20

113 22 8
                                    

Aku menatap dua manusia di depanku dengan lelah. Tidak pernah aku bayangkan kalau keduanya sangat cocok menjadi teman. Aku menyesal, sangat menyesal mempertemukan mereka. Super duper menyesal menceritakan perihal Mingyu kepada Jeonghan yang nyatanya malah makin membuat hubunganku dengan Mingyu complicated. Jeonghan berada di sisi Mingyu, itu sudah jelas. Ia bersikeras kalau aku sebenarnya menyukai anak itu, tapi yang punya perasaan itu aku, jadi untuk apa mendengarnya?

Jelas ia hanya memunculkan praduga.

Mingyu juga masih tidak tahu malu berusaha mencari perhatianku. Ia seakan tidak pernah mengingat kejadian di Purwakarta, saat aku menolaknya mentah-mentah. Hal seperti inilah yang aku bingungkan soal cowok. Mereka egois dan keras kepala. Tidak pernah melihat dari sisi perempuan.

"Mesem banget, sih mukanya, mba." Jeonghan menyindir sedangkan Mingyu tertawa di sampingnya. Aku makin cemberut.

Kenapa keduanya nggak pergi berdua saja, sih? Bukannya refreshing, aku malah makin stress.

"Aku tanya, deh, kenapa sih kamu keukeuh ngejar sahabat aku yang biasa-biasa aja ini?" Tanya Jeonghan kepada Mingyu yang membuatku ingin melemparinya dengan gelas kopi yang berada di hadapanku. Bisa-bisanya ia menyebutku sebagai sahabat 'biasa-biasa' saja. Meski tidak secantik model di TV, aku cukup cantik, loh.

Mata Mingyu melirikku sekilas, ia tersipu malu tapi tetap berani menjawab pertanyaan Jeonghan. "Feeling."

Jeonghan mengerutkan kening, ia menatap Mingyu penuh tanya. "Bagaimana bisa kamu cuma ngikutin feeling? Kalau misalnya feeling kamu salah?"

"Feeling-ku kuat banget, Kak. Nggak tau, aku ngerasa yakin aja buat tetep nunggu dia." Jelas Mingyu lagi-lagi melirikku, ia tampak tidak berani menatapku yang terdiam memikirkan apa yang harus ku lakukan di sana. Pertanyaan Jeonghan sukses membuatku diam seperti patung.

"Tapi dia udah nolak kamu, kan?"

Mingyu mengangguk, ia mengalihkan kepalanya ke depan, menerawang ke arah lain. Matanya teduh sekali sampai aku terpana dan salah tingkah. Ku lirik Jeonghan yang tersenyum jahil kepadaku. Ia tahu aku kagum dengan Mingyu sekarang. Sial. Setelah ini ia pasti akan menjahiliku sampai puas, padahal aku hanya kagum saja. Tidak lebih.

"Anak ini memang agak sulit. Dia suka mengelak perasaannya sendiri, jadi kalau aku bisa kasih saran... bikin dia sadar sama perasaannya." Jelas Jeonghan sangat tulus kepada Mingyu, tapi sok tahu.

"Don't listen him. Kamu tahu, sekali ngomong aku serius, Mingyu." Kecamku tapi Mingyu tidak mengindahkanku. Ia malah memberi Jeonghan salaman erat.

Tuhan, mulut Jeonghan memang bisa. Ia bisa membuat orang lain terpengaruh dengan kata-katanya.

Saat aku berusaha untuk tidak mengindahkan dua orang di hadapanku, sebuah bayangan muncul di atas meja. Refleks, aku menengadahkan kepala melihat pemilik bayangan itu yang membuat kedua bola mataku membulat sempurnah. Lidahku kelu, perlahan aku melirik Jeonghan yang memiliki raut wajah yang hampir sama denganku. Gila.

"A-Audrey?"

Ya. Pemilik bayangan itu Audrey. Gadis itu berdiri di depan meja kami sembari mengacak pinggang. Matanya nyalang menatap Jeonghan yang membuang muka ke arah lain. Bukannya mereka sudah putus? Apa-apaan ini?

"Kamu bilang kamu nggak bakal lari? Kenapa kamu malah pergi dari kampus? Kenapa kamu absen selama 2 minggu? Bagaimana beasiswa kamu, Han?" Tanya Audery bertubi-tubi, gadis itu tampak sangat frustasi.

Jeonghan mendecakkan lidah. "Pulang, Audrey. Aku cuma mau tenangin diri aja di Indonesia. Nanti aku balik lagi, kok."

"Kamu bego, ya!? Kamu pikir bisa balik seenak itu setelah absen lama? Beasiswa kamu ditangguhkan, Jeonghan!"

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang