10

144 30 2
                                    

Aku peka. Tapi aku denial. Segala rasa insecure makin menghantuiku, apalagi segelah Mingyu menyatakan rasa sukanya kepadaku. Teringat di kepala segala macam perhatian yang pernah Mingyu berikan kepadaku dan tatapan mata ketika dia bertanya soal cinta. Saat itu aku bilang, "Kata orang, kalau mau jatuh cinta sama seseorang itu mudah. Cukup tatap mata dia selama beberapa menit. Pasti bakal timbul perasaan."

Dan ia langsung memintaku untuk bertatapan pada saat itu. Aku paham sekarang, siapa yang ia maksud waktu itu. Ya, aku. Seorang Rana yang menjadi mantan ketua divisinya selama setahun belakang.

Tapi, untuk apa menyukaiku?

Aku bersyukur, kejadian ini berlangsung ketika aku sibuk penelitian. Bila tidak, aku akan bingung harus bersikap bagaimana bila bertemu Mingyu di kampus. Kegiatanku sebagai penyiar kampus pun sudah dikurangi, aku hanya perlu ke studio sekali seminggu. Ah... kalau ingat radio, ingat Joshua. Hubungan kami belum baik, bertemu dengannya pun untuk beberapa hari belakangan tidak akan terjadi.

Ketika aku mencari bayangan akan bagaimana sikapku bila bertemu Joshua di kampus, hpku tiba-tiba berbunyi tanpa ampun. Segera aku membuka pesan yang tertumpuk di grup UKM Fotografi Inti.

Chat grup itu rame dengan diskusi tentang perpisahan karena angkatanku sudah lengser. Perpisahan besar di Lembang yang rencananya akan dilaksanakan Minggu depan bersama anak inti baru. Napasku terhela berat selama membaca pesan mereka. Kalau aku ikut perpisahan, aku akan bertemu dengan Mingyu semalaman.

Apalagi Mingyu memilih menjadi kadiv Hunting, meneruskanku. Kami pasti disuruh upacara penyerahan jabatan ala-ala yang menjadi upacara turun-temurun dari senior. Sial. Aku tidak mau bertemu dengannya dulu.

~~~

"Beneran nggak mau ke kampus?" Seungkwan bertanya ketika mendengarkan celotehanku tentang nasi goreng buatan Ibu yang rasanya agak aneh setelah mencoba resep ala-ala di youtube. Padahal Ibu pintar masak, tapi karena ingin sok modern masakannya, ia mengikuti resep luar negeri yang menyebabkan rasa nasi gorengnya hambar dan kurang enak di makan.

Aku justru segera terdiam. Ku kunyah keripik kentangku sembari memandangnya sinis. Anak itu seperti mata-mata--dan memang memataiku di kampus--ia tahu segalanya. Bahkan soal Mingyu yang sudah menyatakan rasa sukanya padaku. Aku lelah dengannya yang keukeuh menyuruhku tegas menolak Mingyu.

"Kenapa, sih? Ketimbang satu cowok ini kamu jadi terpuruk? Kakak nggak kangen sama masakan ibu kantin?" Tanyanya membuatku ingin mengunyahnya hidup-hidup.

"Ya, maaf, aku ke kampus mau ngapain? Kelasku udah selesai, Seungkwan. Ini sisa skripsi, loh." Jawabku sensi.

Seungkwan tersenyum salah tingkah. Ia lupa fakta itu. Benar-benar manusia di sampingku ini, yang mengangkat kaki ke atas meja dan bersandar di sofaku seperti sedang bersantai di rumahnya sendiri. Sudah tidak sopan, sok tahu pula.

"Greget aku, Kak. Cepet tolak aja, aku males nanggepin dia yang selalu nanya info kamu di rumah. Kan, malas. Mana nanya info ga pernah bayar." Sungutnya dengan wajah yang tampak kesal, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Fakta baru yang menarik, mau sebenci apapun Mingyu kepada Seungkwan, ia tetap membutuhkan Seungkwan untuk menanyai kabarku.

"Minta bayaran, dong."

"Kemarin kita hampir berantem di kampus pas aku minta bayaran. Barbar banget anaknya." Kata Seungkwan kesal. Aku jadi tertawa.

"Ya, siapa suruh berantem mulu."

"Mana aku tahu!" Seungkwan protes sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang