Sejak hari itu, Namjoon tidak pernah lagi berkunjung. Ia hanya bertemu dengan Seokjin secara diam-diam, takut jika Sandeul akan melihat dan melapor pada ayah Seokjin yang memerintahkannya untuk mengawasi anak tunggalnya.
Di sudut perpustakaan, Seokjin sedang menutup mata sambil menyamankan kepalanya di atas meja, merasakan halusnya usapan tangan Namjoon pada wajahnya. Ia sangat suka dielus seperti ini sejak kecil. Sementara pria di sampingnya masih fokus membaca.
"Namjoonie," panggil Seokjin dengan lembut. Ia membuka matanya, menemukan yang lebih muda tidak menatap atau membalas panggilannya. Ia merajuk dan berujar, "Kau mengabaikanku lagi."
"Tidurlah. Kau harus bekerja setelah ini. Aku akan singgah setelah kuliahku selesai," balasnya, masih tidak menatap Seokjin.
Saat di tempat Seokjin bekerja, Namjoon akan selalu menunggu hingga jam kerjanya selesai. Tidak peduli seberapa lelah atau banyak tugasnya. Lalu mereka akan pergi ke rumah kecil yang sudah Namjoon sewa selama setahun lebih, cukup dekat dari lokasi kerja Seokjin. Satu jam, tidak lebih dan tidak kurang, mereka akan menghabiskan waktu berdua sebelum akhirnya Seokjin harus pulang atau ayahnya akan curiga dan mengetahui semuanya.
"Hyung, tidak bisakah kau menginap sekali saja? Aku masih ingin bersamamu." Namjoon berujar pelan, tidak yakin jika Seokjin akan setuju.
"Aku rasa besok bisa. Kebetulan ayah akan ke Gwacheon karena kerabatnya sedang sakit keras."
Senyum dan tatapan mata yang cerah langsung terlihat di wajah Namjoon. Ia meninggalkan meja belajarnya, mengambil tempat di sebelah Seokjin yang sedang berbaring di ranjang sambil memainkan permainan di ponselnya.
"Aku akan menunggumu."
Sesuatu yang lembut namun basah bisa Seokjin rasakan menempel di lehernya. Ia tertawa kecil melihat Namjoon yang sedang bermain-main dengan lehernya.
"Sebelum aku tiba besok, tolong bersihkan rumah ini, tuan Kim Namjoon yang terhormat. Aku tidak suka tidur di tempat yang berantakan." Seokjin hanya bercanda, namun siapa sangka, Namjoon langsung bergegas membersihkan setiap sudut rumah meski sudah malam. Seokjin hanya bisa tertawa kecil melihat Namjoon yang tiba-tiba menjadi rajin.
Keesokan sorenya, Seokjin langsung menuju tempat tinggal Namjoon setelah selesai bekerja, ia memiliki kunci ganda. Rumah kecil itu sudah sangat bersih, tidak ada pakaian kotor yang berserakan di lantai, tidak ada piring kotor, dan tidak ada lagi debu yang menempel di meja. Seokjin memuji kerja keras Namjoon dalam hatinya.
Ketika malam tiba, Namjoon yang baru saja kembali dari suatu tempat merasa terkejut melihat mejanya sudah penuh dengan banyak makanan. Ia disambut dengan suka cita oleh sang kekasih yang terlihat semakin hari semakin manis, bahkan cantik.
"Kau pasti lelah. Mandilah, setelah itu kita makan malam."
Namjoon menuruti perintah Seokjin. Setelah itu mereka makan malam bersama. Namjoon sudah lama tidak merasakan masakan lengkap Seokjin yang selezat ini. Setelah makan malam selesai, Seokjin mengajak Namjoon untuk berbaring di atas ranjang, saling berpelukan.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Seokjin. Ia memainkan jari-jari panjang Namjoon yang lentik.
"Seperti biasa. Aku akan sidang tiga bulan lagi."
Seokjin mengerucutkan bibir merah mudanya. "Apakah enak memiliki kecerdasan luar biasa seperti itu? Kau hanya butuh dua tahun delapan bulan untuk lulus, sementara aku hampir saja melebihi empat tahun. Kau bahkan mendapatkan beasiswa penuh."
Namjoon tertawa kecil, kecupan kecil ia berikan di kening Seokjin. "Cukup enak. Aku bahkan bisa menjawab soal-soal ujian jurusanmu dengan baik."
Seokjin kembali mengingat hari ketika ia sedang belajar untuk ujian, Namjoon yang melihatnya sedang sangat kesulitan memilih untuk duduk dan melihat selembar kertas berisi soal-soal ujian semester sebelumnya. Meski tidak pernah belajar tentang ilmu gizi, ia bisa memperbaiki jawaban yang salah di kertas itu dengan akurat. Seokjin benar-benar mengagumi kecerdasan kekasih hatinya.
"Lalu, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apa seniormu menyulitkanmu lagi?" Namjoon bertanya. Ia pernah hampir saling berbalas tinju dengan seorang senior di tempat kerja Seokjin yang memfitnah dan memaki kekasihnya di depan banyak karyawan.
Seokjin tersenyum hangat. "Tidak perlu cemas. Sejak hari itu, dia tidak pernah lagi mengganggu, dia bahkan sempat ingin berhenti bekerja karena takut bertemu denganmu lagi. Kau sangat menakutkan ketika marah. Aku bahkan sangat terkejut dan sedikit takut, haha."
Di tengah tawa manis yang lembut itu, Seokjin tidak menyadari ada perasaan yang ingin meledak di hati sang kekasih. Dengan gerakan secepat kilat, tubuh tinggi itu langsung menindih yang lebih mungil, memasukkan satu tangannya ke dalam baju dan meremas perut rata sang kekasih. Seokjin sangat terkejut, nyaris berteriak jika saja Namjoon tidak menutup mulutnya dengan tangan yang lain.
"Tidak ada yang berani mengatakan aku menakutkan sebelumnya. Tapi, kau pernah berkata jika aku sangat menakutkan ketika sedang menaklukanmu. Apa aku sudah terlihat menakutkan sekarang?" Nada suara itu sungguh berat dan dalam. Napasnya sudah memburu dan telinganya sudah memerah. Seokjin bisa melihat urat tangan kekar Namjoon yang semakin terlihat jelas.
Seokjin menelan liurnya dengan susah payah, ia melihat ada kilatan yang sangat memikat di mata jernih sang kekasih. Bibir Namjoon ia kecup, kedua pipinya ia pegang dengan lembut.
"Aku sangat takut. Bisakah kau melindungi pemuda rapuh ini sepanjang malam?"
Sejak itu pula, Seokjin tidak pernah ingin menghilangkan rasa takutnya.
TBC …
See you in the next chapter^^💕💜
©daιnιғeι yυzι
—May 14, 2020—Tanggal revisi
—September 29, 2020—
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fabulous Slave 🔞
Romance⚠️ Mengandung adegan 🔞 seperti : bahasa kasar, kekerasan, pelecehan seksual, dll ⚠️ Kehidupan Kim Seokjin yang semula tenang berubah kacau sejak ia bertemu dengan Kim Namjoon. Namun, sebuah fakta yang akhirnya terkuak setelah sekian tahun membuatny...