Rasanya menggelikan. Lumatan bibir Mingyu seperti tidak pernah hilang dari ingatanku. Basah. Geli. Membuat jantungku berdegup tidak keruan dan tubuhku mematung seperti orang bodoh. Aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang terjadi dengan diriku, tapi pikiran itu terus menghantui sampai aku tidak berani bertemu siapa pun--kecuali Ibu--selama beberapa hari belakangan. Semua pesan Mingyu tidak ku acuhkan. Hanya pesan dospem saja yang ku baca dan ku respon untuk kepentingan sidang.
Beberapa kali Mingyu datang membawa kue tapi selalu ku suruh pulang lewat Ibu yang heran luar biasa, meski selalu menerima alasanku yang ingin fokus mengerjakan persiapan sidang. Aku tidak bisa dan tidak tahu harus bagaimana di depan Mingyu. Aku takut pikiran itu menghantui, apalagi kalau melihat bibirnya yang penuh.
Ugh... terbayang lagi.
"Ra," aku mendengar suara Ibu dari luar kamar dan ketukan di pintu.
Dengan sangat malas aku bergegas membukanya. Begitu melihat Ibu aku refleks membanting pintuku sampai Ibu bersumpah serapah karena sikapku.
"Ra!" Ibu mengetuk lebih keras, nada suaranya agak memaksa.
"M-maaf, Bu." Sahutku mencoba menekan rasa gugup yang tiba-tiba menghampiriku. "Sebentar." Lanjutku mencoba mencari ikat rambut agar Ibu tidak berpikir macam-macam.
Setelah memastikan rambutku terikat dengan rapi, aku membuka pintu kamarku setengah, menatap Ibu dan Mingyu yang berdiri dengan manis di depan kamarku. Dari sudut mata, aku bisa melihat Mingyu menjinjing sebuah box kue. Mengapa setelah kejadian itu ia masih punya keberanian bertemu denganku?
"Kenapa, Bu?"
"Ini, Ibu mau ke rumahnya Seungkwan dulu, nggak bisa nemenin Mingyu di bawah. Kalian ngobrol bedua, ya. Sekalian kamu istirahat. Jangan terlalu fokus belajar!"
Sial. Setelah berkata seperti itu, Ibu segera beranjak meninggalkanku dan Mingyu. Karena detak jantungku masih belum normal, aku membuang muka ke arah lain dan berkata padanya. "Kenapa kamu nggak balik?"
"Wah... kamarmu berantakan banget." Adalah kalimat yang dikeluarkan Mingyu. Ia tidak meresponku, malah melipir masuk ke kamar sembari merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet setelah menaruh box kue di atas meja belajar.
Aku memijit kening. Setelah bertempur dengan presentasi dan ingatan ciuman waktu itu, aku malah makin pening melihat Mingyu mencoba membereskan kamarku.
"Aku pisahin sesuai urutan lokasi berserakannya, ya." Ujarnya begitu teliti merapikan kertas-kertas itu. Karena aku masih punya urat malu, segera ku lakukan hal yang sama dengannya--membereskan kamar. Meski enggan karena besok akan berantakan lagi.
"You don't need to do this." Kataku sembari menghela napas.
"Cleaning things up can refresh yourself, Kak."
Wow. Meski tidak bermaksud menyinggung, kata-kata Mingyu ngena di hati. Aku tidak meresponnya dan segera menyelesaikan beres-beres tidak berguna ini. Mingyu cekatan sekali dalam merapikan dan membersihkan segala hal, aku sampai heran mengapa rasanya aku tidak berguna jadi perempuan. Mengapa aku tidak menjadi pria saja yang banyak tidak peduli dengan kebersihan?
"Kan, begini lebih enak." Mingyu menyandarkan tubuhnya di pinggiran kasur begitu kamarku menjadi lebih rapih. Ia duduk di atas karpet, membentangkan tangannya di atas kasur. Tampak bisa bernapas lega setelah bertempur dengan kertas-kertas skripsi dan data.
Napasku terhela berat. Aku duduk di hadapannya setelah membawakan air dari dapur. Ia pasti lelah. Karena aku pun lelah meski tidak banyak membantunya tadi.
"Kamu masih marah, Kak?" Tanyanya retoris. Ku tatap matanya seakan mereka bisa menyahut 'you think?' dengan nada yang menyebalkan.
"Missed you." Sahutnya sembari melipat kakinya di depan dada. Ia menatapku intens, memang seperti orang yang rindu setengah mati kepadaku.
Kedua bola mataku berputar, "kue itu untukku, bukan?"
Ia menganggukkan kepala. Tanpa banyak membuang waktu ku ambil kotak kue di atas meja belajar dan langsung menyantapnya. Mingyu tersenyum senang. Aku tidak tahu berapa banyak Mingyu menghabiskan uangnya untuk membelikanku kue, yang jelas cukup banyak. Kadang aku ingin menolak karena tidak enak, tapi takut jadi tidak menghargainya.
"Thanks." Kataku ditengah santapan kue. Mingyu terkekeh, tangannya bergerak membersihkan krim kue yang tertinggal sedikit sekali di sudut bibirku. Saat ia melakukannya aku refleks mundur.
"Kenapa?" Tanyanya.
Aku menutup bibir dengan punggung tangan. "Sudah ku bilang, kan... aku bisa bersihin sendiri."
Mingyu menyeringai. "Aku tidak ada niat buat menciummu, kok."
Rasanya ingin ku lempar ia dengan sisa kue yang ada di hadapanku. Tapi sayang, kuenya terlalu enak untuk dibuang seperti itu. Akhirnya aku tidak merespon, pura-pura tidak mendengar dan menghabiskan sisa kue yang ada dengan khidmat.
Untuk kesekian kalinya, Mingyu membersihkan sudut bibirku. Ketika aku ingin mundur, ia sudah menahan tanganku untuk tidak bergerak. Matanya terpaku pada bibirku, jempolnya membersihkan sudut bibirku dengan lembut. "Kamu tahu, kan, orang-orang di kampus masih mengira kita sudah pacaran?"
Kedua alisku hampir bertaut, kemudian aku mengingat kejadian Audrey-Jeonghan yang membuatku merasa sia-sia. Tahu begitu aku tidak perlu berpura-pura pacaran dengan Mingyu, toh, Audrey tidak pernah mau balikan dengan Jeonghan.
"Yasudah, aku juga malas menjelaskannya." Kataku pada akhirnya. Mingyu tersenyum, ia mengangguk sembari mengecap krim yang ada di jempolnya.
"Aku juga."
"Eh? Tapi nggak masalah buatmu, kan?"
Mingyu menggeleng, ia mengerutkan dahi. "Bukannya itu jadi masalahmu, Kak?"
"Masalah?"
"Kamu, kan, belum menerimaku. Aku malah senang meski belum officially dating. Malah di kampus aku berasa sudah memilikimu." Jelasnya membuatku paham. Aku menghela napas, menggaruk puncak kepalaku ling-lung. Ku pikir, tidak ada yang bisa ku jelaskan di sini. Hanya malas saja menjelaskan ke orang-orang dan aku juga sudah jarang ke kampus, jadi buat apa?
"Sidangnya kapan?" Tanya Mingyu mengalihkan pandangan ke laptop yang masih menyala di sudut meja belajarku.
"3 hari lagi."
Mingyu mengangguk. "Kelasku sudah mulai selesai juga semester ini, nanti aku temenin."
"Nggak usah. Joshua sama Seungcheol bakal datang neme--"
"Aku bakal datang." Ia agak menggertak. Lidahku jadi kelu sehingga aku hanya menganggukkan kepala.
"Kamu harus ingat kalau aku orang yang spesial dan aku datang buat kamu, Kak. Bukan untuk sidangmu." Katanya dengan nada rendah, aku terpaku. Suaranya begitu manly, berbeda dengan Mingyu beberapa tahun lalu saat aku bertemu dengannya pertama kali.
He's totally changed.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
أدب الهواةCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...