa suster juga kaget melihat reaksi Hanna. Bahkan, salah satu suster berinisiatif memberikan obat penenang kepada Hanna, yang begitu histeris dan terus menggeleng. Terang saja Leo mencegahnya, tidak membiarkan Hanna mendapat obat di luar rasa sakit yang dia alami. Dengan sigap Leo mendekati Hanna, memberi pengertian kepada dokter dan suster.
"Jangan cemaskan pasien, Dok. Saya yang akan mengatasinya, sekarang tolong tinggalkan kami berdua di sini."
Sepeninggal dokter hingga menyisakan Leo dan Hanna, kedua anak manusia itu saling tatap tanpa suara. Air mata terus mengalir di pipi Hanna yang kemerahan, dia tampak begitu terpukul mengetahui wajahnya telah berubah.
"Kenapa kamu membiarkannya, Leo?" tanya Hanna dengan nada yang tinggi.
"Sungguh! Aku sama sekali tidak tahu apa yang Sultan rencanakan padamu. Aku tahu terlambat, saat dokter bedah mengembalikan foto referensi. Ternyata Sultan memberikan foto pernikahannya dengan Arimbi, maka dari itu hasilnya seperti yang terlihat."
"Asal kamu tahu, Leo? Bahkan, hingga detik ini aku tidak pernah rela Sultan menganggapku sebagai bayang Arimbi. Aku berpura-pura sudi di hadapannya dengan menaruh harapan yang besar, jika suatu saat Sultan akan melihatku sebagai Hanna bukan wanita lain. Tetapi sekarang apa yang harus aku lakukan? Sultan mengubah wajahku menjadi wanita yang dicintainya, dengan begitu dia tidak akan pernah bisa mencintaiku." Di tengah tangisannya Hanna mengungkapkan kekhawatirannya yang membuncah.
"Nasi telah menjadi bubur, Hanna. Semua sudah terlanjur, aku juga tidak menginginkan ini sampai terjadi," tutur Leo selembut mungkin, seraya menjangkau tubuh mungil Hanna.
Wanita itu tidak menolak, Hanna menerima dekapan Leo yang hangat, dan menumpahkan kesedihannya di dada bidang Leo. Ini bukan masalah yang ringan, Hanna juga tidak bisa memberontak. Semua atas permintaan suaminya sendiri. Sekeras apapun Hanna menolak atau bahkan menuntut Sultan, tetap tidak bisa mengembalikan wajahnya seperti dulu. Akan sia-sia.
"Tetaplah menjadi Hanna yang semua orang kenal, murah hati, dan berjiwa malaikat." Leo berbisik rendah, Hanna hanya mengangguk meski terasa berat.
Perasaan Hanna benar-benar sulit dijelaskan, semua terjadi begitu saja sesaat Leo melepaskan pelukannya, mereka berciuman selayaknya sepasang kekasih. Leo melakukannya dengan sangat lembut, dan penuh kasih sayang. Keduanya terbawa suasana yang menenangkan, sehingga larut dalam gelombang cinta yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...