10

287 13 1
                                    

"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.

Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.

Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat.

"Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan.

"Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini."

"Tuan, saya mohon ..."

"Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.

Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, memberi peringatan padanya agar tidak ikut campur. Akan tetapi Hanna tidak peduli, dia malah membantu Ratih bangkit dan memeluknya erat. Sebagai perempuan Hanna mengerti apa yang Ratih rasakan, terlebih lagi menyangkut kesehatan seorang ibu.

"Kamu yang sabar ya," tutur Hanna.

Tanpa aba-aba Sultan menarik paksa Hanna sampai pelukan keduanya terlepas. Napasnya memburu kuat, dan ... Plaak! Satu tamparan mendarat mulus di pipi Hanna. Semampunya Sultan menahan diri untuk tidak melakukan hal yang lebih gila. Bagaimanapun dia masih waras, dan tahu batasannya terhadap sang istri.

Hanna memegang pipinya yang terasa memanas. Mungkin sebuah tamparan tidaklah seberapa dengan apa yang telah dihadapinya sebelum ini, tetapi hatinya sangat sakit melihat sikap Sultan yang seperti memboikot Ratih. Meski dirinya hanya pekerja tidak sepatutnya Ratih diperlakukan demikian.

"Kembali ke kamar, dan jangan ikut campur urusanku." Sultan sedikit mendorong pundak Hanna, bahkan nyaris istrinya terjatuh.

Sultan memang paling tidak suka dengan istri yang sulit diatur.

"Mas, kamu tidak boleh seperti itu." Hanna masih berusaha bertahan, tentunya untuk pembebasan Ratih.

"Diam!" bentaknya dengan emosi yang tinggi.

"Ya Allah, Mas! Istighfar. Izinkanlah Ratih pergi, kalau untuk merawat Mba Arimbi aku bisa melakukannya. Aku tidak menyangka kenapa kamu tega seperti ini? Padahal kamu sangat menyayangi bunda, tapi sekarang kamu malah menahan seorang anak yang ingin berbakti kepada ibunya."

Deg! Sontak Sultan terdiam, dan dipandangnya Hanna lekat-lekat.

Selama Sultan berpikir, Hanna tidak tinggal diam. Dengan sisa keberanian yang ada, Hanna mendekati Ratih, kemudian menyuruhnya segera pergi. Soal Sultan nanti itu urusan Hanna. Sekarang yang terpenting Ratih dapat pergi menemui ibunya yang sakit.

Tidak ada yang Sultan lakukan selain menatap kepergian Ratih dengan tatapan nanar. Perkataan Hanna benar. Keegoisannya tidak patut dia pertahankan. Kehadiran Ratih bagi ibunya tentu lebih utama daripada segala hal. Dia sudah bekerja dengan sangat baik, dan Sultan akan kesulitan mencari penggantinya.

"Mas ..." panggil Hanna lirih, yang dimaksud menoleh sesaat lalu pergi.

Suasana hati Sultan sedang kacau, dan cara berpikirnya melambat. Untuk saat ini Sultan hanya ingin menyendiri, mencari solusi yang tepat. Berhadapan dengan Hanna membuat emosinya bertambah, jadi lebih baik menghindarinya sebelum terjadi yang tidak diinginkan.

***

Tanpa beban Arimbi tertawa lepas saat melihat seekor burung yang hinggap di ranting pohon. Kedua tangannya terulur menggapai-gapai burung dengan gembira. Bola mata indahnya menatap penuh harap, menantikan binatang unggas itu terbang menghampirinya. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang. Arimbi melirik Sultan yang tengah duduk tidak jauh darinya, dan dia pikir jika suaminya bisa membantu.

"To-long." Arimbi menarik lengan baju Sultan, dan menunjuk ke arah pohon.

"Kamu mau apa?" tanya sang suami tidak mengerti.

Pikirannya sangat buruk. Sejak tadi Sultan hanya diam merenungi nasib istrinya ke depan. Meski matanya terus memperhatikan Arimbi, tapi pikiran Sultan melayang ke antah berantah. Sultan tidak tahu apa yang Arimbi lakukan sedari tadi, sekalipun itu hal yang membahayakan.

Dengan bingung Sultan bangkit, mendekati Arimbi, lalu mengusap lembut rambutnya yang terurai. "Ada apa, Sayang?"

Ditanya demikian Arimbi tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ke arah pohon.

"Kamu mau buah? Nanti aku belikan ya." Sultan berkata sangat lembut.

Tepat di saat seekor burung terbang Arimbi pun memekik, lantas memukuli lengan Sultan dengan marah. Arimbi menangis kencang, menyalahi Sultan yang tidak ingin membantunya. Mendapat perlakuan seperti itu Sultan tidak bisa berkata-kata, hanya diam menerima segala bentuk keanarkisan Arimbi. Entah mengapa Sultan tidak bisa memarahi Arimbi, apalagi sampai melukai fisik dan hatinya.

Jadi, mau semarah apapun Sultan kepada Arimbi, entah bagaimana caranya dia bisa mengontrol diri. Tidak seperti saat berhadapan dengan istri keduanya Hanna.

"Mas ..." panggil sebuah suara.

Sultan menoleh, dan Hanna tersenyum.

Wanita itu datang membawa sepiring makanan, berikut air dan obatnya Arimbi. Sebenarnya Sultan ingin marah, tetapi dia urungkan. Melihat Arimbi dan Hanna berdekatan bagi Sultan bukan ide yang baik. Namun, tidak ada pilihan lain. Kepergian Ratih sudah membuatnya kewalahan. Hanya memberi makan mungkin tidak masalah.

"Aku baru saja selesai memberi makan bunda, Mas. Jadi setelahnya aku langsung ke sini." Hanna masih tersenyum lebar. Ditaruhnya nampan di sisi bangku yang panjang.

"Kamu sendiri sudah makan?" tanya Sultan perhatian. Pertanyaan satu itu memang selalu Sultan terapkan.

"Hm, belum. Nanti saja setelah Mba Arimbi makan siang," jawabnya tulus.

Mengangguk sekali, Sultan pun mempersilakan Hanna mendekati Arimbi. Untungnya kondisi wanita itu sudah kembali. Tidak lagi histeris.

Penuh kelembutan Hanna menyapa Arimbi. Wajah manisnya terus tersenyum ramah, bahkan lebih ceria dari Ratih. Dengan luwes Hanna mengajak Arimbi berbicara hal yang ringan. Tangan kecilnya bergerak mengikuti apa yang dia ceritakan, sehingga mudah mengambil perhatian Arimbi.

Setelah Arimbi menanggapinya, Hanna baru berani mengajak makan siang.

"Hidup ini menyenangkan Mba, anugerah dari Allah, apalagi hidup dengan orang-orang yang menyayangi kita. Mereka selalu ada dalam suka dan duka. Tidak ada yang mereka inginkan selain kebahagiaan kita. Jadi, Mba Arimbi harus makan yang banyak biar sehat. Karena kesehatan kita juga menjadi kebahagiaan tersendiri buat keluarga tercinta." Hanna bercerita sambil menyelipkan kalimat motivasi untuk istri pertama suaminya itu, supaya menghabiskan makan siangnya.

"Habis," kata Arimbil seraya menyodorkan piring kosong ke Hanna.

"Alhamdulillah. Sekarang minum obatnya ya, Mba." Tidak butuh bujukan ekstra lagi, Arimbi sudah mengangguk.

Semua Hanna lakukan dengan mudah dan cepat. Bahkan, Sultan yang melihatnya sampai takjub. Hanna begitu pandai menyesuaikan diri. Kesabarannya merawat Arimbi amat luas, membuat Sultan tidak sedikitpun mengecilkan senyumnya. Dia benar-benar kagum pada Hanna.

Terlebih lagi melihat respons Arimbi yang begitu cepat, membuat Sultan mengambil keputusan jikalau Hanna orang yang tepat. Tidak ada salahnya kedua istrinya berteman baik bukan? Bahkan, itu menjadi nikmat terbesar dari Allah pada lelaki yang beristri lebih dari satu.

"Aku mempercayaimu," kata Sultan.

Hanna tersenyum puas. Ternyata tidak sulit mengambil perhatian Sultan. Untuk mendapatkan cintanya Hanna hanya perlu bersikap baik pada Arimbi.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang