15

130 23 10
                                    

Aku dan Jeonghan berjalan bersisian ke arah kantin kampus sejak mengunjungi dosen pembimbing yang meminta banyak hal tentang data penelitianku. Sebenarnya Jeonghan tidak perlu ke kampus, ia tidak punya urusan apa-apa lagi di sini, tapi pria berswetter rajut cream itu memaksa untuk ikut. Sekalian untuk melepas rindu dengan teman-teman kelas dan makanan kantin katanya. Karena aku diantar jemput olehnya, tidak ada alasan untuk menolak--malah aku bersyukur karena bisa nebeng.

"Jeonghan? Liburan? Bukannya kamu ke Belanda, ya?" Ibu Kantin menyapa kami, lebih tepatnya terkejut melihat Jeonghan yang tersenyum lebar menghampirinya.

"Lagi kangen sama masakan Ibu, makanya aku balik." Jawabnya manja membuat Ibu Kantin tersipu sampai memukul bahu Jeonghan pelan. Aku tertawa geli melihatnya, memang pada dasarnya Jeonghan bisa dekat kepada banyak orang. Ia gampang sekali bersosialisasi, tidak jauh berbeda dariku tapi ia lebih hebat.

"Kamu mau pesen apa, Ra?" Tanyanya setelah ngobrol panjang lebar dengan Ibu Kantin.

"Nasi goreng aja." Jawabku setelah itu beranjak mencari kursi yang tidak jauh dari counter kasir.

Kondisi kantin tidak begitu ramai karena waktu makan siang belum tiba. Begitu duduk, aku segera membuka penelitianku yang sudah dicoret-coret oleh pembimbingku, kemudian ku tulis kembali ide yang ada di otakku selama bimbingan berlangsung. Aku ingin cepat-cepat lulus, itu benar. Meski menyukai lingkungan kampus, tapi akhir-akhir ini alasan untuk lulus lebih kuat daripada menangguhkan semester.

"Kok, nggak bilang kalau ke kampus?"

Kepalaku terangkat, Mingyu berdiri di hadapanku dengan wajah cemberut. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Aku tersenyum kikuk, lalu ku tunjuk Jeonghan yang masih asyik di counter kasir dengan orang kantin. Mingyu melihatnya dengan wajah tidak percaya. Aku tahu, dia pasti punya pertanyaan yang sama dengan Ibu Kantin.

"Lagi libur." Kataku menjawab pertanyaan yang belum sempat keluar dari mulutnya.

Mingyu terperangah, ia segera duduk di hadapanku. Menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku definisikan maksudnya. "Aku kangen kamu, Kak." Katanya hampir membuatku terkena serangan jantung.

Pagi-pagi sudah dibuat salting. Untung saja Jeonghan belum duduk di sini, kalau iya, pria itu mungkin akan tertawa, mengusiliku dan Mingyu. Aku segera menyuruhnya untuk menutup mulut dan kembali fokus pada penelitianku. Mingyu mendesah dengan gusar, aku tahu, ia memperhatikanku dengan lamat-lamat dan aku berusaha untuk tidak terpengaruh karena kepalaku sedang aktif bekerja.

"Mingyu, ya?"

Jeonghan sudah selesai gibah dengan Ibu Kantin rupanya. Aku melihat dua pria di hadapanku bersalaman. Agak terkejut melihat wajah Jeonghan yang terperangah dengan genggaman Mingyu yang tampak kuat. Aku ingin tertawa pasalnya Jeonghan bukan tipe pria macho, tangannya lemas. Bahkan Joshua yang punya postur lebih ramping darinya lebih kuat.

"Gimana kabarnya, Kak?" Tanya Mingyu super sopan, aku menaikkan salah satu alisku begitu Jeonghan mengirimkan sinyal dengan senyum tertahan.

"Baik, baik. Rana sering cerita soal kamu." Kata Jeonghan membuatku menggeleng cepat. Mingyu tampak senang mendengar hal itu, wajahnya yang tampak tegang dan sok cool berubah lebih hangat.

Apa-apaan itu??

"Cerita tentang apa?" Tanya Mingyu dengan suara super ramah, Jeonghan terkekeh pelan. Ia menepuk-nepuk bahu Mingyu, "banyak." Jawabnya singkat.

"Jangan pernah percaya dia, Mingyu. Omongannya antara fitnah dan candaan." Sahutku menahan rasa kesal dan malu. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu kepada Mingyu? Anak itu nanti malah makin melambung naik hatinya.

"Kamu tahulah, dia bagaimana." Kata Jeonghan disambut anggukan kepala Mingyu. Terbentuklah aliansi yang menyebalkan. Aku cuma bisa menggelengkan kepala. Segera ku hentikan kerjaanku, menatap keduanya dengan malas.

"Kalian berdua bisa pergi, tidak? Aku sedang fokus ngerjain penelitianku, nih." Kataku menahan kesal.

"Ya, kalau mau ngerjain penelitian di perpus, dong." Ujar Jeonghan yang sangat-sangat tepat tapi membuatku makin emosi. Memang mulutnya savage sekali. Kadang aku bingung kenapa aku bisa berteman dengan makhluk sepertinya.

Ku lirik Mingyu yang menahan tawa. Pria itu sadar dan cepat-cepat menutup mulutnya. Ya Tuhan. Dari semua pria, kenapa ka bisa menyukaiku? Tidak adakah yang lebih keren dari mereka? Sultan? Atau mungkin Choi Siwon mungkin?

Karena aku kalah telak, tidak ada respon yang keluar dari mulutku. Dengan malas, aku segera meneruskan pekerjaanku. Kedua pria di hadapanku asyik mengobrol hal lain, menceritakan tentang kehidupan di Belanda yang--katanya--menyenangkan, penuh kebebasan. Tidak seperti di sini yang ribet dengan aturan, padahal aku ingin protes karena hukum Indonesia dipengaruhi oleh Belanda itu sendiri.

"Katanya, kamu suka sama dia, ya?" Jeonghan bertanya secara frontal. Pulpenku yang bergerak lancar di atas kertas harus terhenti. Perlahan aku melirik mereka penuh tanya.

Mingyu menganggukkan kepalanya kikuk, sedangkan Jeonghan tampak seperti penyidik yang meminta keterangan saksi. Ia sebentar lagi akan mengulik dan menggali informasi tidak penting untuk dirinya sendiri agar bisa digunakan sebagai senjata mem-bully dan menjahiliku di masa mendatang. Sebelum itu terjadi, aku langsung menginterupsi.

"Kamu nggak ada kelas, Mingyu? Ini udah jam 10an." Tanyaku sembari melihat jam pada tangan.

Mingyu menggeleng, sekarang perhatiannya 100% kepadaku. Senyum Mingyu agak merekah, ia seperti senang sekali mendapatkan perhatianku. Sedangkan Jeonghan mendesis, rencananya gagal total.

"Kamu udah pesen makanan, belum? Nggak lapar?" Tanyaku lagi sok perhatian.

"So sweet banget, dah." Kata Jeonghan sirik. Aku meliriknya tajam.

"Jangan cemburu ya, anda." Sahutku segera dibalas dengan gelengan kepala Jeonghan yang tampak tidak terima dengan kata-kataku.

"Maaf. Ngapain cemburu sama orang yang hubungannya belum jelas." Sindirnya segera mendiamkanku. Mingyu terperangah di sampingnya, ikut tersindir.

"Maaf... maaf. Aku sengaja." Kata Jeonghan sembari terkekeh jahil. Aku ingin sekali melemparinya dengan hardcopy skripsiku ini. Mulut anak itu kapan benarnya, sih?

Mingyu menutup mulutnya tidak percaya, ia melirikku penuh tanya tapi aku tak mengindahkannya. Lagipula ini kan kemauannya sendiri. Aku sudah ingin memberinya jawaban sejak dahulu, tapi ia terus mengelak karena takut. Badannya saja besar, keberaniannya 0. Beda dengan Jeonghan, eneri 0 tapi keberaniannya lebih dari 100% sampai urat malunya hilang.

"Kalau sama dia, kamu harus berani Mingyu. Dia ga suka sama cowok yang nyalinya nol." Kata Jeonghan lagi membuat udara di sekelilingku terasa panas.

Sebelum aku mengeluarkan unek-unek, Ibu Kantin datang membawa pesanan kami.

"SELAMAT MAKAN!!" Sahut Jeonghan bersemangat.

Aku menepuk jidat. Senang melihatnya kembali ke Indonesia, tapi bedebah ini terus berulah membuatku kesal kepadanya. Rasa bingung menyelimutiku, kenapa aku bisa percaya bericerita apapun kepadanya? Padahal jelas-jelas mulutnya seember ini?

Sumpah. Aku sendiri bingung.

 Aku sendiri bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang