Ketika Marlina membuka pintu Hanna enggan melihat ke depan, rasa takutnya kian menjadi. Sampai akhirnya Hanna tersentak saat Marlina memegang pundaknya. Membuat arah pandang Hanna bertemu dengan seorang lelaki tua yang mengenakan baju koko biru.
Wajah Hanna langsung berubah cerah. Tanpa basa basi Hanna berlari menghampiri lelaki tua itu, dan memeluknya erat. Menyampaikan rasa rindu yang tidak terhingga, serta meminta perlindungan padanya. Hanna benar-benar membutuhkan orang yang selalu siap melindungi.
"Eeeh, Nona." Marlina terpekik. Dia kaget sekaligus panik, dan berusaha menarik tubuh Hanna.
"Ibu, ini Pamanku dari desa." Hanna meminta pengertian Marlina, yang tatapannya seolah tidak menyukai.
Sekali lagi Marlina menatap lelaki tua yang memegang ransel besar, lantas dia menarik tangan Hanna membuat jarak dengannya. Sebab Marlina perlu berbicara. Kedatangan lelaki itu pasti akan menjadi masalah untuk Hanna. Sekalipun pamannya, karena Marlina tahu betul sikap buruk tuannya Sultan.
"Kedatangan paman Nona akan jadi masalah kalau Tuan Sultan tahu," kata Marlina berbisik pada Hanna yang begitu tampak bahagia.
Matanya berbinar seolah medapatkan harapan hidup. Sementara lelaki tua yang masih berdiri di depan pintu, melihat ke arah Hanna dan Marlina dengan bingung. Sesekali pamannya Hanna memerhatikan penampilannya sendiri dari bawah ke atas. Dia yakin telah mengenakan pakaian terbaik.
"Ibu, Mas Sultan sudah tahu Paman akan datang." Hanna menjelaskan.
Namun, tidak menghilangkan wajah panik Marlina. Wanita itu terlihat cemas, dan belum yakin. "Non, kalau Tuan Sultan tahu dia akan marah."
"Tidak akan, Bu, Mas Sultan sudah mengizinkannya. Percayalah padaku." Masih pada pendiriannya Hanna menyakinkan Marlina yang ragu.
Melihat keduanya berbisik membuat sang paman curiga. Lelaki tua itu tampak sedih dan tidak enak. Lelah menempuh jarak jauh hanya untuk menemui anaknya Hanna, tapi yang dia dapatkan malah sikap acuh sang anak. Kedatangannya seolah menjadi beban bagi pemilik rumah. Itu yang bisa Hasan simpulkan.
Saat Hasan ingin balik tiba-tiba Hanna menahan tangannya, memohon agar tetap tinggal. Marlina hanya memerhatikan kedua orang itu, tidak bisa melarang Hanna, apalagi mengusir pamannya yang begitu tua dan lemah. Sungguh! Marlina tidak tega, di lain sisi dia juga mengkhawatirkan Hanna.
"Masuklah, Paman," pinta Hanna dengan nada memelas.
Tidak langsung masuk Hasan menoleh ke arah Marlina terlebih dulu, ingin memastikan reaksinya. Saat Marlina mengangguk baru Hasan mengikuti langkah Hanna menuju ruang utama. Lelaki tua itu tampak takjub dengan bangunan mewah di sekelilingnya.
"Paman, kenapa tidak bilang mau datang hari ini?" tanya Hanna sambil menuang air ke dalam gelas.
"Sudah berkali-kali Paman mencoba menghubungi Sultan, tapi nomornya tidak aktif," jawab Hasan.
"Oh, iya Paman, nomornya memang tidak aktif. Mas Sultan sedang ke luar negeri, mungkin dia sangat sibuk."
"Ke luar negeri? Kenapa kamu tidak ikut, Nak?"
Dituding pertanyaan demikian sontak Hanna terdiam. Bingung menjawab apa. Sedangkan Marlina sudah berlalu ke dapur, sehingga Hanna kesulitan mencari jawaban yang tepat. Tidak mungkin kan Hanna mengadu pada paman jika Sultan memiliki dua istri? Cepat atau lambat paman akan tahu, tapi Hanna pikir tidaklah sekarang.
"Hmm, anu, Mas Sultan ada urusan pekerjaan." Hanna berusaha menghindar kontak mata dengan sang paman.
Semampunya Hanna bersikap wajar. Paman tidak mudah dibohongi, tapi Hanna tidak mempunyai pilihan lain.
Menatap dalam ekspresi anaknya itu, lalu Hasan bertanya. "Nak, kalian baik-baik saja kan?"
Ya Allah! Ampunilah hamba, batin Hanna sambil menangkup dada.
***
Kedatangan paman membuat Marlina tidak lagi berat meninggalkan Hanna sendirian di rumah. Wanita itu pergi saat Hanna menemani pamannya makan siang. Mereka tampak begitu dekat, dan saling berbagi cerita. Meski perasaan Hanna selalu was-was karena sang paman masih menaruh curiga.
Ternyata Hanna belum menyiapkan diri dengan sempurna saat bertemu paman. Seharusnya Hanna tidak lagi canggung atau merasa kebingungan. Salah Hanna sendiri tidak memikirkan soal itu, sehingga sekarang dia terpojok.
"Nak, kamu benar baik-baik saja? Ceritakan pada Paman semuanya, kamu bukan pembohong handal."
"Anu, kalau Hanna cerita Paman harus janji jangan memperbesar masalah. Hanna takut, Paman," ucapnya getir.
Hasan mengangguk penuh keyakinan.
Menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak diguga tangis Hanna pecah mengingat semua yang telah terjadi. "Sebenarnya, Mas Sultan sudah memiliki istri sebelum menikahi Hanna."
Dengan perasaan yang sakit Hanna menceritakan seluruhnya kepada sang paman. Hanna pikir akan mengurangi rasa sakitnya, karena selama ini selalu dia pendam. Tidak ada jeda sedikitpun, paman juga tidak berkomentar sebelum Hanna diam. Air mata yang terus mengalir sebagai pertanda bahwa dirinya benar-benar sakit hati, rapuh, dan sangat tertekan.
"Kenapa kamu baru memberitahu Paman sekarang?" tanyanya terdengar pedih.
"Hanna tidak mempunyai keberanian, Paman. Apalagi, Hanna telah telanjur mencintai Mas Sultan."
"Jujur! Paman merasa dibohongi oleh Sultan. Nak, kamu bisa ikut pulang dengan Paman." Dengan penuh kasih sayang Hasan membuka lebar pintu rumahnya kembali untuk anaknya itu.
"Paman ... Aku tidak bisa, aku hamil."
Pernyataan itu membuat perasaan Hasan hancur. Kehamilan Hanna akan mempersulit perceraian.
"Kalau begitu Paman akan meminta bantuan kepada kepala Kades, Nak."
"Jangan, Paman ..." lirih Hanna.
Namun, Hasan tetap bangkit seraya membawa kembali ransel besarnya. Tanpa mendengarkan permohonan Hanna, lelaki tua itu berlalu dengan dongkol. Hatinya terasa sakit sekali melihat anaknya Hanna menangis. Terus terang Hasan tidak membiarkan Sultan terus menyakiti anaknya, baik itu fisik maupun hati. Hasan sangat menyesal telah menikahkan keduanya.
"Ya Allah, Paman ... Jangan." Hanna pun berteriak. Berlari mengejar sang paman yang sudah naik ke angkot.
Kedua kaki Hanna terasa lemah dan sulit bangkit. Dia terduduk di lantai halaman rumah dengan air matanya yang tidak berhenti keluar. Jikalau saja Hanna tahu akan jadi seperti ini? Maka, Hanna akan menahan sendiri kisah sulit hidupnya, tanpa berbicara dengan orang lain sekalipun paman. Seorang paman juga tidak dapat dipercaya. Hanna kehilangan arah.
Astagfirullah! Jantung Hanna bertalu kencang, air matanya mengalir deras. Membayangkan reaksi Sultan nanti. Cukup sudah penderitaannya, Hanna tidak tahu harus melakukan apa selain menunggu kepulangan Sultan, dan memohon pengertian. Sikap paman Hasan tidak lebih hanya ingin melindungi anaknya karena sayang.
"Nona, apa yang terjadi?!" pekik Marlina. Sungguh kaget melihat keadaan Hanna yang menyedihkan.
Menaruh belanjaannya di lantai. Dengan sigap Marlina membantu Hanna bangkit, memapahnya masuk ke dalam tanpa menuding lebih dulu. Kondisi Hanna sangat memprihatinkan. Bahkan, Marlina sampai tidak tega melihat Hanna, yang wajahnya memerah dan begitu sembap.
"Bu, a-ku takut." Akhirnya Hanna bersuara. Tubuhnya menggigil kuat.
"Jangan takut, Non, di sini ada Ibu." Marlina langsung mendekap tubuh kecil Hanna, berusaha menenangkan.
Di dalam pelukan Marlina, Hanna memejamkan matanya yang terasa berat. Akibat terlalu banyak menangis. Menyesali kesalahannya yang begitu fatal. Setelah ini Hanna akan menghadapi masalah yang besar.
----------
Masalah yang besar? Konflik pertama akan ada di cerita selanjutnya. Huaaa Hanna:(((
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...