+6289-90xx-xxxx
Ngapain lo main ke kampus?!
Masih mau jadi lonte?
Mingyu udah capek ama lo kali!Aku terperangah saat membaca pesan itu. Refleks aku menghempaskan hpku di atas sofa. Seungkwan dan Jeonghan yang asyik membuka oleh-oleh dari Belanda sampai terkejut. Keduanya saling bertatapan selama beberapa detik kemudian Jeonghan segera meraih hpku dan membaca pesan dari nomor sialan. Aku bahkan sudah pernah mencari identitas pemilik nomor itu, tapi nihil. Susah sekali terdeteksi.
"Ini siapa?" Tanya Jeonghan sembari memegang hpku. Seungkwan ikut melirik pesan itu di sampingnya, ia ikut terperangkah dan menepuk-nepuk tangannya karena terlalu amaze dengan keberanian si pengirim pesan teror.
Aku pun ingin menepuk tangan, sekaligus bertemu dengan si pengirim dsn menghujaninya dengan emosi. Ngatain aku sebagai lonte pula. Aku ragu anak pengirim ini mengenalku, pasalnya ia saja tidak tahu kalau aku harus bimbingan di kampus, bukan main seperti yang ia tuduhkan. Kalau pun main, lebih baik aku ke pusat perbelanjaan atau tempat wisata. Ngapain main ke kampus? Kayak nggak ada tempat lebih seru aja.
"Nggak tahu." Jawabku dingin. Seungkwan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Temanku juga nggak ada yang kenal nomornya."
"Ya, siapa sih tersangka yang mau ngaku?" Jeonghan bertanya retoris menyadarkan Seungkwan sampai ia menjentikkan jari--lagi-lagi takjub. Tuhan. Seungkwan itu bodoh juga ternyata.
"Aku telepon, ya." Kata Jeonghan sembari menaruh hpku ke telinga. Badanku segera menegak, mendekat ke arahnya. Tapi belum ada 1 menit, Jeonghan menjauhkan hpku dari telinga.
"Ditolak."
Tentu saja. Mana ada peneror yang mau ngaku.
"Kamu udah ngomong ke Mingyu?"
Aku menggeleng lemah. Jeonghan menghela napasnya, ia pasti paham kenapa aku tidak ingin memberitahukan Mingyu soal hal ini. Selain kami sebenarnya jarang ketemu, aku dan dirinya juga tidak punya hubungan lebih. Jadi, untuk apa merespon si peneror? Tapi pesan-pesannya memang menyebalkan.
"Padahal aku sudah bilang ke teman-temanku kalau Kak Rana bakal nolak Mingyu." Kata Seungkwan kemudian, Jeonghan refleks menepuk bahunya gemas.
"Ih, kenapa!?" Tanya Seungkwan tidak terima sembari mengelus bahunya. Wajahnya memelas, aku jadi tertawa melihatnya.
"Kamu malah bikin keadaan jadi buruk! Kalau temen-temen kamu spekulasinya Rana nolak Mingyu, terus ngelihat dia bareng sama Mingyu mulu, ya pasti anggapannya Rana emang lonte!"
"Hush!" Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir. Kalau Ibu mendengar bisa makin ramai masalah ini.
Seungkwan mengerucurkan bibir. Ia baru sadar kesalahannya dan aku tidak tahu harus bagaimana. Jujur, aku kesal padanya. Tapi bukan berarti aku membencinya. Mau bagaimana pun juga fans-fans Mingyu ini juga sudah membenciku dari awal. Tapi mereka baru bergerak mengitu mengetahui kalau anak itu menyukaiku. Aku sangsi kepada diriku sendiri, kenapa sih kisah cintaku tidak senormal orang lain? Apakah aku punya karma?
"Pokoknya si tersangka ada di kawanan Seungkwan atau mungkin orang dekat kamu sendiri, Ra." Jelas Jeonghan membuyarkan lamunanku. Aku paham itu jadi aku mengangguk.
"Aku bakal coba investigasi." Kata Seungkwan serius, aku menahan tawa. Entahlah. Tetanggaku itu kadang lucu. Meski kesal mendapati pesan teror tidak jelas, aku senang dengan perhatian orang-orang terdekatku. Mereka seakan enggan membuatku tersakiti dan bersama-sama ingin mencari jalan keluar untuk permasalahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
Fiksi PenggemarCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...