Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun.
"Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.
Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan.
"Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan.
"Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu."
"Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.
Sambil mendengarkan cerita Ningsih, Hanna merapikan tempat tidurnya. Melipat selimut dan mengatur bantal. Jika pagi seperti ini Marlina memang sibuk di dapur, memasak makanan untuk mereka semua, sehingga Hanna yang akan turun tangan pertama kali menemui bunda.
"Sebenarnya, dulu Bunda seperti kamu Nak. Begitu aktif dan ceria."
"Oh, ya. Apa dulu Bunda juga bekerja?" Hanna sesekali melihat ke arah Ningsih.
"Ah, tidak. Maksud Bunda, seluruh pekerjaan rumah Bunda yang urus sendiri. Ya, seperti kamu," jelasnya.
Hanna mengangguk-angguk. Selesai merapikan tempat tidur bunda, Hanna pun melirik jam dinding. Telah menunjukkan pukul 07:00 tepat, mengartikan tugasnya yang lain sudah menunggu.
"Bun, Arimbi nyiapin sarapan Mas Sultan dulu ya?" Pamit Hanna pada sang bunda. Wanita itu hanya mengangguk.
Seharusnya sarapan sudah siap lima belas menit yang lalu. Akan tetapi hari ini sedikit terlambat, karena Hanna terlalu lama berada di kamar bunda. Ningsih begitu semangat bercerita, sehingga Hanna sungkan untuk meminta izin.
Semua Hanna lakukan dengan cepat. Memasak nasi goreng kesukaan Sultan dan menyeduh teh hangat. Hanna mengerjakannya seorang diri, menolak bantuan Marlina. Sebab Sultan bukan tipe suami yang suka dikelabui, apalagi urusan makanan.
"Bu, apa kamu melihat Mas Sultan di mana?" tanya Hanna sambil menata makanannya di nampan.
"Tadi saya lihat beliau di meja makan, Non." Marlina menjawab tanpa meninggalkan masakannya di kompor.
Setelah mengucapkan terima kasih, Hanna langsung beranjak menuju ruang makan. Sultan pasti sudah menunggu lama, tetapi Hanna tidak berpikir aneh. Dia masih mengharapkan Sultan memuji masakannya. Kalimat itu bagaikan siraman penyemangat di pagi hari.
Akan tetapi tiba di ruang makan Hanna tidak melihat sosok Sultan. Perasaan Hanna jadi tidak enak, suaminya itu pasti marah. Ya Allah! Rasa bersalah langsung memenuhi dada Hanna. Tanpa berpikir lama Hanna tahu kemana Sultan pergi. Kakinya pun melangkah ke belakang menuju taman.
Dan Hanna menahan napas begitu melihat Sultan tengah mencumbu bibir istri pertamanya Arimbi. Mereka tampak mesra, Sultan melakukannya penuh cinta.
"Mas ..." panggil Hanna bergetar sesaat Sultan melepaskan ciumannya.
Sultan menoleh, tetapi enggan menyahut.
"Aku mendatangimu ke meja makan, tapi kamu sudah pergi."
"Salahkan dirimu kenapa lama sekali?"
"Kamu kan tahu Mas, aku menemani bunda. Tadi beliau asyik bercerita, aku jadi sungkan meninggalkannya."
"Itu bukan menjadi alasan. Seharusnya kamu tahu apa saja tugasmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...