Setelah kepergian sang bunda untuk selamanya, Sultan semakin tidak bisa mengontrol emosinya dan bertambah parah. Apapun yang membuat Sultan marah, maka lelaki itu akan menjadi seseorang yang sangat tega. Bahkan, dia tidak sungkan menghabisi nyawa orang lain. Sudah berulang kali Sultan mendapat masalah karena membuat banyak rekannya mengalami sekarat.
Sikapnya terhadap Hanna? Tentu saja semakin menjadi. Apa yang Hanna lakukan pasti selalu salah di matanya. Namun, pengecualian kepada Arimbi, dia tetap menjadi Sultan yang baik hati dan penyayang. Mereka jadi lebih sering bersama, sembari menunggu kabar baik dari Leo. Hanna sungguh mengerti dengan perasaan suaminya itu, jika hanya Arimbi satu-satunya kebahagiaan Sultan selama di dunia.
"Mas, apa kamu perlu bantuanku?" tanya Hanna, menatap Sultan dan Arimbi secara bergantian.
"Tidak." Sultan menjawab acuh.
Bahkan, menoleh saja tidak. Hanna menghela napasnya, tapi tidak juga pergi. Bagaimanapun hubungannya terhadap sang suami, sebagai seorang istri Hanna tentu ingin selalu berada di dekatnya, walau tidak dianggap.
"Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu." Dengan ketus Sultan mengusir Hanna, yang duduk termangu.
"Ya Allah, Mas. Apa aku menyusahkan dirimu? Aku hanya ingin duduk di dekatmu." Suaranya bergetar takut.
"Tapi aku tidak menginginkannya. Melihatmu membuatku seperti ingin muntah. Muak dan enek."
"Astaghfirullahiladzim." Hanna beristighfar, menahan sesak di dada.
Sebelum pergi Hanna melihat ke arah Sultan yang enggan melihatnya, memastikan dirinya sekali lagi bahwa dia tidak peduli. Kemudian Hanna melihat Arimbi, yang tampak tenang dan asyik dengan boneka beruang.
"Jika kamu membutuhkanku bisa panggil aku, Mas." Pesan Hanna, lalu beranjak meninggalkan Sultan dan Arimbi.
Sambil menuju kamarnya Hanna menyeka air matanya, menumpahkan ruah kesedihan yang menggunung di dada. Tidak ada yang bisa disalahkan, karena ini semua pilihan Hanna. Selama Sultan tidak mengusirnya mungkin Hanna akan terus bertahan, walau ribuan rasa sakit menghantam.
"Aku pasti bisa melewatinya," lirih Hanna menatap wajah sembapnya di dalam cermin.
Hanna tersenyum lebar, berusaha melupakan seluruh kejahatan Sultan kepadanya, dan hanya mengingat kebaikannya saja. Dengan begitu hati Hanna menjadi lapang, bahkan ingin terus menjalankan hidupnya bersama sang suami.
Tok! Tok! Hanna terkesiap, menoleh ke arah pintu yang kini sudah bergetar.
"Arimbi, buka pintunya." Sultan? Ada perasaan bahagia saat mendengar suaranya lagi. Hanna pun bangkit dan membuka lebar pintunya.
"Ada apa, Mas?" tanya Hanna sambil tersenyum manis.
"Paman kamu nelpon," katanya singkat. Setelah menyerahkan ponselnya Sultan pun pergi.
Dengan wajah semringah Hanna menyapa pamannya yang di sebrang telepon. Air mata tidak terbendung lagi, terkalahkan dengan betapa harunya Hanna saat mengetahui sang paman ingin berkunjung ke rumah.
"Iya, Paman, Hanna sangat bahagia."
"Hmm, ya Paman, pasti Mas Sultan mengizinkannya. Nanti Hanna akan menyampaikan ke beliau, jika Paman ingin berkunjung dan menginap beberapa hari." Dalam perkataannya Hanna juga mengharapkan hal itu.
"Paman tenang saja, secepatnya Hanna kabarin. Sampai ketemu ya Paman, jangan lupa kue kesukaan Hanna. Wassalamu'alaikum." Tutupnya.
Ada secercah harapan hidup di wajah Hanna yang sembap. Bertemu dengan paman adalah impiannya sejak lama. Tanpa berpikir panjang Hanna pun berlari menuju kamar Arimbi, ingin mengembalikan ponsel Sultan beserta menyampaikan keinginan sang paman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...