30

130 23 0
                                    

Mingyu menatapku intens saat aku sibuk membolak-balikkan halaman skripsi yang sudah tercoret oleh pulpen dosen pembimbingku. Agak risih sebenarnya apalagi dengan jarak kami yang cukup dekat, aku bahkan bisa merasakan napasnya menderu di wajahku. Karena takut dia berbuat macam-macam, aku segera menaruh skripsiku di atas meja dan bergeser agar menjauh darinya.

"Mau bantuin aku atau mau ngapain?" Tanyaku sinis. Mingyu tersenyum lebar, ia mendekatkan posisinya kepadaku masih dengan wajah yang ditopang dengan tangan, menatapku intens.

"Kalau serius kamu jadi lebih keren, Kak. I can't take my eyes of you." Jawabnya membuatku geli setengah mati. Ku dorong pundaknya pelan untuk menyadarkan dirinya.

"Ingat perjanjiannya?"

Mingyu mengerucutkan bibir. Ia menghempaskan punggungnya di atas sofa, mendesah cukup keras. "Ingat. Aku nggak boleh ngambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kejadian, aku nggak diperbolehkan main ke rumah ini lagi."

"Bagus." Sahutku bangga kembali mengambil skripsi di atas meja, membaca catatan yang ditinggalkan dosenku untuk memperbaiki kesalahan yang ku buat dalam skripsiku ini.

Ya, aku dan Mingyu baru saja membuat kesepakatan. Kesepakatan agar Mingyu bisa menjaga nafsunya untuk tidak melakukan skinship seperti ciuman kepadaku. Kesepakatan yang juga berisi janji Mingyu dan aku untuk tidak dekat dengan siapa-siapa selama beberapa bulan ke depan untuk melihat perasaanku yang sebenarnya. Selain itu Mingyu juga akan menemaniku membuat skripsi setiap ia ada waktu, janji ini adalah janjinya bersama Jeonghan. Bukan aku. I don't know, aku hanya mulai berpikir untuk mencoba menerimanya secara perlahan.

"Tapi, kamu juga harus ingat janjimu juga ya, Kak." Ucap Mingyu sembari menegakkan badan, ia kembali mendekatkan tubuhnya ke arahku.

"Aku nggak bilang janji, Mingyu. Aku hanya bilang kalau perasaanku bisa tumbuh sampai aku wisuda, aku pasti nerima kamu." Jelasku mencoba untuk tenang, meski aku sendiri belum bisa berpikir jauh ke sana.

Mingyu menyeringai. "Bisa."

"Kalau nggak?"

"Aku yakin 100% kamu bakal nerima aku, Kak." Ucapnya penuh kepercayaan diri. Aku cuma bisa menggelengkan kepala, heran mengapa anak ini sangat optimis akan banyak hal.

Mingyu mengacak-acak rambutku gemas, ia mengambil salah satu hard copy skripsiku, membaca dengan serius. Aku cuma bisa tersenyum kecil, entah mengapa hatiku rasanya mengembang melihatnya seperti itu. Apakah itu salah satu tanda aku mulai menerimanya?

~~~

Joshua tertawa lebar setelah memastikan makanannya sudah ditelan. Ia geli mendengar ceritaku soal dospem yang salah mendebatku perihal data yang ku dapatkan dari Pengadilan, yang kemudian diperbaikinya sendiri. Aku sedikit kesal, pasalnya aku jadi harus mengulang kembali apa yang sudah ku kerjakan kemarin.

"Terus kamu ngulang lagi?" Tanya Joshua. Aku mengangguk.

"Mau gimana, coba? Kemarin udah debat tapi ga diterima, sekarang malah nyuruh ngulangin. Kan sebel." Keluhku sambil menyesap es teh yang ada di depanku. Joshua masih tertawa.

"Eh, terus, si Mingyu masih nemenin kamu?"

"You think?"

"Calon bucin, ye." Godanya. Aku mengedikkan bahu, mau bucin atau tidak yang penting tidak posesif. Dalam berhubungan aku selalu menghindari kata posesif.

"Kamu gimana? Masih keukeuh ngejar dia?" Tanyaku mengalihkan topik, aku malu kalau ngomongin soal Mingyu terus--dan bingung kalau ditanya soal perasaanku ke depannya.

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang