33

152 21 6
                                    

Mingyu duduk di sampingku, ia tampak tenang, berbeda denganku yang sudah deg-degan mampus menunggu jadwal sidangku dimulai. Tangannya bahkan tidak pernah lepas menggenggamku dan aku pun tidak berniat melepasnya. Dari sana aku bisa menyalurkan rasa khawatir berlebihan karena sidang akhir ini. Kami menunggu tidak jauh dari ruangan sidang, sesekali aku membaca draft skripsiku dan mengingat poin-poin yang akan ku sampaikan kelak.

"Jangan terlalu tegang," Mingyu mengingatkanku. Remasan tangannya menguat. Aku mengangguk, paham maksudnya tapi aku tetap merasa tegang.

Bagaimana pun juga hari ini penentuan masa depanku.

"Setelah sidang mau makan apa?"

"Yang manis." Jawabku cepat. Makanan manis adalah penyelamat segala keadaan. Yang terbayang di kepalaku adalah setelah sidang aku harus beli whole red velvet cake Breadtalk (karena Harvest terlalu mahal). Meski tidak bisa menghabiskannya, at least aku bisa balas dendam atas kesibukanku dengan skripsi berbulan-bulan lamanya.

Mingyu tertawa, ia mengelus tanganku lembut. "Pokoknya kamu harus mikirin kue selama sidang, biar kamu agak tenang."

Aku mengangguk. Itu benar.

"Eh, kamu beneran nggak mau ke fakultasmu?" Tanyaku begitu sadar Mingyu datang ke kampus bukan hanya untuk menunggu sidangku.

Tapi ia mengangguk. "Dosenku banyak yang lagi nyidang. Anak-anak kelas cuma dikasih tugas."

"Serius?" Tanyaku curiga ia berbohong. Mingyu mengangguk lagi, wajahnya tidak menampakkan kebohongan sama sekali jadi aku menyerah untuk menanyakan alibinya.

"Kak," Mingyu menyahut, aku segera berbalik menghadapnya.

Aku agak terkejut ketika ia mendekatkan wajahnya kepadaku, refleks aku mundur. Ini masih kawasan kampus, kalau dia berbuat macam-macam, sidangku bisa hancur. Tapi pikiranku terlalu sempit, ia mendekat untuk memperbaiki ikatan rambutku yang sedikit berantakan. Senyum jahilnya muncul. "Aku tahu tempat, kok."

Begitu selesai memperbaiki ikatan rambut, aku mendorong dadanya pelan. "Soalnya akhir-akhir ini kamu suka sekali melakukan skinship. Aku sudah berkali-kali bilang, tunggu sampai aku bisa berpikir dengan lurus, sampai aku bisa berpikir matang-matang tentang hubungan kita."

"Kalau aku nahan nanti malah rasa itu ga muncul, Kak. Skinship yang aku lakuin itu semacam stimulus buat hatimu." Jelasnya membuatku mengernyit heran.

"Stimulus apaan."

Mingyu mendecakkan lidah. "Kamu sadar, nggak, Kak? Setelah aku pegang tanganmu, ngelus kepalamu, cium kamu," ia terhenti sekejap, saat menyebutkan kalimat terakhir ia seakan berbisik. "Pasti ada rasa berbeda di hati kamu, kan?"

Aku diam. Mingyu benar dan aku terlalu malu untuk mengakui.

"Aku masuk dulu, ya." Kataku sembari berdiri membawa barang-barang yang ku perlukan untuk sidang. Untung saja waktunya sangat pas untuk berlari dari Mingyu.

Aku tidak sempat melihat ekspresi wajahnya atau responnya. Yang ku fokuskan sekarang adalah sidang.

~~~

Sidangku berjalan cukup lancar, hampir semua pertanyaan dosen penguji bisa ku jawab. Meski ada beberapa agak kikuk, tapi aku tetap selamat. Yang jelas skripsi ku kerjakan sendiri. Begitu keluar dari ruangan sidang, Joshua dan Seungcheol mengerubungiku dengan bucket bunga. Seungkwan dan Hoshi membawa kotak kue yang cukup besar dan sebuah standing banner fotoku dengan ucapan selamat sidang. Gila. Ini aku baru sidang belum wisuda.

"Selamaaat!!"

"Congratulation!!"

Satu per satu teman kelas, fakultas, UKM juga datang menyelamatiku. Menyenangkan, tapi aku merasa ada yang kurang apalagi setelah melihat Minghao datang membawakanku sebuah kado. Mingyu ke mana?

"Ra!! Jeonghan, nih!!" Joshua menyahut, menarikku ke sebuah lokasi yang lebih sepi.

Jeonghan muncul di layar hp. Ia tampak bahagia, senyumnya lebar seakan tidak memikirkan kegalauannya. Aku senang melihatnya begitu, meski aku tahu, ia belum 100% baik-baik saja.

"Congrats, babe!!" Sahutnya.

Aku tersenyum penuh. "Harusnya kemarin baliknya pas aku sidang, Han! Nggak asyik, ah!"

"Iye, sorry. Pokoknya selamat, aku tunggu buat lanjutin S2 ke sini ye. Jangan mau kalah sama aku yang cerdas luar biasa ini." Katanya seperti biasa, menyeringai jahil. Aku kangen sekali dengan anak ini.

"Let me think 'bout that. Kado aku mana, nih? Yakali udah susah-susah ngerjain skripsi tapi nggak ada hadiah?" Tanyaku setengah bercanda. Jeonghan menggelengkan kepala.

"Buat apaan ngasih kado. Tuh hadiah dari temen-temen kamu mau diapain? Udah dapat banyak, kan?" Jeonghan pelit. Aku mengembungkan pipi dan ia tertawa renyah di sana.

"Nanti nyusul sekalian buat wisuda, ya. Jangan ngambek, babe." Katanya masih tertawa, Joshua yang ada di sana juga terkekeh pelan. Dih, menyebalkan sekali sahabat-sahabatku ini.

"Mingyu mana?" Tanya Jeonghan tiba-tiba setelah aku menceritakannya perihal sidangku, tentang dosen penguji yang sempat berdebat satu sama lain karena kasus yang aku tangani cukup ribet.

Ah. Mingyu. Aku juga mencari-carinya daritadi.

"Nggak tahu." Jawabku berusaha cuek. Tapi Jeonghan bisa menangkap ekspresi tersembunyiku.

Ia menyembunyikan senyum, menasihatiku dengan kalimat yang menyebalkan. "Hubungin dia, Ra. Jangan diem mulu jadi orang. Kalau dia beneran nyerah, kamu yakin nggak bakal nyesel?"

~~~

Sudah berkali-kali aku mencoba menelpon Mingyu, bahkan ketika aku sudah menginjakkan kaki di rumah. Syukur saja ada Seungkwan dan Hoshi yang membantuku membawa bermacam-macam hadiah sidang dari temanku. Sedangkan Joshua dan Seungcheol masih di kampus untuk bertemu dengan teman-teman mereka yang juga sidang hari ini. Kedua tetanggaku itu asyik membuka kadoku--seakan itu milik mereka, bahkan kue yang mereka beli untukku hampir tandas dimakan mereka sendiri.

"Kan, aku bilang... Mingyu, tuh nggak bener." Seungkwan menyahut sembari mengunyah makanan--entah snack hadiah dari temanku yang mana.

Hoshi yang sedang mengemut permen tampak tidak setuju sehingga ia menggelengkan kepala. "Dia baik, kok. Mungkin lagi ada urusan aja."

"Kamu kenal dia?" Tanyaku agak terkejut.

"Ya, lumayan kenal." Jawabnya tanpa menjelaskan apa-apa. Aku ingin bertanya lebih tapi urung karena Hoshi sendiri tidak berniat melanjutkannya.

Ada rasa takut menghantuiku, perasaanku was-was. Tapi tidak mungkin, kan, ia menyerah di hari yang--seharusnya--membahagiakan ini?

Aku mencoba menghubungi Mingyu untuk kesekian kalinya, lagi-lagi tidak terjawab. Ku gigit bibir bawahku. Ke mana anak ini?

Tok! Tok!

"Biar aku yang buka." Kata Seungkwan sembari berdiri membuka pintu. Hoshi dan aku melayangkan pandangan ke arah sana, penasaran siapa yang datang di jam segini. Apalagi Ibu tengah pergi arisan (entah Ibu lupa atau ingat anaknya baru selesai sidang).

"Rana, ada?"

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang