3

234 33 15
                                    

Jalanan kota tidak begitu sepi ketika aku dan Mingyu berangkat ke developer langganan kami. Seperti biasa, Mingyu yang membawa mobil sedangkan aku duduk di kursi sampingnya. Aku agak terkejut karena omongan Mingyu yang menolak Minghao benar terjadi. Padahal biasanya Minghao akan tetap ikut mau bagaimana pun keadaannya.

"Kamu develop berapa film, kak?"

"Kemarin aku abisin 3 roll. Ini sekalian beli roll baru." Jawabku sembari membuka tas ransel, memperlihatkannya roll film hasil hunting-ku.

"Mau coba film expired, nggak?"

Aku berpikir sesaat. Sebenarnya aku ingin sekali mencobanya, tapi selama beberapa bulan terakhir aku yakin tidak memiliki banyak waktu untuk hunting. Fokusku akan 100% ke proposal dan apabila proposalku di-acc, skripsi menyambut.

"Next time." Kataku.

"Sekarang aja, sekalian hunting." Ajaknya.

Betul juga. Lagipula hari ini aku tidak punya mood ngerjain proposal. Setelah pulang develop aku memang punya keyakinan Mingyu akan membawaku jalan seperti biasa.

"Ke mana?"

"Lembang? Ciwidey?"

Aku tertawa. "Kejauhan. Taman Sabuga aja, gimana?"

Ia akhirnya mengangguk setuju. Bukannya aku nggak mau ke Lembang atau Ciwidey, hanya saja waktu kami tidak terlalu banyak kalau tiba-tiba hunting ke sana. Bisa saja kemalaman dan waktuku terbuang di jalan. Meski tidak mood ngerjain proposal, daritadi kepalaku sudah menggebu-gebu memaksaku untuk berkutat di depan laptop begitu sampai di rumah.

~~~

"Coba di-landscape-in aja," Mingyu menyahut melihatku mencoba angle potrait pada kamera analogku. Ia meraih kameraku dan menyesuaikan angle yang disukainya pada objek yang kami potret di Taman Sabuga. 

Aku menggeleng dan merebut kembali kameraku dari tangannya. "Maunya potrait."

"Apa bagusnya? Kalau ada model, ya, nggak apa-apa potrait." Kata Mingyu di sampingku, ia seakan menungguku menekan tombol shutter meski ia tahu, ia tidak akan bisa melihat hasil fotoku seperti ketika kami menggunakan kamera digital.

"Yaudah, kamu jadi model, sini!" Aku menunjuk depanku.

Ia tersenyum tipis, berjalan santai ke depanku dan bersandar di pembatas koridor layang yang ada di Taman Sabuga ini. Aku terkekeh pelan, mengacungkan jempol. "Bagus! Coba wajahnya yang kece bagaimana?"

Matanya menyipit karena tersenyum terlalu lebar, senyum yang dipaksakan sebenarnya, aku sampai harus jinjit untuk bisa mengambil gambar wajahnya dengan jarak yang tidak begitu jauh. Kamera analogku memang tidak bisa mengambil gambar terlalu jauh dan terlalu dekat, lensanya standar fix 35mm.

"Pendek." Ejeknya sembari memangku dagu di pembatas besi itu.

Aku mendecakkan lidah. "Tiang."

"Wajahku kepotong, nggak? Coba deketin lagi kameranya." Katanya tidak mengindahkan ejekanku. Dengan santainya ia menarik kedua tanganku mendekat dengannya.

"Adanya blur kalau kayak gini." Sahutku mundur beberapa langkah, aku dan Mingyu sempat bertatapan lewat viewfinder. Jarak yang terlalu dekat sampai membuatku hampir sesak napas. Anak itu memang terkadang tidak peka, mungkin lupa kalau aku perempuan yang bisa salting.

"Katanya master analog? Paham dong kalau lensa aku jangkauannya kayak gimana?" Tanyaku berniat mengejek. Mingyu berdehem. "Maaf, apa itu lensa 35mm?"

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang