P E M B U K A A N
Untuk kesekian kalinya Agatha melirik ke arah jam dinding. Pukul 21.55. Sudah selarut ini tapi Daniel putranya belum juga pulang. Tidak biasanya Daniel bersikap seperti ini. Bahkan ponsel yang biasanya selalu aktif, sekarang tidak bisa dihubungi. Membuat Agatha tidak tenang karena terus diliputi rasa khawatir dengan Daniel.
Damian yang baru sampai di ruang tamu, menatap Agatha yang berdiri di dekat jendela bersama Barra yang terlelap di gendongannya. Apalagi yang mommy-nya lakukan jika bukan menunggu Daniel pulang? Damian pun melangkah, memposisikan dirinya di samping Agatha.
"Daniel udah besar, Mom. Mommy nggak perlu sekhawatir itu. Mending Mommy istirahat, kasihan Barra," ucap Damian seraya mengunci jendela. Tirai ditarik untuk menutup jendela kaca yang sedari tadi dijadikan tempat untuk memantau kemunculan Daniel.
"Mommy titip adik-adikmu di rumah, ya. Mommy mau ke luar sebentar cari Daniel. Daniel jarang kecewa, tapi sekali merasa dikecewakan, anak itu pasti sulit memaafkan. Mommy khawatir Daniel melampiaskan kekecewaan ke hal yang kurang baik."
"Nggak perlu. Mommy tetep di rumah dan mending sekarang Mommy bawa Barra. Daniel biar aku yang urus," putus Damian.
"Tapi ...." Agatha ragu. Ia paham persis sifat anak kembarnya yang sering berselisih.
"Barra lebih butuh Mommy, Daniel cukup aku yang urus. Percaya sama aku."
"Janji dulu, kalian jangan berantem lagi. Saat kayak gini, emosi Daniel nggak kekontrol, tolong kamu kontrol emosi. Biarin Daniel lepasin semuanya dulu."
Damian mengangguk lalu mempersilakan mommy-nya untuk membawa Barra ke kamar. Selepas kepergian Agatha, Damian menarik tirai. Memberinya sedikit ruang untuk bisa melihat ke arah luar. Cowok itu melipat tangan di dada dengan tatapan lurus ke depan, menunggu kemunculan Daniel. Damian sudah memutuskan untuk menyelesaikan semuanya. Malam ini. Ia sudah berada di fase muak. Saat ia sudah berusaha melunak, kini malah Daniel yang berontak. Bukankah itu sangat menjengkelkan?!
Setengah jam menunggu masih belum ada tanda-tanda kepulangan Daniel. Damian mengulur kesabarannya lebih panjang lagi.
Satu jam berlalu, Damian mulai tidak betah berdiri di tempatnya. Kantuk pun sudah menghampiri. Hampir saja Damian menyerah menunggu, namun ditahan oleh sorot lampu yang baru muncul dari pintu gerbang. Penantian Damian tidak sia-sia. Ia pun menutup tirai dan melangkah membukakan pintu menyambut Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears In Heaven
Teen Fiction"Kudanil, Tuhan nggak sayang Angel, ya?" "Kok ngomongnya gitu?" "Buktinya papanya Angel diambil. Angel, kan, jadi sedih." "Nggak gitu, Ngel. Semuanya sayang Angel. Nanti kalau udah gede Angel bakalan ngerti. Sekarang Angel bobok, ya?" Angel meng...