Jeonghan memelukku sekilas. Setelah berjibaku dengan luka hatinya, ia pada akhirnya memutuskan kembali ke Belanda. Meski belum sembuh total, Jeonghan berjanji tidak akan ambyar kalau bertemu Audrey, ia juga harus logis (katanya). Bagaimana pun juga beasiswanya di Belanda lebih penting daripada perempuan yang sudah memilih pria lain daripada dirinya. Aku? Apapun pilihannya aku akan tetap mendukung.
Tapi aku, Joshua, dan Seungcheol memaksanya untuk memberikan kabar dirinya setiap minggu. Sekaligus meminta Jeonghan bertemu dengan psikolog kalau-kalau mentalnya berantakan lagi.
"Jagain Rana, ya." Kata Jeonghan dengan jahilnya kepada Mingyu sembari memeluk anak itu sekilas. Iya, Mingyu pun ikut mengantar karena Jeonghan yang mengajak--aku pun baru tahu begitu kami sampai di bandara.
"Yang perlu dijaga itu anda, permisi." Sahutku keki, Seungcheol menepuk-nepuk kepalaku agar aku bisa menahan emosi.
"Iye tau..." balas Jeonghan tampak tidak begitu peduli. Ia kemudian memeluk Joshua dan Seungcheol satu per satu kemudian menarik kopernya mendekat.
"Aku pergi dulu, ya." Katanya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Hatiku agak sedih melihatnya seperti itu, tapi aku tidak boleh menahannya lagi. Jeonghan harus belajar merelakan perasaannya sendiri. Joshua dan Seungcheol pasti merasakan hal yang sama, meski ditutupi dengan senyum lebar di wajah mereka.
"Bye!" Jeonghan melambai kemudian berjalan masuk ke dalam gerbang keberangkatan. Kami mengantarnya dengan lambaian tangan dan masih berdiri di pembatas gerbang sampai bayangan Jeonghan tidak lagi tampak di mata kami.
"Akhirnya." Joshua mengembuskan napas.
Aku meliriknya bergantian dengan Seungcheol yang melakukan hal sama padaku dan Joshua. "Udah, yuk, balik!" Seruku kemudian.
Joshua menggeleng. "Sorry, aku sama Seungcheol ada pertemuan. Kamu bisa balik sama Mingyu, kan?"
Otomatis Mingyu yang menjawab dengan penuh semangat. "Bisa!"
Sedangkan aku hanya bisa memijit kening. Aku tahu, pertemuan yang dimaksud Joshua hanya akal-akalannya agar Mingyu bisa mengantarku. Si Seungcheol yang sudah terhasut pun mengangguk setuju. Sumpah deh, kalau sudah begini aku tidak bisa mengelak. Dengan cepat aku berbalik menuju parkiran mobil tanpa berpamitan dengan dua sahabatku itu. Aku sedang gedek dengan mereka.
"Ayo, Mingyu!" Sahutku pada Mingyu yang bengong melihat sikapku. Seungcheol dan Joshua terkekeh, mereka segera mendorong Mingyu untuk mengejarku.
Huh. Sahabatan sama cowok memang menyebalkan.
~~~
"Kak, si Dila udah ganti kameramu belum?" Mingyu bertanya begitu aku membawakan segelas minuman dari dapur. Aku pikir setelah mengantarku ia akan kembali, nyatanya anak ini malah masuk ke rumah dan duduk manis di sofa selayaknya seorang tamu.
"Kameranya nyampe beberapa hari lagi." Jawabku sembari menaruh minuman itu di hadapannya.
Mingyu menganggukkan kepala. "Baguslah. Awas saja kalau dia tidak ganti!" Katanya geram.
"Aku juga punya andil salah, Mingyu. Coba kameranya aku kalungin, pasti ga bakal jatuh. Agak nggak nyaman minta ganti seperti ini." Jelasku mengingat kejadian itu. Memorinya masih sangat jelas, detik-detik kameraku jatuh pun masih terekam jelas, dan itu membuatku meringis.
"Tapi dia sengaja dorong kamu, Kak. Aku melihatnya dengan kedua mataku secara jelas. Kalau aku tidak melihat dengan jelas, mungkin aku tidak memaksanya mengganti kameramu, Kak." Mingyu bersikeras, bahkan menunjuk matanya untuk meyakinkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
FanficCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...