18

107 18 2
                                    

Aku tidak mampu melihat Mingyu selama hunting berlangsung. Kerjaanku menempel pada Minghao dan salah satu temanku, yang syukurnya ikut datang ke acara hari ini. Mungkin aku terlalu terbawa emosi, terlalu banyak pikiran, mulai dari pesan teror yang membuatku takut terlalu dekat dengan Mingyu, rasa insecure karena merasa tidak pantas bersama pria bertubuh jenjang itu, dan kepikiran masalah Jeonghan dengan Audrey. Belum lengkap juga kalau aku tidak menyebut skripsi. Semuanya berkecamuk dan aku ingin meluruskannya satu-satu.

Kalau masalah dengan Mingyu selesai, pesan teror dan rasa insecure pasti berkurang. Aku jadi bisa fokus ke Jeonghan dan skripsi.

Ya, aku akhirnya jujur kepada Mingyu tentang perasaanku kepadanya. Setelah dipikir-pikir, aku selalu menganggapnya sebagai adik. Segala perhatian yang ia berikan ku anggap perhatian seorang junior kepada senior yang pernah menjabat sebagai atasannya di organisasi. Sifat Mingyu yang kekanak-kanakan di depanku juga membuatku makin yakin dengan perasaanku sendiri.

Mingyu sendiri berusaha mendekatiku, tapi aku selalu melipir pergi mencari objek lain untuk difoto. Seperti sekarang, saat Minghao menjadi model dan aku asyik memotretnya, dari sudut mata, aku bisa melihat Mingyu mendekat. Refleks aku segera melipir menjauh.

"Kak," Mingyu meraih tanganku, sial! Aku hampir berhasil menghindarinya.

Genggamannya kencang sekali sampai aku tidak bisa melepas tanganku. Karena di sekitar kami ada banyak anak UKM, aku pura-pura memberikan wajah ramahku kepadanya. "Ya?"

"Aku ma--"

Sebelum aku bisa mendengar kata-kata dari mulut Mingyu, seseorang menabrakkan tubuhnya ke sampingku. Kamera yang ku pegang menggunakan tangan kiri jatuh tanpa bisa ku hindari.

BRAKKK

Mataku membulat. Refleks tubuhku terduduk di atas tanah begitu melihat kameraku jatuh dan badannya terpecah. Lensanya pun retak karena ia jatuh di atas kerikil tajam. Genggaman Mingyu melemas, kepalanya menoleh ke sekeliling kami yang kini perhatiannya ke arahku yang terisak.

Minghao yang awalnya sudah siap berpose segera menghampiri kami. Ia ikut terduduk, meraih kameraku dan mencoba menyatukan beberapa bagian yang terlepas. Aku tahu. Mau bagaimana pun juga, aku tidak bisa menggunakannya kembali. Lensanya rusak parah.

"Kok bisa jatuh, Kak?" Seorang anggota UKM menghampiriku, ikut membantu Minghao menenangkanku.

Aku tidak bisa menjawab karena terlalu kaget dan sedih. Kamera analog ini ku beli sendiri, kamera analog pertamaku yang tidak mahal--tapi juga tidak murah. Aku ingin menyalahkan orang yang menabrakku, tapi aku pun salah karena lalai memegang kamera dengan benar. Jadi yang bisa ku lakukan hanya merutuk diri dan bersedih akibat kebodohan sendiri.

Anggota UKM lainnya mulai memberikan kalimat-kalimat empati yang tidak bisa ku ingat. Aku hanya terlalu sedih, rasanya emosiku sudah hampir mencapai puncaknya. Tanpa ba bi bu, aku menarik napas panjang, menarik tanganku dari genggaman Mingyu--yang seperti sedang mencari seseorang. Aku merebut kamera dari tangan Minghao dan berjalan ke arah parkiran mobil.

Aku sedang ingin sendiri. Sialnya aku berada jauh dari Kota Bandung. Kalau sudah begini aku hanya bisa berharap hunting segera usai.

~~~

Mingyu menggigit bibirnya, aku tahu ia pasti bingung ingin berkata apa. Aku pun tidak paham mengapa ia mau mengantarku sampai depan pintu rumah setelah hari yang sangat panjang hari ini. Tadi, hunting tetap berjalan normal tapi wisata kuliner yang direncanakan harus dipostpone karena Mingyu ingin mengantarku pulang lebih cepat.

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang