Semuanya bermula ketika Jeonghan mengeluh sakit ketika masa orientasi. Karena aku duduk di sampingnya, aku disuruh senior untuk menemaninya di barak PMI sampai anak itu baikan. Begitu dibaringkan di kasur, ia mengaku kalau ia tidak sakit dan sengaja berpura-pura agar bisa baringan di tenda PMI. Sialan memang, mentang-mentang badannya terlihat rapuh. Dari sana aku jadi dekat dengannya apalagi begitu kami sekelas. Sejak itu orang-orang mengira aku dan dirinya punya hubungan spesial, bukan sekadar teman biasa.
Orang berpikir kalau persahabatan antara cowok dan cewek selalu ada rasa yang muncul. Tapi aku dan Jeonghan berani bertaruh kalau kami tidak punya perasaan itu. Jujur, saat Mingyu bertanya, aku kecewa luar biasa. Aku tidak menjawabnya dan diam sampai ia menurunkanku di depan rumah. Hanya ucapan terima kasih yang ku keluarkan dan ia pun pergi begitu saja.
"Jeonghan udah baikan?"
Ibu bertanya begitu aku lewat di depannya. Ada Seungkwan pula. Anak itu kenapa nggak menjadi tetangga normal saja, sih? Malah keasyikan main di rumah seakan menjadi anak bungsu Ibuku.
"Lumayan." Jawabku tidak semangat sembari menaiki tangga menuju kamar.
Ibu tampak ingin bertanya lagi tapi urung dilakukannya setelah melihat diriku yang tidak baik-baik saja. Seungkwan hanya diam, aku harap ia paham kondisiku sekarang dan tidak seenak jidat menghampiriku ke kamar dan mengoceh tidak jelas.
Sesampainya di kamar aku membanting diriku ke atas kasur. Ku lihat sekilas hpku, ada banyak pemberitahuan chat dari Joshua dan Seungcheol yang khawatir akan kondisi Jeonghan. Bahkan Joshua sudah menuju apartemen Jeonghan untuk menemani anak itu recover. Seungcheol malah marah-marah kepadaku soal Audrey, padahal aku tidak tahu apa-apa.
Menyebalkan.
Aku masih sakit hati dengan Mingyu. Mungkin setelah ini hubungan kami tidak akan seperti biasa. Biarkanlah. Kan memang doaku agar menjauh darinya. Tapi aku tetap kecewa.
~~~
Joshua menelponku malam-malam, memberitahukan perkembangan kondisi Jeonghan. Ia sudah agak baikan, masih agak shock meski berusaha menutupinya. Aku bersyukur Joshua bisa menemaninya di sana sembari mengerjakan skripsi karena aku tidak bisa melakukannya. Seungcheol tentu saja tidak bisa diandalkan. Anak itu kalau ketemu Jeonghan bawaannya marah-marah terus. Bukannya memperbaiki kondisi Jeonghan, ia malah bisa memperburuk keadaan.
"Jadi, gimana sama Mingyu?" Tanya Joshua, tanpa sadar aku menghela napas panjang.
"Nggak tau."
"Kedengerannya ada yang kecewa, nih." Joshua menggodaku.
"Ya, memang. Aku hanya ga suka orang-orang berasumsi yang tidak benar tentangku dan Jeonghan. Kamu tau, kan?"
Aku mendengar grasak-grusuk di ujung sana sampai aku harus menjauhkan telepon dari telingaku. Suara Joshua kembali terdengar. "Tahu. Tapi bukannya kamu senang anak itu akhirnya punya alasan untuk mundur?"
"Tapi bukan karena hal ini."
"Well, let's say... you actually want him but not now and you don't want him thought about you like Jeonghan, right? Because someday, you may accept his feeling."
Pemikiran apa pula itu. Aku menggeleng. "Bisa nggak, kamu udahin pemikiran soal perasaanku kepada Mingyu? I just like him as a little brother, not more than that."
"Kelihatan banget, Ra. Aku nggak tahu apa yang kamu pikirin, entah kamu fokus ke skripsi atau benar-benar denial dengan perasaanmu sendiri."
Aku diam cukup lama sampai yang terdengar hanya suara napasku dan napasnya. Entahlah. Aku pun bingung, terkadang jantungku berdetak tidak keruan ketika bersama Mingyu, apalagi ketika ia melakukan perhatian-perhatian yang mengejutkan. Aku senang bersamanya, tapi untuk dikatakan menyukainya lebih dari itu aku angkat tangan.
"Ra," Joshua memanggil. Aku berdehem.
"Jeonghan urusan aku sama Seungcheol. Sekarang kamu fokus ke skripsi dan... coba kamu hubungi Mingyu lagi, jelasin ke dia kalau kamu sama Jeonghan nggak ada apa-apa."
"Untuk apa?" Aku menyentaknya.
"Dia anak yang baik, jangan lepasin orang kayak dia."
"JOSH!"
Dan telepon mati. Refleks aku melempar hp ke atas kasur. Kenapa sih semua orang memaksaku untuk menerima Mingyu?
~~~
Aku tidak melakukan apa yang disuruh Joshua kepadaku, tetapi aku membuka instagram Mingyu, melihat feeds-nya yang 40% adalah diriku. Mulai dari potret bayangan, wajah close up, sampai hal-hal berupa selfieku berdua dengannya. Aku baru benar-benar sadar kalau Mingyu menyukaiku sejak dahulu begitu ku baca caption fotoku yang diunggahnya. Saat membaca caption, aku pun melihat komentar-komentar yang mempeributkan diriku yang selalu menjadi objek Mingyu.
Ku buka profil mereka satu per satu, mengejutkan karena banyak dari mereka menggunakan second account. Ada beberapa yang mengikutiku pula meski mereka tidak pernah mengomentari isi instagramku--tapi aku tahu mereka pasti memata-mataiku dari media sosial. Mingyu memang cukup terkenal di kampus, fansnya tersebar di setiap fakultas.
Ada satu akun yang mengejutkanku. Akunnya bukan second account, jadi aku bisa melihat langsung siapa pemiliknya (yang mencantumkan namanya secara jelas dan foto ootd-nya). Aku mengenalnya, seorang junior yang ikut UKM Fotografi, junior yang menanyaiku saat bermain ToD!
Feeling-ku tidak enak dan tanpa sadar aku membuka story instagram-nya. Beberapa story adalah dirinya sedang berkumpul dengan temannya di kantin, kemudian ada foto Mingyu sedang duduk di sekre kampus dengan caption 'delete soon after you following me back (:' yang cukup membuatku geli. Dan story terakhir membuatku terdiam cukup lama, mendengar setiap kalimat yang diucapkannya secara lantang dan penuh percaya diri.
"Well, guys, gue tahu dia udah punya pacar tapi si lonte itu ga bakal lama di kampus." Katanya kepadanya seseorang di balik kamera yang tengah merekamnya.
"Lo ngeri banget sumpah, Dil. Lagian kamera si eta udah rusak juga, kalau ketahuan gimana?" Sahut suara dibalik kamera dengan cukup jelas.
"Nggak bakal. She's so stupid to realize the situation. Makanya, buat lo pada jangan pada berani deketin doi! Awas kalau ada yang berani!"
Suara tawanya mengakhiri video singkat itu. Aku kaget luar biasa sampai tanganku bergetar setelah melihat video itu. How dare she is!
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
FanfictionCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...