34 [The Last Chapter]

317 30 11
                                    

Aku menutup pintu rumahku dengan rapat, meninggalkan Seungkwan dan Hoshi untuk menghabiskan cemilan dan membuka seluruh kado yang diberikan temanku di ruang tamu. Aku tidak mau kedua manusia itu mendengar pembicaraanku dengan sosok pria yang kini berdiri di hadapanku dengan senyum tipis dipaksakan. Ada keringat yang muncul di pelipisnya, seakan ia baru saja berlari ke rumahku entah dari mana.

"Kamu ke mana?" Tanyaku khawatir sembari memeluk diriku sendiri. Aku gemas sekali ingin memeluknya, tapi urung karena takut ia berpikir macam-macam.

Pria itu menyerahkan kotak besar kepadaku. "Tadi katanya mau red velvet, kan?"

"Mingyuuu...." aku menyeruak memeluknya setelah menaruh kotak itu di meja teras rumah. "Makasih." Ucapku tulus. Pada akhirnya aku memang tidak bisa menahan diri untuk memeluknya.

Aku takut luar biasa, dengan kehadirannya sekarang aku bisa bernapas lega. Ketakutanku tidak berarti. Bukan soal kue yang dibelinya, aku bahkan hanya berharap ia mengabariku. Mingyu mematung selama beberapa detik, kemudian aku merasa tangannya melingkar di tubuhku. Ia membalas pelukanku, bahkan mengelus punggungku dengan lembut.

"Kamu kenapa, Kak?" Tanyanya berusaha santai meski aku bisa mendengar degupan jantungnya yang amat kencang. Aku tahu, ia juga sadar kalau aku gugup bukan main sekarang.

"Aku kira kamu ke mana." Jawabku sembari melepas pelukanku. Tapi Mingyu enggan melepasku begitu saja, ia menunduk, menatapku intens.

"Aku kena macet tadi, pas ke kampus ternyata kamu udah balik. Yaudah aku ke sini." Tawanya renyah. Aku memukul dadanya pelan. "Kan, belinya barengan aja."

"Nggak, dong. Biar surprise." Senyumnya merekah lebar, membuatku ikut tersenyum. Padahal bukannya membuatku terkejut, aku malah khawatir luar biasa.

"Kamu khawatir, ya?"

Mingyu mulai menggoda. Aku mendecakkan lidah, mendorongnya pelan agar ada jarak di antara kami. Kelamaan berdiri terlalu dekat bikin suasana di sekitar jadi lebih panas.

"Aku nggak ke mana-mana, kok. Masih setia nunggu kamu." Katanya kali ini membuat darahku terpompa lebih kencang, aku pun yakin wajahku memerah dan berharap Mingyu tidak menyadarinya. Aku membuang muka ke arah lain, berusaha memikirkan topik lain yang bisa ku utarakan. Tapi kepalaku terlalu lelah untuk berpikir sekarang.

"Kamu pasti capek, ya, Kak. Jangan lupa suruh dua orang itu pulang. Kamu harus istirahat, tenangin otak baru mikirin revisi... dan aku." Kata Mingyu dengan jahilnya. Aku tertawa geli.

"Pede banget, sih."

"Aku tahu, kamu lagi mikirin aku daritadi. Telingaku panas soalnya."

"Ngasal." Ucapku berpura-pura sebal. Aku menepuk bahunya pelan dan Mingyu segera menarik tanganku untuk dikecupnya singkat.

"Aku balik, ya." Pamitnya membuatku agak kecewa.

Aku tahu, ia pasti memikirkanku yang harus beristirahat panjang setelah sidang. Ia pun enggan masuk ke dalam karena kehadiran dua tetanggaku yang tidak bisa ku usir--karena keduanya membantuku membereskan dan menghabiskan kado sidang. Hubungan dia dan Seungkwan masih belum baik.

Begitu Mingyu berbalik aku menarik tangannya. Entah mendapat keberanian dari mana tapi aku berhasil mencium bibirnya singkat setelah menjijitkan badan. Sial. Aku sebenarnya berniat mencium pipinya, sih.

"M-maaf." Sesalku sembari menutup mulut. Sial. Sial. Sial.

Aku bahkan tidak berani menatap Mingyu yang masih berdiri di hadapanku. Mungkin ia sama terkejutnya denganku. Sumpah. Aku malu luar biasa.

Langkahku refleks mundur begitu Mingyu mendekat. Ia akhirnya memegang bahuku agar aku tidak ke mana-mana. Tangannya bergerak memegang daguku agar aku bisa mendongak, menatap kedua bola matanya yang tajam. Tatapannya tidak biasa, aku jadi ciut dan tidak bisa berkutik.

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang