Perasaan cemas begitu menyelimuti hati dan pikiran Namjoon. Kerutan di keningnya bisa menjelaskan seberapa resahnya ia saat ini. Sebutir pun beras bahkan belum masuk ke perutnya sejak ia kembali ke Seoul. Ia bahkan tidak sempat untuk sekedar menyegarkan wajah dan tubuhnya.
Setelah kejadian sore tadi, Seokjin masih belum sadarkan diri. Namjoon mengingat dengan jelas apa yang Seokjin katakan padanya sebelum pingsan dan itu sungguh mengganggu pikirannya. Tapi kenapa?, batinnya bertanya.
"Namjoon hyung, kau juga harus makan." Ten kembali mendekatkan piring yang sejak tadi ada di tangannya pada Namjoon. Sudah lebih dari satu jam ia terus menyuruh Namjoon untuk makan, namun ia terus ditolak. Padahal pagi hari sudah hampir tiba. Mereka berdua tidak bisa tidur karena begitu mencemaskan orang yang sama.
Namjoon tidak membawa Seokjin kembali ke rumah sakit. Mulai saat ini Seokjin tidak akan dirawat di rumah sakit.
"Kau saja yang makan. Aku akan makan jika Seokjin hyung sudah sadar."
Helaan napas yang kasar dan panjang terdengar dari Ten. Ia benar-benar benci orang yang keras kepala, meski ia terkadang seperti itu pada Johnny.
"Tidak akan baik jika kau pingsan saat Seokjin hyung sadar! Makan, kau butuh itu! Setidaknya kau harus tetap kuat meski nanti Seokjin hyung menendangmu!"
Namjoon menatap tajam pada sosok yang lebih muda dua tahun darinya, tapi Ten justru menatapnya dengan lebih tajam. Namjoon menyerah, ia segera melahap hingga habis makanan yang sudah dingin itu. Ia juga sudah lelah mendengar Ten yang terus berisik. Ia sedikit bertanya-tanya bagaimana bisa Johnny bertahan dengannya.
Ketika sepasang kelopak mata yang terasa berat itu baru terpejam selama kurang lebih lima belas menit, sebuah suara keras dari seseorang berhasil membukanya kembali. Seokjin akhirnya sadar, tapi tubuhnya sudah basah oleh keringat dan bergetar, bahkan wajahnya terlihat begitu pucat.
"Ada apa, hyung?" Namjoon bertanya dengan lembut, mencoba untuk tetap tenang. Ten sedang istirahat di kamar yang biasa ia dan Johnny pakai ketika menginap di mansion milik Namjoon. Namjoon mendekat dengan perlahan, ia ingin memeluk tubuh ringkih itu, atau hanya sekedar menghapus keringat di wajahnya. Tapi ia tidak ingin membuat keadaan dan perasaan Seokjin semakin memburuk.
Setelah meyakinkan diri, akhirnya Namjoon mengambil keputusan untuk mendekat. Ketika jarak antara dirinya dan Seokjin semakin menipis, ia justru langsung merasakan sedikit sakit di perutnya akibat pelukan Seokjin yang begitu tiba-tiba dan sangat erat, dan juga rasa terkejut yang menyenangkan di hati. Kedua tangan Namjoon perlahan bergerak menuju punggung Seokjin, mengelus punggung yang juga sudah basah itu dengan begitu lembut.
"Ssttt … kau sudah aman bersamaku." Satu kalimat singkat itu diucapkan dengan selembut mungkin. Usapan di punggung Seokjin pun kian melembut. Perlahan tapi pasti, Namjoon bisa merasa jika Seokjin sudah merasa lebih tenang.
Matahari telah terbit. Tirai yang menutupi jendela kamar berukuran luas milik Namjoon sudah dibuka. Ia sudah mengajak Seokjin untuk sarapan bersama, namun ia ditolak. Kini saatnya Namjoon untuk membujuk Seokjin agar mau berjemur di luar dan menikmati suasana sejuk di pagi hari, bersama dengannya.
"Seokjin hyung, aku—"
"Aku ingin berjemur di taman."
Perasaan senang itu kembali singgah di hati Namjoon, ia berharap segala sesuatunya akan membaik secepat mungkin. Ia segera pergi ke sudut ruangan, mengambil sebuah kursi roda yang terdapat sebuah label nama Seokjin di sandarannya. Kedua mata Seokjin menangkap benda kecil berlatar putih dan bertuliskan hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fabulous Slave 🔞
Romance⚠️ Mengandung adegan 🔞 seperti : bahasa kasar, kekerasan, pelecehan seksual, dll ⚠️ Kehidupan Kim Seokjin yang semula tenang berubah kacau sejak ia bertemu dengan Kim Namjoon. Namun, sebuah fakta yang akhirnya terkuak setelah sekian tahun membuatny...