28

137 2 0
                                    

Suasana hati Sultan sedang baik, raut wajahnya yang biasa menegang kini memancarkan aura positif. Lelaki itu tersenyum di sepanjang jalan, banyak karyawan menyapanya dengan ceria. Hari ini Sultan ada pertemuan yang sangat penting, dengan jajaran tinggi sampai pimpinan besar. Undangan seperti ini jarang Sultan dapatkan, menghadirinya akan menjadi suatu hal yang membanggakan.

Membuka berkas di atas meja, Sultan berdecak kagum atas proposal yang baru saja diajukan oleh seseorang. Di samping menawarkan kerja sama menjanjikan, angka keuntungan juga cukup fantastis. Tanpa membaca keseluruhan Sultan menandatangani proposalnya, dan langsung menelpon kepala cabang untuk menyetujuinya.

"Ya, setujui kerja sama itu, aku akan segera mengurusnya setelah pulang dari undangan makan malam." Pesan Sultan tanpa ada penolakan, lantas lelaki itu bangkit seraya membenarkan dasi yang dia kenakan.

Telepon di atas meja berdering, Sultan meliriknya sekilas, lalu menjawab. "Silakan masuk."

Sekretaris kepercayaan Sultan masuk, dengan sedikit membungkuk wanita itu berkata sangat sopan. "Ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak."

"Siapa namanya?" tanya Sultan tegas.

"Dokter Frans," jawabnya. Tanpa bertanya lagi Sultan meraih ponselnya di atas meja, lalu keluar ruangan.

Sultan memang sudah menunggu lama kedatangan dokter Frans, memintanya menyelidiki obat yang terjatuh di lantai kamar istrinya dirawat. Dengan tidak sabar Sultan menghampiri Frans, yang tengah duduk di ruang tunggu. Seakan mengetahui maksud Sultan lelaki itu pun mengikutinya ke sebuah ruangan, yang lebih tertutup dan nyaman.

"Maaf sudah menunggu lama," kata Sultan, lalu mereka berjabat tangan.

"Aku datang ingin menyerahkan hasil lab, mungkin bisa membantumu." Frans menyodorkan secarik kertas pada Sultan, dengan cepat dibacanya, meski tidak mengerti.

Melihat perubahan wajah Sultan, Frans berdeham. Dengan begitu Sultan memberi kembali kertas tersebut, meminta penjelasan dari Frans yang memahami persoalan laboratorium. Saat Frans mulai menjelaskan Sultan mendengarkan dengan baik, sesekali melihat pada kertas yang tertera.

"Obat ini bukan pertama kali masuk ke dalam tubuh istri Anda, sehingga menyulitkan pemulihan. Crystal Meth adalah obat-obatan yang sangat mudah menyebabkan ketergantungan, dan berdampak buruk sistem syaraf pusat." Terang Frans sambil menunjukkan kertas lain, tampak bagian syaraf Arimbi terhambat dengan tumpukan hitam.

Darah Sultan mendidih, marah bukan kepalang. Dia tahu siapa pelakunya. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Tidak ada jalan pemulihan lagi. Racun itu sudah bertumpuk, bahkan menyebar ke syaraf yang lain."

"Oh, astaga! Kenapa harus Arimbi yang mendapat penyakit seberat itu." Dada Sultan terasa sesak, menyayangkan kenapa bukan dirinya saja yang sakit.

"Tapi, saya akan terus mencari cara. Ini semua berkat Leo kerabat kecilku, dan aku sudah berjanji padanya agar memberikan penanganan terbaik, kepada Arimbi istrimu." Ungkap Frans.

Mendengar nama Leo sontak Sultan terdiam. Sejak hari itu Sultan tidak pernah bertemu maupun menghubungi Leo, padahal mereka masih ada kontak dengan dokter Frans. Terus terang semuanya Leo yang mengurus, sedangkan Sultan hanya menerima bersih. Terlebih lagi dokter Frans telah mengingatkannya jika Sultan masih membutuhkan jiwa penolong Leo.

Ratih yang mencurigakan membuat Sultan berpikir jika Leo bisa menjadi rekannya dalam mencari tahu sosok aslinya. Setelah ini sepertinya Sultan akan menghubungi Leo, membuang rasa kesalnya yang sempat memuncak.

"Terima kasih, Dok, atas kunjungan dan penjelasannya." Sultan mencoba tersenyum ramah, lalu mereka pun berjabat tangan kembali.

Sepeninggal dokter Frans, tanpa berpikir panjang Sultan mencari kontak Leo, dan menghubunginya segera. Cukup lama Sultan menunggu, sebelum akhirnya suara Leo menyahut di sebrang.

***

"Bagaimana?" tanya Ratih penasaran.

Dengan malas Leo menjawab. "Beres."

Wanita berlipstik merah itu langsung tersenyum, matanya menerawang jauh membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Dengan penuh semangat Ratih mengambil sepatunya di bawah tempat tidur, lalu mengecup cepat pipi Leo. Sambil melambaikan tangannya yang gemulai Ratih menarik kenop pintu, dan menghilang di balik pilar tembok.

Menuju kaca yang menggantung, Leo mengelap bekas bibir yang terlihat di pipinya. Menggelikan. Semakin lama Ratih berubah menjadi wanita yang liar. Leo prihatin melihat keadaannya, tetapi dia juga tidak bisa melakukan apapun selain memperingati, memberi nasihat, atau sekadar menegur.

"Maafkan aku, Ratih. Selama ini aku tidak ikut membantumu, bahkan selalu bertentangan dengan apa yang kamu lakukan. Sultan sahabatku, apalagi sekarang aku juga memiliki tujuan sendiri. Membuat Arimbi sembuh adalah tujuan utamaku. Dengan begitu Hanna akan mudah kumiliki, dan membuktikan bahwa sesungguhnya aku bukan seorang gay," gumam Leo.

Pikiran Leo berputar, mengingat kisah persahabatan mereka dulu. Penuh tawa dan saling melindungi. Untuk membenci Sultan bagi Leo sangat berat. Bahkan, sekalipun hubungan keduanya sudah buruk Leo masih berharap Sultan bersedia berteman dengannya.

"Maafkan aku juga, Sultan. Aku telah menyembunyikan Wulan darimu. Jujur! Rasanya aku tidak bisa memilih antara dirimu dan Angga. Jasa kalian berdua sangat besar padaku, yang jelas sekarang aku merasa telah bersikap adil dan pertengahan." Leo melanjutkan.

Membatalkan janji temunya dengan klien, Leo pun bersiap-siap ke rumah Sultan. Mengenakan pakaian terbaik dan memakai parfum yang sama saat dirinya menjaga Hanna di rumah sakit. Bertemu dengan Hanna adalah impian terbesar Leo setelah insiden murkanya Sultan. Leo sudah sangat merindukan wanita itu, dan ingin tahu langsung keadaannya sekarang.

"Halo, aku sudah di rumahmu."

"Apa masih lama? Kalau iya aku bisa pulang, ini sudah malam, tidak enak."

"Ah, ya sudah. Aku akan menunggu."

Tet. Sambungan telepon terputus.

Melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, perlahan Leo berjalan menuju pintu, dan menekan belnya. Tidak butuh waktu yang lama pintu pun terbuka, memunculkan sesosok wanita cantik dengan penampilan sederhana, akan tetapi selalu mewah di mata Leo. Wanita itu tampak kaget.

"Leo?" Dia mencoba memastikan.

Dengan wajah semringah Leo menatap Hanna yang terlihat semakin cantik, lalu menyapanya. "Halo, Hanna. Apa kabar?"

"Alhamdulillah, aku baik. Tapi ... Leo maaf, bukan aku tidak senang melihatmu lagi, aku takut jika Mas Sultan pulang dia akan marah kepadamu." Hanna berkata cepat.

"Sultan yang memintaku ke sini," jawab Leo dengan santai, Hanna jadi bingung.

Tidak lama Marlina datang dengan ponsel yang masih menyala, lantas memberikan pada Hanna. "Nona, ada telepon dari Tuan Sultan."

Melipir ke dalam, Hanna menjawab telepon dari suaminya itu. Mereka mengobrol hanya sebentar, Sultan kelihatan sangat sibuk di tengah acara yang terdengar ramai. Dia berpesan agar menerima Leo di rumahnya, dan mengatakan akan pulang sedikit lama.

"Baiklah, Leo, silakan masuk." Ajak Hanna sembari membuka lebar pintunya, mereka pun beriringan jalan.

Saat Marlina ke belakang, mengambil jamuan untuk tamu. Mau tidak mau Hanna duduk menemani Leo dengan canggung, tatapannya selalu ke bawah, berusaha menjaga diri dari hal yang tidak diinginkan. Kepercayaan Sultan terhadapnya sangat mahal, Hanna tak ingin kejadian tempo lalu terulang.

"Hanna, kenapa kamu canggung? Bukankah kita berteman?" Suara Leo terdengar begitu sedih. Tidak menyangka Hanna akan bersikap beda.

"Maafkan aku, Leo. Sungguh! Aku tidak bermaksud menyakitimu, ada baiknya kita saling membatasi diri."

"Jika kamu tidak melakukan kesalahan kenapa harus canggung?" tuding Leo, semakin dalam menatap mata Hanna yang selalu menghindar.

Jantung Hanna berdetak tidak keruan, saat Leo menggenggam tangannya yang sudah berkeringat dingin. Merasakan kegugupan Hanna yang bertambah kuat. Leo jadi curiga dengan sikap Hanna. Apakah dia juga merasakan hal yang sama?

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang