9

133 28 20
                                    

Rana

Han! Sok-sokan ngirim surat!
But thanks anyway~~
Sering-sering kirimin aku kue yak!
Bahahahahah

Jeonghan

Bulan depan jemput di bandara
Ga mau tahu!

Aku tertawa membaca pesannya. Pasti karena keributan di grup kelas ia jadi tahu aku sidang proposal hari ini. Belum lagi banyaknya ucapan selamat mengalir kepadaku dan beberapa kawan yang juga mengikuti sidang hari ini di grup chat itu.

Rana

Iyeee~~ baginda.

Balasku dan profil Jeonghan tidak lagi online. Anak itu mungkin sedang kuliah atau mungkin baru bangun dari tidur. Aku harap ia bisa lebih aktif di kampus sekarang. Meski pintar, Jeonghan itu terkenal malas. Makanya ketika ia ingin kuliah di Belanda (sekalian mengejar kekasihnya), aku semangat sekali mendukungnya.

Dampaknya aku jadi kehilangan sosok sahabat di kampus. Tidak ada yang membuatku tertawa ketika gibahin orang, tidak ada lagi tempatku bercerita tentang banyak hal. Terkadang aku ingin memulai cerita, tapi aku takut mengganggunya di sana.

"Rana!!!"

Tubuhku otomatis terduduk di atas kasur. Ibu memanggilku dengan sangat lantang. Tanpa membuang waktu aku segera turun ke lantai bawah dan menemukan Ibu mengobrol dengan Mingyu di ruang tamu.

Aku membeku di ujung tangga. Mataku terbelalak melihat Mingyu yang duduk santai di sofa dengan senyuman sangat lebar. Ia mengangkat tangan kanannya ke udara, menyapaku sok ramah.

"Hai, Kak!"

"H-hai. N-ng... ngapain kamu ke sini?" Tanyaku segera tidak kunjung bergeser dari posisiku.

"Congratulation!" Serunya dengan sebuah parcel berisi makanan manis pada kedua tangannya.

Ku lihat Ibu tersenyum di sampingnya. Kalau saja Ibu tahu apa yang terjadi antara aku dan Mingyu. Aku menyesal tidak bercerita kepadanya soal hari laknat itu.

"Ibu tinggal, ya, sok ngobrol berdua. Rana! Sini! Ngapain kamu di situ kayak patung aja!" Seru Ibuku sembari melambai-lambaikan tangannya untuk menghampiri Mingyu di sana.

Aku mendecakkan lidah pelan, hampir tak terdengar. "Iya, Bu." Kataku mau tak mau menghampiri Mingyu dan duduk di sofa yang ada di hadapannya.

"Min--"

"Nggak apa-apa, Kak. Kamu ga perlu jawab pernyataanku waktu itu, Kak. Just ignore it, aku tahu kamu nggak akan terima. Let's be like usual." Potongnya terlebih dahulu. Aku menggaruk dahiku yang sebenarnya tidak gatal, kalimatnya itu malah membuatku makin tidak nyaman.

"Are you sure? Don't you feel uncomfortable?" Tanyaku sembari menatap kedua matanya.

Ia mengangguk, senyumnya agak terpaksa. Aku tahu, itu tidak benar.

"But I'm not, Mingyu. Bagaimana bisa aku menghadapimu setelah kejadian kemarin? Kalau kamu ignore kejadian kemarin, aku akan merasa bersalah selamanya." Jelasku serius. Mingyu terperangah, wajahnya kelihatan sangat khawatir.

"Anggap aja aku nggak pernah ngomong, Kak."

"How come? Mingyu--"

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang