15

258 11 2
                                    

Tinggal berdua dengan Marlina ternyata tidak menutup rasa kesepian Hanna. Berulang kali Hanna melihat kalender yang terpajang, menandainya, dan berharap hari berganti dengan cepat. Kehadiran Sultan selama ini mengambil tempat khusus di hati Hanna. Maka, ketika suaminya itu pergi Hanna begitu merindukan sosoknya. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar, dan menunggunya membuat Hanna resah sepanjang waktu.

"Nona, makanlah sedikit. Hampir seharian ini kamu tidak makan." Tidak menyerah Marlina terus membujuk Hanna. Menyuruhnya makan walau sesendok.

Sesungguhnya, Marlina kasihan pada Hanna. Sultan selalu menyakitinya berulang kali, bahkan mengklaim jika dirinya tidak akan pernah mencintai wanita lain. Akan tetapi Hanna begitu kekeuh dengan perasaannya, sehingga menggantung harapan setinggi langit.

"Bu, apa Mas Sultan belum memberi kabar? Sudah seminggu dia pergi." Tatapan Hanna begitu sendu, terlalu lama memendam rasa rindu.

"Belum Non, mungkin beliau sibuk."

"Ya Allah! Aku takut terjadi apa-apa dengan Mas Sultan dan Mba Arimbi." Air mata Hanna jatuh tak terbendung.

Dengan begitu Marlina mendekap tubuh kecil Hanna, memberi kekuatan padanya agar tetap tenang. Entah terbuat dari apa hati wanita ini? Yang jelas Marlina sangat mengagumi ketulusan Hanna. Tidak sekalipun Hanna mengeluh atau mengadukan kekejian Sultan. Dia seolah menutup rapat perbuatan suaminya itu dengan senyuman.

"Tuan akan baik-baik saja, Non." Ungkap Marlina, mencoba berpikir positif.

"Iya, Bu, pasti. Doaku selalu menyertai Mas Sultan dan Mba Arimbi," ujarnya.

Marlina tersenyum hangat. Rasanya dia sangat menyesal sempat membenci wanita sebaik Hanna. Mungkin, kalau bukan Hanna yang menjadi istri kedua Sultan, Marlina bisa pastikan hidup nyonya Arimbi tidak bertahan lama. Ketika dulu Marlina berpihak pada Arimbi, sekarang perasaannya malah lebih condong kepada Hanna.

"Ada yang ingin Nona tanyakan?" Pertanyaan Marlina membuat Hanna bingung.

"Soal apa, Bu?"

"Apa saja, Non. Saya akan menjawab."

Hanna terdiam, ditatapnya wanita itu dengan keraguan. Sejauh ini Hanna memang berusaha untuk tidak melibatkan perasaannya dengan orang lain. Orang lain melihat jika Hanna wanita yang menutup diri, padahal sebenarnya dia selalu curhat pada sang pencipta. Mengadukan segalanya kepada Allah, tanpa membuat orang lain khawatir. Termasuk pamannya.

"Nona, maafkan saya. Mungkin Nona tidak percaya pada saya, karena dulu sempat bersikap buruk," ujar Marlina.

"Ibu, bukan itu masalahnya. Demi Allah! Aku sama sekali tidak mempersalahkan itu sedikitpun. Secara pribadi aku juga sadar, Bu, karena telah menjadi yang kedua. Orang-orang pasti berpikir aku bukan wanita yang baik, dan juga melihatku sebagai pelakor. Aku sangat sadar akan hal itu, jadi bagiku sikap Ibu yang kemarin adalah wajar." Hatinya begitu baik.

"Kamu wanita yang baik, Non, dan saya sangat menyesal." Marlina merintih.

"Terkadang manusia memang seperti itu, menilai sebelum mengenal. Terlalu cepat mengambil keputusan, dan mengikuti perasaannya yang salah."

Hanna melebarkan kedua tangannya, memeluk Marlina yang tengah menangis. Perasaan seseorang itu memang selalu berubah, dan tidak pada satu kenyakinan. Baik dan jahat hanya dua kepribadian yang beda, di dalam perasaan yang sama. Suatu waktu mereka akan bertukar, hingga yang terbaik tetap tinggal menempat.

"Alhamdulillah, sekarang kita sudah saling mengenal." Hanna tersenyum.

"Sampai di sini saya paham, yang beruntung sebenarnya Tuan Sultan, bukan kamu Nona." Ungkap Marlina.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang