2

321 41 5
                                    

Rapat berjalan cukup lancar. Acara debat tentu masih ada dan Mingyu sangat vokal menyuarakan penolakannya untuk menjadi calon ketua. Sampai beberapa temanku menyebutnya tidak tahu diri. Aku pun sampai turun tangan, kalau tidak begitu mereka bisa adu jotos di tengah rapat. Dan akhirnya semua orang setuju menaruh Mingyu duduk di jabatan kadiv tanpa acara pendaftaran atau wawancara--kadiv apapun yang diinginkannya.

Di tengah rapat ada istirahat sekejap untuk para anggota baringan di sekre, mengerjakan tugas esok atau pun makan. Aku sebenarnya ingin melanjutkan proposalku begitu Mingyu menarik tanganku keluar ruangan.

"Mau ambil makan." Katanya sebelum aku bertanya. Alhasil aku mengikuti langkahnya yang besar keluar kawasan kampus karena para pengantar makanan hanya bisa mengantar di luar gerbang kampus.

Tanganku masih ditariknya sampai aku kewalahan dan hampir terjerembab karena lantai koridor yang tidak rata. Mingyu sadar hingga langkahnya mulai pelan mengikutiku. Wajahnya masih tampak masam, sepertinya masih kesal akibat perdebatan di sekre tadi. 

"Maaf, ya. Anak-anak suka sama kamu, makanya mereka insist buat kamu jadi calon ketua." Kataku pada akhirnya.

Mingyu menggelengkan kepala, napasnya berderu berat. "Nggak gitu caranya."

"You know, sistem UKM udah begitu sejak awal, kami cuma nerusin apa yang sudah terjadi sebelumnya." Jelasku.

"Ya, harusnya sistemnya diganti. Sudah nggak relevan sama keadaan sekarang. Kamu nggak bayangin kalau misalnya hubunganku dengan dua temanku jadi buruk karena hal ini? Mereka yang sudah mendaftar jadi calon ketua pasti nggak terima, Kak." Mingyu mendikteku. Aku tidak marah, sama sekali tidak. Aku paham itu, bahkan apa yang disampaikan Mingyu sudah ada di otakku tapi dasarnya aku tidak begitu vokal dan hanya mengikuti keputusan mayoritas.

"Iya, maaf, Mingyu."

"Aku nggak minta permintaan maaf kamu, Kak." Sahutnya masih terdengar kesal.

Kami pun berjalan dalam diam. Kalau sudah begini aku sebenarnya malas ngobrol dengan Mingyu. Tempramennya sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa ke mana-mana karena tanganku masih ada dalam genggamannya.

"Jangan meminta maaf untuk mewakili orang lain." Katanya pelan. Aku mengangguk patuh.

"Janji, ya?" Ia memastikan sembari menarik tanganku ke udara, ia beralih memegang lenganku dan memaksaku membuat perjanjian dengan jari kelingking.

"Eiyy pemaksaan." Candaku.

Mingyu mendengus, ia mengacak puncak kepalaku dengan gemas dan kembali berjalan menuju gerbang kampus yang sejujurnya cukup jauh. Tangannya kembali menggenggamku, meski aku sudah berusaha untuk menariknya, aku tetap tidak bisa karena kalah kekuatan.

"Mingyu?"

Aku dan Mingyu segera menoleh ke belokan koridor begitu suara yang tidak asing di telingaku memanggil nama pria di sampingku. Minghao! Pria itu berhenti sembari menunjuk tangan kami yang bertaut, aku cepat-cepat menarik tangaku dari genggaman Mingyu yang melemah.

"Kalian pacaran?" Tanya anak itu dengan polosnya.

Aku segera menggeleng. "Pacaran apaan! Kamu ke mana aja?"

"Abis kuis." Jawabnya dengan senyum merekah. 

"Yaudah sana ke sekre. Makin telat dimarahin loh!" Seru Mingyu sembari menepuk bahu Minghao agak kencang, aku yang mengaduh karena aku yakin tepukannya sangat keras.

"Terus kalian mau ke mana?" Tanya Minghao linglung.

"Ngambil makanan." Jawabku cepat. 

Minghao akhirnya mengangguk, ia berjalan mundur ke arah sekre sembari memandang kami berdua. "Awas loh beduaan aja!" Serunya sembari tertawa kemudian berbalik berjalan dengan benar ke sekre.

"Bangsa--"

"Ssssttt!" Potongku sebelum ia bersumpah serapah. 

Mingyu menutup mulutnya cepat. Ia hampir lupa kalau kami berada di kawasan gelap dan sepi. Kalau sampai dia mengeluarkan kata yang buruk, aku tidak yakin kami akan baik-baik saja. Aku sampai tertawa pelan karena sikapnya itu.

Kenapa tiba-tiba aku kangen sikapnya yang dulu, ya?

Sikapnya yang penuh tawa dan polos--selalu menanyakan banyak hal padaku apalagi ketika pergi hunting. Sekarang anak itu sudah lebih dewasa dari sebelumnya, sudah pintar menjaga image. Rasanya seperti melihat adik sendiri tumbuh besar.

~~~

Aku dan Mingyu duduk bersebelahan di depan sekre yang chaos karena banyak anggota UKM ketiduran. Semua orang lelah, aku pun yang masih harus berpikir bagaimana caranya mengerjakan proposal setelah rapat selesai.  Tapi sekarang bukan waktu memikirkan proposal, ada makanan di hadapanku dan Mingyu. 

"Ujung-ujungnya McD." Kataku menahan tawa melihat apa yang dipesannya.

Mingyu mengedikkan bahu. "Yang 24 jam ini doang."

"Iya, makasih loh udah ditraktir." 

"Eh? Siapa bilang?"

Aku meliriknya sinis. "Katanya tad--"

"Bayarannya temenin aku ke developer minggu depan, ya." Katanya sembari mengunyah Big Mac. Aku akhirnya mengangguk, boleh, sekalian ikut develop film yang sudah ku pakai sejak beberapa bulan lalu.

"Join dong!!" Minghao menyahut, aku baru sadar kalau anak itu sedang duduk di samping Mingyu. Tubuhnya yang ramping tertutup oleh badan bongsor Mingyu.

"Nggak." Mingyu menolak sembari mengangkat tangan kirinya.

"Lah? Sekalian aja kali, Mingyu." Sahutku membuat Minghao mengangguk-angguk penuh harap, Tapi Mingyu bersikeras menggelengkan kepala. 

Aku dan Minghao heran bukan main, pasalnya kalau urusan develop mereka tidak pernah berpisah. Selalu pergi berdua. Baru kali ini Mingyu menolak mengajak Minghao. Aku sampai tidak tahu harus berkata apa. 

"Kalian seriusan nggak pacaran?" Minghao bertanya penasaran, kedua matanya menyipit menatapku dan Mingyu bergantian.

"Nggak!"

"Nggak!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang