8

137 29 2
                                    

Sudah beberapa hari ini aku tidak datang ke kampus, selain sibuk menyiapkan proposal, aku juga tidak ingin bertemu dengan Mingyu dan Joshua. Hubunganku dengan kedua pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ketika Seungkwan datang ke rumah, aku pun tidak pernah keluar kamar untuk bertemu dengannya. Anak itu juga pasti sudah mendengar kabar soal Mingyu yang menyatakan rasa sukanya kepadaku.

Tapi hari ini berbeda. Aku harus pergi ke kampus untuk sidang proposal.

Tanpa memberitahukan orang-orang terdekatku, kecuali teman satu jurusan, aku melaksanakan sidang. Aku ingin sidangnya lancar dan bisa pulang secepatnya, suasana kampus tidak membuatku nyaman seperti dulu lagi.

"Proposal kamu latar belakangnya sudah cukup bagus, kurang data sedikit lagi." Kata dosen penguji yang tengah duduk di hadapanku.

Harap-harap cemas rasanya. Berharap diterima agar aku tidak perlu sidang proposal lagi, cemas tidak diterima karena kekurangn data. Namun wajah yang terpampang di dunia nyata adalah wajahku yang sok tenang. Aku mengangguk sembari tersenyum penuh kepada tiga dosen di depanku ini.

"Saya, sih, oke. Lanjutkan saja." Katanya lagi. Dosen kedua ikut mengangguk, menandatangani hard copy proposalku kemudian menutupnya.

"Ya, silahkan diambil. Sidangnya sudah cukup. Perbaiki apa yang saya dan Ibu Heni tandai, silahkan lanjutkan bimbingan kepada Pak Hermawan." Kata Pak Albert selaku penguji satu. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekalian pamit keluar ruangan, tidak lupa aku mengambil kembali 3 proposalku yang sudah dicoret-coret dan ditandai dosen untuk diperbaiki.

"Gimana sidangnya?"

Baru saja aku keluar ruangan, Seungkwan menghampiriku dengan sebucket bunga di tangan. Aku mundur beberapa langkah sangking terkejutnya.

"Ya Tuhan! Aku kira kamu siapa!" Seruku segera membawanya menjauh dari ruang sidang.

Seungkwan tampangnya super bingung. "Gimana sidangnya, Kak?"

"Lancar. Aku bisa lanjutin skripsi. Kok, bisa tahu aku sidang?" Tanyaku sembari duduk di bangku yang ada di koridor gedung fakultas. Seungkwan ikut duduk.

"Ibu yang kasih tau. Congrats ya, Kak." Katanya memberikanku bucket bunga yang cukup besar.

Aku menerimanya dengan senang hati. Padahal aku belum sidang akhir tapi sudah dikasih bucket bunga segala. Aku ingin protes tapi sebelum itu ku lakukan, Seungkwan malah menarik ketiga hard copy proposalku dan membolak-balikkannya sekejap. "Jadi, Kakak tetep neliti perkara pembobolan bagasi di bandara? Serius?"

"Ya, menarik, kan?"

Seungkwan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku, sih, ga paham soal hukum tapi ribet banget ga, sih? Kakak pasti bakal sibuk banget ngurusinnya."

"Semua skripsi ribet kalau kamu ga cekatan, Seungkwan. Ini kasus yang mudah menurutku, temanku ada yang neliti soal Kematian di Lapas. Lebih ngeri lagi, produsernya lebih sulit." Jelasku membuatnya mendesah panjang.

"Aku bahkan ga pernah ingin tahu hal-hal begitu." Komentarnya.

Aku tertawa kecil. Bukan hanya Seungkwan yang tidak suka dengan kasus seperti itu. Kebanyakan orang juga tidak ingin tahu soal kasus-kasus itu. Pasalnya, kasus seperti itu ribet dari akar. Belum lagi harus berurusan dengan banyak pejabat. Kalau beruntung, skripsinya bisa selesai cepat. Kalau tidak, ya, bisa sampai bertahun-tahun.

"Kak, Mingyu ada kabarin Kak Rana, nggak?" Tanya Seungkwan tiba-tiba.

Kedua alisku hampir menyatu. Pertanyaan yang ingin ku hindari akhirnya keluar dari mulut Seungkwan. Cepat atau lambat memang akan seperti itu.

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang