Seketika suasana menjadi tegang, di belakang Leo mengikuti langkah Sultan yang menariknya masuk ke dalam. Tidak ketinggalan Hanna juga ikut mengejarnya, disusul oleh Marlina dan Arimbi. Tanpa berkata Sultan menurunkan ranselnya saat Leo sudah duduk di sofa. Dengan cepat lelaki itu mengeluarkan amplop, kemudian menyerahkannya pada Leo yang mulai kebingungan. Hanna jadi penasaran.
"Apa ini?" Leo menatap amplop putih itu dengan wajah polos.
"Buka saja, dan lihat isinya." Tantang Sultan, matanya sudah menyala api.
Tanpa berpikir panjang Leo pun merobek ujungnya hingga setengah, lalu mengeluarkan beberapa foto dirinya bersama Hanna yang diambil begitu apik. Mulai dari kegiatan Leo dan Hanna di rumah sakit, sampai tiba di rumah semuanya dipotret oleh kamera seseorang dengan sengaja.
Hanna menganga, sama kagetnya seperti Leo. Kebersamaan mereka diabadikan lewat gambar. Jika sudah seperti ini Sultan pasti salah paham. Wajahnya tampak merah padam, dan terbakar. Menatap Leo dan Hanna secara bergantian, seakan telah siap menyerang keduanya yang berkhianat.
"Mas, aku bisa jelasin." Hanna merintih.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, bagiku semuanya sudah jelas!" telak Sultan, menyambar lima lembar foto yang dipegang Leo dengan dongkol dirobeknya kecil-kecil.
Hati kecil Hanna langsung menciut. Rasa takut mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Leo juga masih terdiam.
"Aku tidak menyangka denganmu, Leo. Kamu sudah mengkhianatiku."
Mengambil tangan mungil Hanna yang sudah sedingin es, Leo sedikit mengangkatnya. "Lihat, Sultan? Dia ketakutan. Seperti bukan berhadapan dengan suami, tetapi monster."
Sultan berdecih, tanpa aba-aba ditariknya Hanna paksa. Wanita itu hampir tercekik tenggorokkannya sendiri karena kaget. Sultan mengambil Hanna dari jangkauan Leo, tidak mengijinkannya menyentuh sang istri.
"Pergi dari rumahku sekarang!" bentak Sultan, dan Hanna menangis takut.
"Oke, biarkan Hanna ikut bersamaku. Aku tidak yakin dia akan aman jika masih tinggal denganmu."
"Lucu sekali dirimu, Leo. Wanita ini masih istriku, bahkan dia sedang mengandung anakku. Jangan harap, aku membiarkannya bahagia dengan seorang pengkhianat sepertimu."
Oh, itu dalam sekali. Tangis Hanna pecah. Sungguh! Hanna tidak pernah tahu jika obrolan manis Sultan lewat telepon kemarin sore hanya alibi semata, yang ingin memastikan jika istri malangnya masih tulus mencintai. Padahal, sebenarnya Sultan sudah mendapat informasi itu lebih dulu. Dia pandai berakting menarik perhatian Hanna untuk menahan lebih lama.
"Leo, pergilah." Permintaan Hanna sukses membuat Leo melotot sempurna, sungguh tidak mengerti. "Aku tidak apa-apa."
Sultan tersenyum menang, sedangkan Leo menggelengkan kepalanya. Lelaki berjas hitam itu menatap wajah Hanna dengan sendu, seakan memastikan sesuatu. Apa dia siap menjadi santapan amukan Sultan? Namun, Hanna berpaling cepat, sehingga Leo tidak menemukan keteguhan hatinya.
"Aku akan melaporkanmu, Sultan. Jika terjadi sesuatu pada Hanna," ancamnya.
"Lakukan, jika kamu bisa memberi bukti yang kuat." Sultan tertawa geli.
Sekali lagi Leo menatap ke arah Hanna yang terus menunduk, terasa berat meninggalkannya, tapi dia harus pergi. Dengan setengah hati Leo pun beranjak, setelah menyertakan doa untuk kebaikan Hanna yang malang. Tubuh Hanna melemas sesaat Sultan melepas lengannya, dan memberikan pada Marlina. Separuh jiwanya seakan menghilang, dengan kesadaran di bawah alam Hanna berjalan tertatih di dalam pelukan Marlina yang kencang.
"Berikan vitaminnya, dan biarkan dia istirahat." Pesan Sultan pada Marlina. Wanita itu hanya mengangguk tanpa berbalik. Dia berkata lagi, "setelah itu siapkan makanan untuk Arimbiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...