22

152 3 0
                                    

Arimbi? Hanna menatap kalung yang masih menggantung di leher putihnya.

Perlahan, Hanna meraba benda kecil itu, menggenggam nama seseorang yang telah menjadi saingannya selama ini, dan dia selalu terkalahkan. Sejak menikah tidak pernah sekalipun Hanna menang dari Arimbi. Wanita itu seolah menutup kebahagiaan dirinya. Hanna tidak membenci Arimbi, nasibnya saja yang malang.

Menyeka ujung matanya Hanna pun tersenyum, mencoba untuk tidak menangisi hal yang sama. Leo benar, Hanna berhak bahagia dengan cinta yang tepat. Orang itu bukanlah Sultan. Cintanya hanya untuk Arimbi bukan Hanna. Mengingat bunda sudah tiada sehingga tidak ada alasan bagi Sultan menahannya, dan Hanna telah siap.

"Cukup sudah aku menanggung sakit." Hanna melepaskan kalung pemberian Sultan, lalu menaruhnya di atas meja.

Namanya Hanna bukan Arimbi, jadi dia berhak melepasnya kapan pun.

"Nona Arimbi," panggil sebuah suara.

Hanna meringis, tetapi dia tidak tega memarahi Marlina yang sudah baik. "Ada apa, Bu?"

"Tuan Sultan menelepon, dan ingin berbicara dengan Nona." Deg! Aliran darah Hanna berdesir. Tidak munafik dia merasa senang Sultan mengingatnya.

Buru-buru Hanna bangkit, menerima ponsel yang Marlina berikan. Wajah Hanna pun berseri mendengar Sultan menyapanya dengan hangat, bahkan sebelum dia bersuara. Saking terharu Hanna sampai meneteskan air mata.

"Alhamdulillah, aku baik, Mas."

"Sayang, apa kamu merindukanku? Maaf yang kemarin, aku benar-benar sibuk dan stres memikirkan Arimbi."

"Aku sangat merindukanmu, Mas. Kembalilah, calon anak kita juga menunggu perhatian dari ayahnya."

"Iya, Sayang, aku segera kembali. Istri pertamaku Arimbi juga sudah sadar, kami akan kembali besok atau lusa."

Hanna menangkup dadanya yang menghangat. Perkataan Sultan sukses mengembalikan hatinya yang sakit. Percaya atau tidak bahkan Hanna melupakan niat awalnya, hendak meminta cerai begitu Sultan pulang. Memberi ponselnya kembali pada Marlina, Hanna pun berlari kecil menuju meja rias dengan hati riang.

"Bu, apa kehamilan membuat wajahku berubah jadi jelek?" Sambil manatap wajahnya di dalam cermin Hanna bertanya.

"Hmm, tidak, Non. Bahkan, kamu semakin terlihat cantik." Marlina menjawab jujur. Hanna tersenyum.

"Ah, aku tidak sabar menunggu besok," ungkapnya seperti ingin terbang.

Marlina yang melihat reaksi Hanna hanya menggelengkan kepalanya. Wanita itu tampak bahagia sekali. Perasaannya selalu berubah-ubah mengikuti alur yang ada. Sampai di sini Marlina paham jika sebenarnya cinta Hanna yang tulus membutakan segalanya, dan dia masih mengharap perubahan Sultan.

Menghampiri Hanna, dengan lembut Marlina merapikan rambutnya yang berantakan. "Jangan tinggalkan Tuan Sultan, Non. Percayalah! Hanya kamu satu-satunya wanita yang bisa mengubah kepribadian lain Tuan."

Sontak Hanna terdiam seakan teringat sesuatu. Matanya berkedip cepat menetralisir apa yang telah terjadi. Saat semuanya sudah jelas Hanna seperti orang kebingungan.

"Menurut Ibu, apakah Mas Sultan bisa berubah?" tanyanya begitu dalam.

"Ya, beliau pasti akan berubah."

Dengan pikiran bercabang Hanna menatap kosong wajahnya yang datar di dalam cermin. "Aku akan bertahan jika itu memang benar, Bu."

Mengangguk antusias Marlina pun memeluk Hanna dengan erat. Sebagai seorang wanita yang sudah tua, posisi Marlina tidak hanya pekerja, tetapi dia juga berperan sebagai orang tua. Tidak ada hal lain yang Marlina ingin selain melihat majikannya bahagia.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang