19

111 21 0
                                    

Rana POV

Jeonghan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatapku dengan sinis,  memastikan bahwa penjelasanku tidak dibuat-buat. Ia bahkan mengorek telinganya, menanyaiku berkali-kali. "Kamu yakin?"

Aku mengangguk untuk kesekian kalinya. "Aku sudah nolak dia, Han."

"Terus?"

"Dia tetep keukeuh. Bahkan masih mengirimkanku chat tiap hari. Padahal sudah ku abaikan. Hari ini ia nanya lagi soal skripsi dan kondisi mentalku setelah kejadian waktu itu." Jelasku frustasi. Padahal aku sudah tegas kepadanya, tapi anak itu seperti masih optimis mengejarku. Aku jadi makin merasa tak nyaman, apalagi pesan teror masih belum menghentikan aksinya.

"Tapi kamu yakin nolak dia?"

Aku bingung luar biasa. Ku tatap Jeonghan dengan penuh tanya. Kok, bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. Memangnya aku harus bagaimana? Menerimanya? Aku bahkan yakin perasaanku kepadanya hanya sebatas adik-kakak, tidak lebih seperti yang orang bayangkan. Jeonghan malah tersenyum ketika ku tatap seperti itu. Ia mengedikkan bahunya, "entahlah feeling-ku berkata sebaliknya."

"Maksudmu?"

"Ya, aku pikir kamu juga suka sama dia." Kata Jeonghan sembari duduk di sampingku, membuka lembar-lembar skripsiku penuh minat.

Aku menggeleng frustasi. Ku tarik rambutku untuk melepaskan stress yang menghampiriku tiba-tiba. "Tuhan... kenapa orang-orang ini punya pikiran aneh, Tuhan? Kenapa aku tidak punya satuu saja teman yang normal? Yang paham situasiku saat ini? Mengapa Tuhan?" Doaku seakan-akan ingin menangis.

Perlahan aku merasakan tangan Jeonghan menarik kedua tanganku dari atas kepala dan menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Aku nggak tahu perasaan kamu bagaimana, aku hanya memperhatikan gerak-gerikmu di depan dia. Bukannya aku sok tahu, aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar jujur dengan perasaanmu sendiri, Ra." Jelasnya dengan sangat dewasa, aku sampai terkagum-kagum mendengar responnya itu.

"I'm 100% sure about that." Kataku singkat berusaha menepis rasa kagumku.

Jeonghan menghela napas. "I bet you denied the feeling."

"I'm not. Gosh!!"

Rasanya bukan rileks menceritakan masalahmu kepada orang terdekat, aku malah makin frustasi. Ia sama saja seperti ibu dan Joshua yang menganggapku menyukai Mingyu lebih dari sekadar adik atau junior di kampus. Berbeda dengan Seungkwan dan Seungcheol yang mendukungku menolak Mingyu--keduanya kalau tahu kabar ini pasti akan sujud syukur.

Jeonghan mendesahkan napas. Lagi-lagi ia mengedikkan bahu dan mengubah topik pembicaraan kami. Sebaiknya ia sadar kalau kata-kataku serius, bukannya menganggap aku naif terhadap perasaanku sendiri. Toh, yang punya perasaan kan aku bukan dia.

"Jadi, kamu yakin mau interview ulang?" Tanya Jeonghan akhirnya mengubah topik. Aku diam sesaat kemudian menganggukkan kepala.

"Kelihatan banget, kemarin nyoba nutupin fakta. Terus aku liat lagi berkas kasusnya di Kejaksaan, praduga aku benar." Jelasku kepadanya yang tampak berpikir. Ia mengusap dagu, membolak-balikkan skripsiku lagi.

"Aku temenin ke lokasinya, ya. Kayaknya ada yang bisa bantu kamu, deh."

"Eh?"

Jeonghan tersenyum lebar. "Kagum, ya, dengan link-ku yang super luas?"

Grain [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang