25

153 4 0
                                    

Mengambil keputusan tinggal dengan Sultan adalah pilihan terakhir yang Hanna tetapkan, selain harus berpisah. Kenyataannya hubungan mereka semakin harmonis, bahkan Sultan tidak pernah marah-marah lagi. Hanna menjalankan tugasnya sebagai istri yang baik, dan Sultan memperlakukannya dengan istimewa. Setiap hari keduanya selalu terlibat bersama, melakukan sesuatu berdua selayaknya pasangan baru menikah.

Soal Arimbi yang kembali tidak begitu menjadi masalah. Keseharian wanita itu selalu disibukkan dengan berbagai permainan baru, Marlina menjadi teman setianya sebagai pelengkap. Di samping semua itu tentunya Sultan juga memantau, terkadang mengajak Hanna ikut mengunjungi Arimbi, dan mereka bermain bersama.

"Selamat pagi, Sayang." Dari belakang Sultan memeluk Hanna, lalu mengecup pipinya dengan mesra.

Hanna berjengit kaget, dipukulnya kedua tangan lelaki itu yang berada di perutnya dengan kesal. "Kamu mengangetkanku, Mas. Jangan terlalu kencang, nanti anak kita kesakitan."

Seakan teringat Sultan melonggarkan pelukannya, kekehannya di rambut Hanna terdengar sangat jelas. Karena merasa terganggu Hanna akhirnya berbalik, meninggalkan potongan sop yang dia kerjakan untuk melengkapi nasi goreng. Sementara waktu terus berjalan, sehingga Hanna tidak yakin akan selesai tepat waktu.

"Bisakah kamu duduk di meja makan, Mas? Kalau kamu mengganggu terus sarapanmu tidak akan selesai."

"Memangnya siapa yang mau sarapan?" tanya Sultan berlagak pilon, sontak Hanna melotot. "Hari ini aku libur, maaf, lupa memberitahumu."

"Mas, Sultan ..." Hanna jadi geram sendiri. Sekarang wanita itu bebas mengekspresikan diri seperti wanita pada umumnya, manja dan lucu.

Mengacak rambut Hanna yang sudah disisir rapi, Sultan pun menariknya menuju ruangan pertama kali mereka makan bersama. Kini, di meja yang sama telah penuh dengan berbagai makanan. Lengkap dengan sop iga di tengahnya. Tidak lama Arimbi datang, di sebelahnya ada Marlina yang mendampingi.

"Sekarang, sop iga ini bukan untukmu, tapi khusus untuk Arimbi yang asli." Sultan menjelaskan, seolah bisa membaca pikiran Hanna.

Tertawa kecil, rasanya Hanna bahagia sekali melihat Sultan yang sekarang.

"Kemari, Sayang," pintanya kepada Arimbi, lalu menuntun wanita itu duduk di salah satu kursi yang ada. "Pagi ini kita akan sarapan bersama."

Saat Hanna hendak menarik kursi untuknya sendiri Sultan melarang. Dengan cepat lelaki itu mendekati Hanna, kemudian mengarahkannya pada kursi pilihannya. Hanna jadi malu, apalagi Marlina terus menatap kegiatan mereka yang tampak lucu.

"Kamu juga istriku, jadi harus diperlakukan manis juga, dan duduk di sebelahku." Sultan berkata tanpa beban, Hanna pastikan perasaannya juga tengah berbahagia.

Menyeka sudut matanya, air mata Hanna jatuh sendiri. Sungguh terharu dengan perubahan Sultan yang cepat. Terlalu dalam luka yang Sultan toreh, akan tetapi semua itu telah terobati. Hanna bahkan tidak merasakan sakit yang kemarin, saking besarnya rasa bahagia yang Sultan tanam sekarang.

"Semua aku persembahkan sebagai bentuk rasa penyesalanku. Sekarang aku sadar jika kalian berdua adalah anugerah yang Allah titipkan padaku, dan harus aku jaga dengan segenap jiwa raga. Kalian itu sama, tidak ada bedanya. Arimbi cintaku yang satu."

Memejamkan mata Hanna mencoba mengikhlaskan namanya yang diganti oleh Sultan. Tidak masalah, asal sikapnya seperti ini terus. Adil, penyayang, dan penuh kelembutan. Saat Sultan mengecup keningnya Hanna tersenyum, dan terkekeh melihat Arimbi mengelap kecupan suaminya itu. Sangat menggemaskan.

"Ayo, istri-istriku, silakan dimakan." Sultan mempersilakan Arimbi dan Hanna.

Saat Hanna mengambil bagian Sultan lebih dulu, Marlina mengambilkan untuk Arimbi. Keadaan istri tua dan muda tidak begitu terlihat. Keduanya bahkan seperti kakak dan adik yang selalu memahami dalam hal apapun.

***

Melempar tasnya ke sembarang arah, Ratih mengambil roti yang hendak Leo makan. Sebenarnya Leo ingin marah, tetapi dia urungkan saat melihat wajah murung wanita itu. Sambil mengunyah Ratih mengomel tidak jelas, membuat Leo bingung. Bibir merahnya terus bergerak dan tidak berhenti juga, sekalipun roti yang ditangannya telah habis. Ratih jadi tampak sangat aneh.

"Leo, bisa kamu membantuku?" Akhirnya Ratih mengajak Leo berbicara.

"Soal apa?" tanyanya sedikit malas.

"Aku ingin kembali ke rumah Sultan, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Kamu tahu? Berada di rumahnya tentu memudahkanku melakukan aksiku, tapi sekarang lihat aku seperti orang bodoh yang kehilangan arah. Di luar sini tidak membantuku sama sekali, dan aku tidak mendapatkan informasi apapun. Menyebalkan." Jelas Ratih.

Tidak langsung menjawab Leo malah memutar bola matanya, tidak peduli. Leo lebih mementingkan kondisi perutnya daripada memikirkan yang tidak bermanfaat. Mengambil roti yang tinggal satu, Leo memakannya dengan lahap, mengabaikan tatapan Ratih. Selama bersahabat dengan Sultan, mereka tidak pernah bermasalah, jadi kerenggangan saat ini adalah rekor terbaru dalam sejarah.

"Salahkan dirimu kenapa keluar begitu saja, tanpa memberitahuku terlebih dulu." Tuduh Leo saat tidak memiliki jalan keluar.

Kening Ratih mengerut, bingung dengan jawaban Leo, lantas ditinjunya pundak lelaki itu. "Kalau aku memberitahumu, tentu aku tidak bisa menggagalkan rencana sok baikmu."

"Ya, sudah, terima saja. Aku juga tidak bisa membantu. Hubunganku dengan Sultan memburuk."

"Gara-gara wanita kampungan itu."

Spontan Leo melotot, tampak tidak senang. Sementara Ratih sudah terpingkal-pingkal menerwatakan reaksi Leo yang berlebihan. Padahal ucapan Ratih benar adanya, tetapi Leo sangat marah. Lelaki itu sudah dimabuk kepayang, apesnya malah mencintai istri sahabat sendiri.

Tidak lama Ratih pun terdiam. Memajukan wajahnya, dari jarak yang cukup dekat Ratih menatap Leo, seketika segudang ide bermunculan. Melihat bola mata Leo seakan-akan Ratih melihat kepolosan Hanna. Hal itu bisa menjadi senjata untuknya, Leo pasti setuju dan tidak akan tinggal diam.

"Sudah tiga hari ini kamu tidak mendapat kabar Hanna, kan?" Ratih mulai memancing perasaan Leo.

"Ya, aku sangat mencemaskannya."

"Nah! Kalau begitu, bantu aku untuk kembali masuk ke rumahnya Sultan. Soal Hanna setiap hari aku bisa memberitahumu. Bagaimana, Leo?" Wanita itu memberikan penawaran, jari lentiknya bermain di pipi Leo.

Sejenak Leo terdiam, membayangkan wajah Hanna yang penuh luka. Menyingkirkan tangan Ratih, dengan gusar Leo menuju jendela. Kondisi Hanna masih belum stabil, apalagi mengingat bagaimana keadaannya sebelum Leo meninggalkan rumah Sultan. Dia tampak begitu ketakutan.

Mengusap wajahnya Leo kembali menghampiri Ratih yang tengah menunggu, dan berkata. "Apa kamu bisa aku percaya?"

"Oh, ya, tentu saja. Aku Ratih, tunangan sahabatmu." Wanita itu tersenyum lebar, seraya memainkan alisnya.

"Baiklah, aku akan mencari cara." Leo menyetujui rencana Ratih, tidak ada pilihan. Dia perlu kabar terbaru Hanna.

Apakah baik-baik saja? Sampai detik ini rasa cemas Leo semakin menjadi. Selama Sultan menahan Hanna, Leo tidak bisa tenang. Sahabatnya itu tega melakukan apapun kepada siapa saja yang membuatnya emosi.

Tubuh Leo mundur beberapa senti saat Ratih memeluknya tiba-tiba. Dengan bangga Ratih memuji Leo dari segala sisi, sosoknya yang dingin kerap menolongnya ketika mendapat kesulitan. Leo separuh jiwanya yang tidak bisa Ratih miliki. Selama Leo membebaskan dirinya datang kapan saja, bagi Ratih itu sudah cukup.

"Aku sangat menyayangimu, Leo. Sayangnya kamu tidak pernah membalas perasaanku. Hahaha." Ungkapan Ratih bagaikan angin lalu bagi Leo, karena wanita itu suka bercanda.

"Tidak mungkin aku mengambil tunangan sahabatku," balas Leo sekenanya.

Hal itu membuat tawa Ratih semakin pecah, jawabannya sangat tidak sinkron. "Lalu, bagaimana dengan Hanna? Oh, kupikir kamu perlu obat, agar menyadari jika wanita itu juga istri sahabatmu."

Memijat pelipisnya, Leo menarik diri dari Ratih. Wanita itu selalu bisa membuat pusing tujuh keliling. Sedangkan Ratih sukses mengendalikan Leo di dalam hidupnya. Setelah Arimbi sepertinya Ratih juga akan menyingkirkan Hanna.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang