Perpisahan di Lembang jadi dan aku dipaksa ikut. Bahkan ketuaku menjemputku dari rumah, meminta izin kepada Ibu yang sudah pasti mengizinkannya membawaku pergi. Jangan ditanya, Ibu senang sekali anaknya aktif di komunitas karena waktu kecil aku tipikal anak yang pasif. Jadi, begitu ada yang menjemputku untuk mengikuti perpisahan UKM, beliau langsung menyeretku keluar rumah. Untung tidak diusir.
Sekarang, anak-anak sudah pada berkumpul. Angkatan inti lama dan angakatan inti baru. Cukup ramai tapi tidak sampai membeludak seperti rapat pergantian kemarin. Aku cukup pasif malam ini, tidak ingin ke mana-mana kecuali duduk di ruang tengah menunggu acara dimulai. Aku bahkan tidak tahu Mingyu sudah datang atau belum. Yang ku lihat hanya Minghao yang sempat menyapa dan kini duduk di sampingku sembari bermain hp.
"Kak, lagi dapet, ya?" Tanya Minghao sembari memasukkan hpnya di dalam kantong baju. Anak yang akan menjabat kadiv humas ini tampak bosan menunggu acara yang kemungkinan dimulai pada malam hari.
Aku menggeleng. Wajahku sangat straight dan tidak menampakkan rasa sakit sedikit pun. Bagaimana bisa ia meyimpulkan kalau aku sedang dapat.
"Kelihatan kalau lagi bad mood." Komentar Minghao. Aku segera menghela napas panjang, menyandarakan punggungku pada sofa. Memang aku hanya diam, tapi aku merasa lelah luar biasa. Bukan fisik, tapi pikiran. Was-was.
"Aku ga pengen datang, Minghao. Aku harus nyelesaiin Bab 3, lusa aku harus bimbingan." Kataku lirih sambil memijit kepalaku. Kedua mataku tertutup sesaat, aku beneran merasa tidak enak badan sekarang.
Minhao mengembungkan pipinya, ia tampak bingung harus merespon apa kepadaku dan aku tidak butuh responnya sekarang. Yang ku inginkan adalah kembali ke rumah, mengerjakan skripsi ditemani cemilan dan lagu-lagu asyik yang bisa membuat otakku lebih tenang.
"Kak, aku bantu anak-anak masak dulu, ya." Kata Minghao tiba-tiba dan saat aku membuka mata, ia telah melipir ke dapur villa digantikan sosok Mingyu yang telah duduk di sampingku. Wajahnya sangat dekat sampai aku bisa melihat matanya yang menatapku dengan khawatir.
"Kamu kenapa, Kak?" Tanyanya sembari mengecek suhu badanku. Tangannya bergerak menyentuh dahiku selama beberapa menit.
Aku membeku sangking kagetnya, wajah Mingyu sangat dekat sampai aku merasa wajahku memerah. Jantungku pun berdegup kencang. Sial. Ini pasti karena pernyataannya waktu itu, aku jadi kepikiran dan deg-degan kalau dia ada di sampingku. Aku menepis tangannya cepat. "Nggak apa-apa. Capek doang." Kataku terdengar ketus (aku pun kaget mendengarnya).
"Kamu yakin?" Tanya Mingyu dengan kedua mata menyipit.
Kepalaku bergerak naik-turun. Aku tidak enak dengan suara ketusku tadi jadi sebisa mungkin aku tersenyum kepadanya. "Thanks ya udah jadi kadiv hunting." Kataku kemudian, ini tulus. Super tulus.
Mingyu ikut tersenyum, bedanya senyumnya tidak dipaksakan seperti senyumku. "Aku yang harusnya ngomong terima kasih, kalau kamu nggak ada... aku mungkin nggak bakal belajar banyak soal organisasi. Kalau dulu kamu nggak maksa aku buat ikutan hunting tiap minggu, ikut jadi panitia inti pameran kampus... mungkin aku ga bakal jadi kayak gini."
Mendengar kata-katanya membuatku terharu. Mau bagaimana pun juga dia anak yang selalu membantuku di organisasi ini. Karena ada Mingyu dan Minghao yang selalu hadir hunting, banyak juga yang ikutan--apalagi cewek-cewek yang kepengen motret mereka sebagai model. Yang awalnya hanya jadi pancingan, malah keterusan suka hunting.
Ya, mereka adalah anggota yang membuat kerjaanku ringan sebagai kadiv hunting.
"Aku bawa kue." Kata Mingyu setelah ku tepuk-tepuk bahunya sebagai respon rasa haruku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grain [Complete]
Fiksi PenggemarCinta itu seperti Grain dalam hasil cetakan kamera analog. Hampir tidak tampak karena berupa partikel kecil yang muncul setelah partikel kimia bereaksi pada cahaya. Sama halnya dengan cinta, yang berasal dari partikel kecil yang saling berkontribusi...