Aku melipat kedua tangan di depan dada, menatap sinis Mingyu yang menahan tawanya daritadi. Ia pasti puas sekali mempermalukanku di depan Jeonghan. Puas sekali bisa melimpahkan hasratnya kepadaku. Aku kesal bukan main, tapi tidak bisa menyalahkannya 100% karena otak dari drama ini, ya diriku sendiri. Ia sibuk menyalakan mobil, masih dengan senyum yang tertahan, bertanya seakan tidak ada hal aneh yang terjadi. "Kenapa?"
"Don't do too much skinship." Jawabku segera.
Mingyu mendengus. "Dulu juga sering, kenapa baru sekarang protesnya?"
Wajahku memerah karena malu. Bukan salah tingkah. Ia benar. Dulu aku tidak mempermasalahkan skinship yang ia lakukan--karena aku berpikir ia hanya sebatas adikku, sekarang aku tidak bisa berpikir demikian. Pernyataan Mingyu merusak tatanan pemikiranku yang selalu menganggapnya sebagai adik. Benar, aku sekarang jadi melihatnya sebagai seorang pria asing yang menyimpan rasa kepadaku.
"Karena aku sadar kalau sekarang kamu melakukannya dengan maksud tertentu."
"Maksud apa?"
Aku menepuk jidat. Di sini, Mingyu beneran naif atau sok polos? Saat aku ingin menjawab, Mingyu malah sudah tertawa. Ia menggerakkan setir mobil dan kami pun keluar dari kawasan kampus. "Maaf, maaf." Katanya.
"Aku melakukannya karena aku gemas, juga sedikit nafsu?" Tanyanya retoris kepada diri sendiri. Aku menggeleng-gelengkan kepala, ingin marah tapi tidak bisa. Ingin mengklasifikasikannya sebagai sexual harassment tapi aku tidak merasa dilecehkan.
"Mingyu, setelah ini... berhentilah mengejarku. Apa kamu nggak capek ngeliat aku yang terus berusaha menjauhimu?" Tanyaku lirih sembari melirik Mingyu takut-takut ia marah, tapi ini hakku untum berbicara, jadi persetan dengan rasa takut.
Ia menggelengkan kepalanya. Tersenyum tipis di balik kemudi, tiba-tiba aku merasa tangannya menggenggam tanganku. "Kan, aku bilang, tunggu sebentar lagi. Aku bakal usaha sampai kamu suka sama aku, Kak. Aku tahu, selama ini kamu juga punya sedikit rasa kepadaku. Hanya saja, kamu selalu mengelaknya, menganggap aku sebatas junior di kampus. Tapi aku paham, deep down over there," ia menunjuk dadanya sekilas. "We actually share the same feeling."
"Rasa pede dari mana itu?" Tanyaku retoris sembari menarik tanganku dari genggamannya. Aku hanya berusaha mengubah topik.
"Feeling. Aku cowok, Kak. Aku tahu sikap kamu berbeda untukku. Ya, meski kamu sendiri tidak menyadarinya. Kadang perasaan memang senaif itu. Harus didorong sampai ia muncul ke permukaan." Jawabnya bijak. Aku mengedikkan bahu, terserahlah. Pokoknya aku tidak akan merubah pikiranku soal dja.
"Omong-omong," Mingyu bersuara kembali. Aku menolehkan kepala, menemukan wajah Mingyu yang sangat khawatir. Berbeda saat ia bercerita tentang perasaannya tadi.
"Tadi aku nggak sengaja lihat... chat ngatain kamu Lonte." Lanjutnya membuat kedua bola mataku membulat.
Punggungku yang semula terasa rileks jadi tegang luar biasa. Aku menoleh ke samping, menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan raut kaget dan khawatir yang memenhinya sekarang. "Chat palsu itu, dapat dari Twitter." Bohongku.
Tapi Mingyu tidak percaya, ia melepaskan tangannya dari persneling dan menyodorkan tangannya ke arahku. "Coba liat hpnya."
Aku tercekat. Menggeleng tegas, untuk apa mengecek hpku?
"Kak, aku tahu. Aku liat namaku di chat itu tadi." Katanya serius. Aku membisu, menyalahkan kelalaianku tadi. Ia mungkin melihat chat saat aku menolehkan kepala ke arah Audrey dan Jeonghan. Sekarang aku sudah tidak bisa berbohong, tapi aku juga bingung harus mengubah topik ke arah mana.
"Dia siapa?" Tanya Mingyu akhirnya mengembalikan tangannya ke atas persneling. Ia menatap fokus ke arah jalan, membawa mobilnya pelan, padahal aku ingin cepat-cepat sampai di rumah.
"Orang iseng." Jawabku singkat, meski tahu ia tidak akan tinggal diam, aku tetap berharap ia berhenti bertanya karena aku tidak akan ingin menjelaskan perihal pesan teror itu. Aku takut Mingyu akan makin melakukan hal yang tidak menyenangkan.
"Boleh aku minta nomor hpnya?"
Aku menggeleng, menggeser tubuhku lebih dekat ke pintu. Wajahku bahkan enggan menatapnya. Aku tahu, memang sebaiknya Mingyu tahu karena ini menyangkut dirinya pula. Tapi tidak sekarang, tidak di lain waktu. Yang ku inginkan adalah Mingyu menjauh dariku, membebaskan perasaanku yang seakan masih terpaut dengannya. Membuktikan ke peneror kalau aku dan Mingyu memang tidak apa-apa.
"Kak, aku nggak mau kamu kenapa-napa. Biar aku cari siapa orangnya." Suara Mingyu terdengar amat berat, tidak menampik rasa kagumku dengan suaranya itu.
"Nggak perlu. Nanti juga bakal berhenti." Balasku sok tidak peduli--meski sebenarnya aku pun tengah mencari siapa dalang pesan teror itu.
"Apa aku perlu ngomong di media sosialku? Kamu mau semua orang tahu soal teror ini?"
"Jangan!" Aku memegang lengannya, "nanti makin ribut."
"Terus harus bagaimana?" Tanyanya sembari menarik tangannya untuk menggenggam tanganku lembut. Bisa-bisanya, Mingyu....
Aku tersenyum gemas padanya. Memukul tangannya pelan menggunakan tanganku yg bebas. Ia ikut tersenyum, bisa-bisanya di saat begini ia jahil. Aku pun tertawa melihatnya, terkadang ada saja hal-hal lucu di tengah cobaan. Mingyu ikut tertawa, "ahh! Sial! Dikit lagi!" Serunya.
Karena kesal aku memukul lengannya lagi. "Besok-besok semoga aku nggak ketemu kamu lagi, ya."
"Jangan dong." Lirihnya dengan tampang cemberut. Aku mengedikkan bahu, "aku kalau nggak kenal kamu udah koar-koar soal pelecehan, loh. Seenak jidat megang-megang!"
"Aku pacarmu, Kak!"
"Pacar boongan. Udah, ah! Nanti kamu makin cinta sama aku, susah ntar." Sindirku membuatnya terkekeh. Aku kesal sekali, tapi tidak bisa marah dengannya.
Selama beberapa saat kami terdiam. Ia masih fokus menjalankan kendaraan yang terasa lambat sekali, aku sampai tidak sadar sudah mengecek jam tangan untuk kesekian kalinya. Saat aku melihat keluar jendela, Mingyu kembali bersuara. "Jadi, bagaimana? Aku nggak bakal tinggal diam, loh, Kak."
"Santai aja. Toh, cuma pesan iseng. Aku baik-baik aja, Mingyu." Jawabku sembari tersenyum lebar, memperlihatkan kalau aku benar-benar baik-baik saja.
Pesan begitu juga paling cuma berani secara online. Kalau sudah ketemu orangnya secara langsung, aku tidak yakin ia akan berani mengataiku Lonte atau kata-kata buruk lainnya. Lagipula aku juga bisa galak, aku yakin sekali yang mengirimiku pesan itu juniorku--setelah membaca skema pesannya yang sering mengataiku sebagai 'tante'. Kurang ajar memang.
"Tapi kalau ada apa-apa, aku nggak bakal tinggal diam, Kak." Kata Mingyu serius. Aku menganggukkan kepala, "aku juga ga bakal tinggal diam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
FanfictionCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...