05

334 20 0
                                    

Membelai lembut rambut putih yang disisirnya Hanna tersenyum lebar. Di saat Hanna menyentuhnya Ningsih juga ikut menyunggingkan senyum bahagia. Keduanya tampak begitu bersahabat dalam waktu yang singkat. Meski tahu kehadirannya bukanlah sebagai Hanna melainkan Arimbi, tapi dia bersyukur telah membuat sang bunda bahagia.

"Minumnya, Bun." Hanna membantu Ningsih bersandar, lalu menempelkan sedotan pada mulutnya yang kering.

"Kamu sudah makan, Nak?" tanyanya.

"Sebentar lagi, Bun, Hanna memang sengaja mendahulukan Bunda dulu. Nanti Hanna pasti makan kok, Sultan tadi sudah ngajak dinner bersama."

"Hanna? Sultan?"

Sontak Hanna terdiam, bingung ingin menjawab apa, sementara Bunda telah menaruh rasa curiga. Hanna lupa atas perannya, dan lupa bertanya pada Sultan yang biasa dipanggil dengan sebutan apa? Di saat Hanna tengah kesulitan, Sultan datang bak Ksatria penyelamat, dia langsung mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya.

"Hmm, maksudnya kucing yang baru saja Sultan beli, Bun, namanya Hanna." Dengan santai Sultan mensiasatinya, tanpa memedulikan wajah Hanna yang menegang. Kaget mendengarnya.

"Oh, kucing, Bunda kirain siapa." Sang Bunda pun terkikik geli, mungkin lucu.

"Bagaimana keadaan Bunda hari ini? Maaf, Sultan baru jenguk, tadi mandi sambil berpikir mau makan apa." Dia mendekati bundanya, lalu mengecup mesra keningnya. Anak yang romantis.

"Sudah jauh lebih baik, Nak, semua ini berkat Arimbi. Istrimu merawat Bunda dengan baik, menyisir rambut Bunda, menyuapi Bunda makan, sampai rela mengesampingkan isi perutnya demi menemani Bunda." Ningsih bercerita.

Hanna memang baru saja selesai memberikan Ningsih makan, bahkan dia juga yang menyuapinya sampai habis sepiring. Marlina yang bertugas merawat sang Nyonya sampai takjub, pasalnya sejak Arimbi pertama kecelakaan beliau berat sekali menghabiskan dua sendok makanan.

Sambil mengajak sang bunda bercerita Sultan melirik Hanna yang berada di sebrangnya. Wanita itu pun menunduk saat Sultan tersenyum, sepertinya sejak kejadian kemarin Hanna sudah jatuh hati padanya. Entah Hanna yang berperasaan atau Sultan yang pandai mengambil hatinya? Namun, dengan segenap jiwa Hanna tetap sadar diri bahwa Sultan masih beranggapan jika dia Arimbi. Itu sangat menyedihkan.

"Kamu sudah lapar?" tanya Sultan pada Hanna. Wanita muda itu menggeleng.

"Iya, Nak, ajaklah Arimbi makan, dia pasti lapar sejak tadi menunggumu." Malah Ningsih yang menyahut, meski Hanna tidak berkata apapun wanita tua itu berpikir jika sang menantu merasa sungkan meninggalkannya.

"Baiklah, Bun, Sultan dan Arimbi pamit dulu ya. Selamat malam, dan istirahat yang nyenyak." Sultan mendekati sang bunda, lalu mengecup keningnya sebelum pergi. Sebagai tanda cinta.

Kemudian Sultan menggenggam tangan kecil Hanna, dan berkata. "Ayo, Sayang, Marlina pasti sudah menyiapkan makan malam yang lezat untuk kita."

Untuk saat ini Hanna tidak membantah apalagi sampai membuat Sultan marah. Semampunya Hanna menahan untuk tidak bersikap bodoh hingga melukai dirinya, cukup menjadi Arimbi semua akan baik-baik saja. Ikuti aturannya.

"Duduklah, kamu harus mencoba sop iga buatan Marlina, ini sangat lezat." Sultan meraih makanan kesukaan Arimbi pertama, lalu memberikan pada Hanna yang hanya diam.

Ketika Sultan mulai menikmati makan malamnya, barulah Hanna mencicipi sedikit sop iga yang tampak istimewa. Rasanya memang cukup enak, tapi Hanna tidak begitu menyukai makanan yang sejenis sop, Sultan harus mengerti.

"Kenapa makan kamu hanya sedikit?" tanya Sultan saat melihat Hanna menyingkirkan makanannya.

"Sebenarnya aku tidak menyukai sop."

"Kamu harus belajar menyukainya!"

"Ke-napa?" Suara Hanna bergetar.

"Karena Arimbi sangat menyukai sop, maka kamu juga harus menyukainya," kata Sultan penuh otoriter yang tinggi.

Menghela napas Hanna mengalihkan pandangannya ke lain arah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Sultan. Tentu Hanna tidak bisa seperti ini terus, berperan menjadi seseorang tanpa mengetahui siapa sosok asli Arimbi. Selain untuk kebaikan bunda, Hanna juga berhak mengenal seluk beluk keluarga Sultan.

Maka, kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi. Hanna hampir saja ketahuan jika dirinya bukan Arimbi.

"Sultan, kamu harus sadar, untuk soal selera tidak bisa dipaksakan. Kami ini dua orang yang berbeda, aku bukan Arimbi, dan tidak bisa menjadi orang yang seperti kamu inginkan." Hanna berkata begitu lancar, detik berikutnya dia menggigit bibir.

"Bisakah kamu tidak merusak selera makanku?!" Sultan menatap Hanna geram, dengan emosi sudah di ujung. "Kamu itu Arimbi, Arimbi, Arimbi."

"Jika tujuanmu untuk membahagiakan Bunda, aku tidak mengingkarinya, bahkan dengan senang hati menjadi Arimbi saat di depannya. Tapi, ingat! Arimbi hanya di depan Bunda saja, bukan untuk dirimu, Tuan."

"Katakan apa maumu?" Sultan menatap Hanna, selera makannya sudah hilang.

"Ceritakan seluruhnya padaku siapa Arimbi? Terus terang aku tidak bisa menjalani peranku dengan baik, jika kamu saja enggan menceritakannya. Aku butuh mengenal Arimbi yang asli, karena aku tahu dia bukan orang asing di rumah ini bahkan sangat berarti."

Napas Sultan naik turun, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. Hanna benar-benar memancing emosinya, padahal Sultan kerap memperingati. Dia memang wanita yang pembangkang. Menceritakan soal Arimbi pasti akan dilakukannya, hanya belum menemukan waktu yang tepat. Sikap keras kepala Hanna membuat Sultan mengundur-undur waktunya.

Marlina dan Ratih juga Sultan peringati agar tak mendahuluinya memberitahu soal Arimbi. Namun, sepertinya Sultan harus bercerita sekarang atau semua akan menjadi runyam. Ini demi bunda.

"Arimbi istriku, cinta pertamaku, dan tidak akan pernah tergantikan."

Deg! Perkataan Sultan bagaikan peringatan keras bagi Hanna.

"Arimbi kecelakaan dua tahun lalu, kepalanya kebentur cukup kuat sehingga syaraf sensoriknya bermasalah, dan mengalami gangguan jiwa. Segala cara sudah aku tempuh termasuk membawanya berobat ke luar negri, tapi tidak ada saran yang cukup memadai selain memintanya tinggal di rumah sakit jiwa. Tentu saja aku lebih memilih merawat dan menjaganya di rumah, Arimbi harus tetap tinggal bersamaku, atau aku yang akan kehilangan akal juga." Mata Sultan berkaca-kaca, tapi hanya sebentar. Dia terlihat sangat mencintai Arimbi.

"Selama dua tahun bagaimana dengan keadaan Bunda?" tanya Hanna.

"Penyakit Bunda bertambah parah, berkali-kali beliau hampir meninggal. Kehadiran Arimbi sangat berarti untuknya, karena hanya dia satu-satunya yang bisa menumbuhkan semangat Bunda untuk sembuh. Selama dua tahun ini aku sungguh tersiksa, meski semua orang melihatku sehat. Mereka tidak tahu saja, fisikku memang sehat, tapi hati dan pikiranku hancur. Setiap hari aku memikirkan caranya bagaimana agar Arimbi kami kembali."

Sejenak Sultan mengambil napas, lalu melanjutkan. "Sejak kecelakaan aku merahasiakan semua pada Bunda, aku mengatakan padanya jika Arimbi mendapat tugas ke luar negri, dan pasti akan kembali suatu saat nanti."

"Tapi, tidakkah kamu lupa, bahwa sekarang aku juga istrimu?"

Kenyataannya Hanna tak pernah sudi sosok Arimbi seolah-olah memboikot, dan menutup jati dirinya. Bagaimanapun Hanna juga ingin diakui oleh Sultan dan bundanya.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang