26

138 2 0
                                    

Ting! Tong!

Suara bel mengambil alih perhatian Hanna. Melirik Arimbi di sebelahnya, tanpa berkata apapun Hanna bangkit menuju pintu. Jika pagi seperti ini Marlina tidak bisa diganggu, sehingga Hanna yang mengurus Arimbi dan menjaga-jaga jika ada tamu datang. Sementara Sultan sudah berangkat kerja setengah jam yang lalu. Dengan cepat Hanna menarik kenop pintu, memunculkan Ratih yang tersenyum.

"Halo, Nona. Apa kabar?" Sapanya ramah. Begitu hangat dan sopan.

Membalas senyumannya, Hanna pun mempersilakan wanita berseragam perawat itu masuk. "Ratih, apa ibumu sudah sembuh?"

"Alhamdulillah, sudah, Non. Saya pikir Tuan Sultan masih membutuhkan jasa perawat, sehingga saya lekas kembali."

"Apa kamu sudah memberitahu Mas Sultan? Beliau sudah berangkat kerja." Hanna menoleh ke arah Ratih yang berjalan di sebelahnya, karena Sultan tidak meninggalkan pesan apapun.

Kedatangan Ratih sangat tiba-tiba, di mana Hanna tidak menaruh sedikit rasa curiga. Hanna bahkan berpikir jika Ratih sudah menghubungi Sultan, dan suaminya itu lupa memberitahu. Saat Ratih mengangguk, memperjelas dugaan Hanna, sehingga dia tidak perlu menelepon Sultan terlebih dulu.

Apalagi mengingat keadaan Arimbi yang masih belum sembuh total, di samping pekerjaan tetapnya Marlina tampak kewalahan menanganinya. Menggantungkan kepada Hanna yang tidak ahli bukan solusi terbaik, oleh sebab itu dengan menerima Ratih kembali adalah pilihan yang tepat.

"Beginilah kondisi Mba Arimbi yang sekarang." Jelas Hanna seraya duduk di samping Arimbi yang bermain ludo.

"Jadi bertambah aktif ya, Non. Apa dia mengingat Tuan Sultan dan Bu Marlina?" Ratih bertanya pada Hanna yang sedang mengocok dadu.

Untuk membahagiakan Arimbi, Hanna memang harus menyesuaikan diri dengannya, dan itu terasa menyenangkan.

"Sepertinya ingat, karena dia tidak lagi canggung dengan mereka, tapi  ada hal yang tidak dia ingat seperti namaku." Hanna tersenyum kecut, tapi di detik berikutnya dia sudah menggeleng. "Tidak masalah, aku menyukai nama Arimbi yang memiliki arti cantik."

Lambat laun Hanna yakin jika dirinya akan bisa menerimanya, dan terbiasa dengan nama yang Sultan berikan. Arimbi. Nama istri dan cinta pertama Sultan Bhayangkari. Hanya sebuah nama, tidak ada yang perlu ditakuti.

"Apa Nyonya Arimbi mengingatku?" Pertanyaan Ratih menyadarkan Hanna dari lamunan yang panjang.

Arimbi menghentikan permainannya yang berlangsung seru. Kedua mata wanita itu menatap wajah Ratih yang ceria dan sangat ramah. Tidak hanya Ratih, Hanna pun juga menantikan jawaban dari Arimbi. Tidak lama dari itu Arimbi mengangguk antusias, lalu kembali pada dadu yang tergeletak.

"Siapa mba?" tanya Hanna memastikan.

"Wulan," jawab Arimbi singkat.

Ratih dan Hanna saling berpandangan. Keduanya mengendik bersamaan, lalu Ratih tertawa kecil. Dengan lembut Ratih memegang kedua pundaknya Arimbi, meminta perhatian darinya walau hanya sesaat. Ingatan Arimbi yang tidak utuh mengharuskan Ratih mengenalkan diri terlebih dulu.

"Nama saya Ratih, bukan Wulan."

"Seingatku kamu Wulan, tunangannya Angga," bantah Arimbi dengan pasti.

Sejenak Ratih terdiam, mencoba untuk tidak terkejut. Dipandangnya Hanna yang tampak kebingungan, dan Ratih pun tersenyum. Dari sini Ratih mengerti jika ingatan Arimbi berlaku hanya untuk jangka panjang. Wanita itu mengenal masa lalunya, sementara tidak mengingat apa yang telah Ratih lakukan terhadapnya belakangan ini.

Apa yang Ratih rencanakan memang ada untung dan ruginya, sehingga dia harus selalu waspada. Selama Arimbi dan Hanna masih bersikap terbuka, Ratih akan tetap dengan tujuannya. Sekarang tinggal menunggu Sultan pulang, melihat reaksinya yang lugu.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang