21

105 22 5
                                    

Mingyu memangku tangannya di atas meja, memperhatikanku sedang makan mie ayam kantin dengan penuh khidmat. Aku yakin ia tidak lapar karena mangkuknya sudah kosong melompong, perasaannya kepadaku masih membuncah dan aku tidak tahu kapan perasaannya meredam. Aku kasihan padanya yang terus berusaha mengetuk pintu hatiku, masalahnya aku benar-benar tidak punya perasaan lebih kepada Mingyu.

"Wait!" Mingyu mengangkat tangannya, menghentikan gerakan tanganku yang baru saja mau menyuap kuah Mie ayam.

Tiba-tiba, salah satu tangannya bergerak menyelipkan anak rambutku ke telinga. Ia juga mengambil tisu menggunakan tangan yang lain, melap sekitar bibirku yang terkena cipratan air Mie Ayam seakan aku makannya berantakan--padahal tidak sama sekali. Aku salah tingkah dibuatnya sampai jantungku mau meloncat ke luar. Siapa, sih, yang tidak deg-degan diberi perhatian yang lebay begitu?

Deg-degan bukan berarti punya rasa! Camkan itu!

Aku jadi menghentikan kegiatan makanku. Ku letakkan sendok dan garpu di dalam mangkok kemudian membersihkan mukutku dengan tisu meski Mingyu sudah melakukannya lebih dahulu.

"Nggak dihabisin?" Tanyanya clueless.

Ku gelengkan kepala sembari menjawabnya dengan satu kata ampuh, "Kenyang."

Mingyu menganggukkan kepala. Ia menarik mangkokku dan menghabiskan sisa Mie Ayam yang ada di sana. Tidak mengherankan sebenarnya, terkadang aku memang suka memintanya menghabiskan makananku kalau aku kekenyangan atau tidak mood melanjutkan makan. Kalau dipikir-pikir, orang pasti akan punya pikiran aneh antara aku dan dirinya karena hal semacam itu. Kenapa aku baru sadar sekarang?

"Habis bimbingan ini mau balik?" Tanya Mingyu setelah isi mangkok tandas kurang dari semenit. Aku hampir menepuk tangan, kagum dengan keahlian makannya.

"Iya, nggak ada urusan apa-apa lagi di kampus." Jawabku sekenanya.

Kami terdiam cukup lama, menurunkan makanan yang ada di perut masing-masing. Aku juga sedang mengecek hp, sebuah pesan teror kembali muncul. Refleks aku memperhatikan ke sekelilingku, mencari siapa yang tengah memperhatikanku dengan Mingyu sekarang.

"Nyari siapa?" Tanya Mingyu sembari menepuk perutnya yang sepertinya tengah kekenyangan.

Aku segera menggeleng, tersenyum tipis kepadanya sebagai jawaban. Mingyu tidak boleh tahu soal pesan teror ini, kalau iya bisa lebih complicated lagi masalahnya.

"Kak Jeonghan ngapain ke kampus dah?" Mingyu bertanya tiba-tiba saat aku sibuk membaca ulang kata-kata yang terdapat dalam pesan itu. Segera aku mengangkat kepala dan mengikuti arah pandang Mingyu.

Dari kejauhan aku bisa melihat Jeonghan dan Audrey berjalan bersisian menghampiri kami. Aku segera memasukkan hp ke dalam tas dan duduk tegak menghadap Mingyu. "Ingat, ya, kamu pacarku." Kataku.

Mingyu segera paham, tapi tidak sepertiku yang tegang, ia malah dengan santainya duduk agak condong ke arahku dan meraih salah satu tanganku untuk digenggamnya erat. Ketika aku ingin protes, Audrey sudah memasuki area kantin menyapaku dengan ramah diikuti Jeonghan di belakangnya yang lagi-lagi menahan tawa. Ia jelas tahu apa yang terjadi di sini, tapi masa bodoh. Aku sudah lelah menjadi alasan mereka tidak bersama.

"Hai, Ra! Hai... siapa? Pacarnya... Rana?" Audrey melirik Mingyu ragu.

"Mingyu. Kim Mingyu." Jawab Mingyu tegas sembari tersenyum manis.

Aku kaget saat Mingyu berdiri dan duduk di sampingku, membiarkan Audrey dan Jeonghan duduk di seberang kami. Pintar juga ia. Aku pikir aku akan lepas dari genggaman tangannya, tapi Mingyu malah makin mengeratkan genggamannya meski tangan kami tidak berada di atas meja. Aku pun sudah berusaha menarik tanganku, tapi genggamannya lebih kencang daripada tenagaku.

"Kalian pacaran sejak kapan? Kok, Jeonghan nggak pernah cerita?" Tanya Audrey sembari melirik Jeonghan dengan sinis.

Aduh. Aku dan Mingyu bahkan belum menyiapkan naskah drama hubungan bohongan ini. Aku melirik Mingyu, berharap ia yang menjawabnya karena otakku baru saja dikuras oleh dosen pembimbing tadi.

"Sebulanan? Ya, baru aja." Jawab Mingyu santai. Wow. Ia bisa menjadi aktor kalau aktingnya senatural ini.

"Aku hampir tidak percaya kamu bisa punya pacar, Ra. Padahal dulu kamu sering sekali main bareng Jeonghan sampai aku sering memarahinya, takut nggak ada cowok yang mau deketin kamu." Kata Audrey agak menyindir. Aku mendesah pelan, tuh, kan, ia belum bisa berdamai dengan masa lalu.

"Bisa, dong. Kak Rana ini naksir banget sama aku. Dulu ia yang ngejar-ngejar, aku langsung luluh. Yaudah, kami pacaran deh."

Mulut Mingyu ingin ku jejali dengan sambal Mie Ayam rasanya. Aku tersenyum menahan emosi kepada Mingyu dan menepuk pipinya pelan menggunakan tanganku yang lain. "Mulai, ya, kamu. Kan, kamu yang ngejar-ngejar aku dari beberapa tahun yang lalu." Kataku sok manis.

Mingyu mengerucutkan bibir. "Tapi, kamu yang duluan ngajakin aku pacaran."

Ya Tuhan. Kalau membunuh tidak membuatku masuk penjara, mungkin sekarang Mingyu tidak akan selamat. Jeonghan ku lihat menyeringai, ia pasti ingin tertawa sampai perutnya sakit. Kemampuan berbohong Mingyu memang patur diacuing jempol. Bohong yang merugikanku sebagai pacar palsunya.

Aku tidak mungkin berdebat dengan Mingyu sekarang, jadi aku mengiyakannya saja meski gengsiku sudah turun meloncat ke dasar.

"That's unexpected." Sahur Audrey. Aku dan Mingyu bertatapan seperti orang pacaran pada umumnya--yang sebenarnya tatapanku menyimpan arti lain. Awas saja kalau drama ini usai, Mingyu.

"Kamu harus tau, Drey, Rana ini bucin banget. Dia sampai nggak bisa nggak ketemu sama Mingyu dalah sehari." Jeonghan menambahkan dengan ke-sok-tahuannya.

Aku berdehem, terkekeh seakan sedang tersipu malu. Aku memang malu, tapi rasa malu ini ditambah dengan emosi yang ku tahan-tahan sejak awal. Kenapa dua manusia ini bersikongkol membuatku merana? Apa kebohongan ini bukan rencana yang baik? Tapi, kan, demi Jeonghan :(

"Oh? Jadi selama skripsian ditemenin mulu dong, sama kamu, Mingyu?"

Mingyu menganggukkan kepala. Ia juga sempat-sempatnya mengelus pipiku sok gemas dan mencubitnya lembut. Mingyu mengambil kesempatan dalam kesempitan, aku melepas tangannya dari pipi, menepuk-nepuknya pelan sembari memberikannya tatapan 'beraninya kamu!?'. Keterlaluan, aku harus pergi dari tempat laknat ini.

"Kalian ngapain ke kampus?" Tanyaku kemudian, menepis emosi yang sebenarnya sudah mencapai ubun-ubun.

"Nih, ngurusin Jeonghan. Aku akhirnya minta penangguhan beasiswa buat dia pakai surat izin berkas kampus." Jawab Audrey membuat keningku berkerut.

"Memangnya bisa?" Tanyaku lagi.

Di situ aku bisa mendengar Jeonghan mendesah, sedangkan Audrey menggulum senyum. "Dibisain." Jawabnya membuatku paham.

Ujung-ujungnya pakai pintu belakang. Meski tak suka, Jeonghan harus nurut. Ini demi kebaikan dia dan Audrey.

 Ini demi kebaikan dia dan Audrey

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang