Begitu melihat punggung belakang Leo yang menghadap jendela, Ratih langsung berlari dan mengagetkannya dengan pelukan erat. Hampir tiga hari Ratih tidak bertemu Leo, wanita itu merindukannya. Mengecup pipi Leo dari samping Ratih meninggalkan cap bibir di sana, dia pun terkekeh geli. Namun, Leo masih tetap pada posisinya, seakan enggan menanggapi kehadiran Ratih yang selalu riang.
Menyadari itu Ratih memberengut sebal, dengan jengkel ditariknya jambul Leo hingga sang empunya menoleh. Ketika tatapan mereka bertemu, Ratih melihat kekecewaan di bola matanya yang redup. Ratih jadi bingung, mengingat Leo sendiri yang memintanya datang ke apartemen.
"Hei, ada apa dengan dirimu?"
Tidak menjawab Leo malah membuang muka. Menghindari tuntutannya Ratih.
"Leo, ceritakan padaku. Apa kamu ada masalah?" tanyanya menggebu, perasaan Ratih jadi tidak enak.
"Aku marah denganmu Ratih, karena kamu melakukan sesuatu yang sangat nekat tanpa memberitahuku."
"Apa yang kamu maksud nekat itu ..." Tawa Ratih spontan pecah, saat tahu pengorbanannya membuat Leo kesal. "Oh, hahaha, kamu lucu sekali."
Sambil memegangi perutnya Ratih meninju lengan kekar Leo, yang dia yakini tidak akan terasa baginya. Di saat Ratih sedang merancang suatu rencana yang lebih nekat, Leo malah menaruh kekecewaan atas hilangnya keperawanan Ratih. Menggelikan.
"Salahkan dirimu, Leo. Kenapa kamu selalu menolakku saat aku mengajak berhubungan? Hah?" tanyanya gemas.
"Aku tidak ingin melakukan dengan wanita yang tidak aku cintai, Ratih."
"Lalu, kenapa kamu cemburu?"
"Bukan cemburu, aku merasa jika pilihanmu sangatlah nekat, bahkan kamu merusak harga dirimu."
Bukannya sadar Ratih malah semakin terkekeh geli. Menurutnya Leo sudah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang hilang dari dirinya, padahal di antara mereka tidak ada hubungan sama sekali. Benar-benar menggelikan.
"Semuanya butuh pengorbanan, Leo. Sekarang aku bahkan berharap bisa menikah dengan Sultan, dan membuat dirinya tergila-gila denganku. Sungguh keren kan?" Ratih membayangkan sesuatu yang belum terjadi, lalu dia tertawa lagi.
Ide wanita itu memang tidak pernah ada yang lurus. Leo kerap menasihati, tetapi Ratih selalu mengabaikannya. "Kamu sudah tidak waras."
Beranjak menuju lemari pakaiannya, Leo mengambil jaket kulit. Mengobrol dengan Ratih sama sekali tidak sedikit pun mengurangi frustrasinya, bahkan bertambah parah. Padahal, Leo juga ingin bertukar pikiran kalau saja Ratih mengakui jika yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Sekarang Leo hendak pergi menemui Sultan, lelaki itu terus menghubungi seakan terdesak. Sultan pasti kebingungan.
Untung saja kali ini Ratih tidak cerewet, dia hanya memerhatikan Leo, dan membiarkannya pergi tanpa bertanya. Lagipula Ratih tidak berhak apapun atas Leo, yang penting dia masih bisa melihatnya saja itu sudah cukup. Kini, Ratih ingin beristirahat dengan tenang, sambil menunggu Leo pulang membawa makanan yang lezat.
"Ah, akhirnya kamu datang juga." Sultan mempersilakan Leo masuk, menggiringnya ke satu ruangan.
Leo membuka sarung tangan yang dia gunakan, lalu mengambil teh hangat. "Maaf, cuaca di luar sangat dingin."
Mengangguk paham Sultan menarik gorden yang terjangkau, sehingga menutup sebagian jendela. Bertemu dengan Leo kembali membuat hatinya sedikit lega. Ada banyak hal yang akan Sultan sampaikan. Selama ini hanya Leo yang bisa membantunya, Sultan cukup memercayai kebaikan hati Leo.
"Leo, aku perlu bantuanmu." Tanpa basa-basi Sultan mengungkapkan kegundahan hatinya yang begitu tajam. "Aku membutuhkanmu beberapa hari yang lalu, tapi ponselmu tidak aktif."
Menaruh gelas yang berisi teh miliknya, Leo mulai merespons rintihan Sultan. "Soal apa?"
"Ada banyak sekali masalah yang datang di hidupku, bahkan aku sampai bingung memulainya dari mana. Tapi, yang jelas masalah terbesarku sekarang dengan Ratih perawat Arimbi dulu. Aku curiga dengannya, setelah kepergiannya beberapa waktu silam. Dia bukan wanita yang baik. Leo, apa kamu mengenal tunangannya Angga?"
Pertanyaan Sultan begitu menohok tenggorokkan Leo. Lelaki itu terbatuk, tersedak makanannya tadi di kereta.
***
Menyibakkan selimut tebalnya dengan cepat Hanna duduk saat wajah ramah Leo kembali muncul di ingatan, secara berulang-ulang. Ini sudah ketiga kali Hanna bangkit, dan gagal tertidur lelap. Perkataan Leo terus terngiang di pikirannya, hingga menjelang subuh. Terus terang Hanna penasaran dengan apa yang Leo pendam? Dugaannya pun menerka jika lelaki itu telah menyukai dirinya, entah kenapa Hanna jadi takut.
Sultan bukan orang yang berperasaan dan tega melakukan sesuatu terhadap siapapun. Terkhusus orang yang telah membuat darahnya naik. Hanna takut kejadian yang nyaris merenggut nyawanya terulang lagi. Sekarang, Hanna tidak hanya mencemaskan dirinya sendiri, tetapi dia juga khawatir dengan Leo.
"Nak, sudah adzan subuh." Panggil sebuah suara, Hanna pun beranjak.
"Iya, Paman. Hanna sudah bangun." Wanita itu menyahut, dengan cepat membuka pintunya dan tersenyum.
Setelah paman Hasan berangkat ke mushola terdekat, Hanna mengunci pintu dari dalam. Wanita itu lantas menuju sumur, membasuh wajah, dan mensucikan diri. Sejak kecil Hasan memang sudah menanamkan nilai agama kepada anaknya, beliau mengajarkan dan melatih Hanna untuk taat pada Sang Pencipta.
"Allahu akbar." Mengangkat takbir Hanna mulai membaca bacaan salat.
Seusai salam Hanna pun menengadah ke atas, pikirannya yang resah sedikit terobati. "Alhamdulillah."
Mengusap kedua matanya yang perih, Hanna buru-buru bangkit saat melihat gumpalan asap di atap. Dengan panik Hanna pun berlari membuka pintu kamar, batinnya berteriak menghadapi asap yang datang semakin banyak.
"Paman, kebakaraan!" pekik Hanna.
Dalam hitungan detik api merambat naik ke atas dan memenuhi bola mata Hanna. Wanita itu bertambah panik. "Pamaan, tolong Hanna."
Melihat api yang kian menjulang tinggi kedua kaki Hanna melemas, dadanya pun terasa sesak. Hanna kehabisan akal dan terduduk di lantai yang sudah panas. Api menyambar-nyambar kulitnya, Hanna hanya bisa menangis.
"Mas Sultan, toloong a-ku." Rintihnya di dalam ringkukan. Dia ketakutan.
"Hanna, di mana kamu, Nak?" Suara sang paman memanggil-manggil namanya. Hanna semakin terisak.
Jiwanya ingin sekali bangkit, tetapi dia tidak kuasa. Hanna benar-benar lemah, dan tidak berdaya. "Paman ..."
"Iya, Nak. Katakan kamu di mana?"
Mengatur napasnya yang menyempit, semampunya Hanna bertahan. "Ya Allah, selamatkan aku dan janinku."
Bersamaan dengan Hasan beserta dua orang lainnya muncul, sebatang kayu roboh dan mengenai pundak Hanna. Kobaran api yang membara membakar sebagian tubuh rapuh Hanna, yang sudah terkulai tidak sadarkan diri.
"Astagfirullah, Hanna." Dengan sigap Hasan beserta kedua temannya mendekati Hanna, dan berusaha memadamkan api di sekitarnya.
Semua dilakukan dengan cepat oleh kedua teman sang paman. Keduanya berhasil mengangkat tubuh Hanna keluar. Tangis Hasan tidak terbendung lagi, lelaki tua itu sangat menyayangi anaknya. Tanpa membuang waktu Hanna langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, sementara Hasan meminta tolong kepada kepala Kades agar menghubungi Sultan dan Leo.
Bagaimanapun Sultan masih suami sah Hanna. Dia berhak mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya. Hasan berharap jika Sultan bisa menolong Hanna, dan mempermudah perawatan luka bakarnya yang merusak wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...