32. Tak Bersatu

211 39 108
                                    

Waktu demi waktu teguran akal'ku terus mengendap,
Membentuk pondasi dasar yang kian menguat,
Hingga saat ku rasakan tamparan yang teramat dahsyat
Tersadar, kita TAK BERSATU

~ Hallmana Atadzkiya

^^^

Kiya tengah menyiapkan sarapan pagi, ia yang memasak sendiri. Tentu saja dengan keluarga barunya.

"Mah, ayo sarapan dulu."
Ajaknya saat Anggi terlihat, namun wanita itu menolak ajakannya karena alasan terburu-buru harus ke Kantor.
Baiklah, Kiya paham kenapa Anggi bersikap sangat ketus padanya, ia sadar dirinya bukan anak yang dilahirkan wanita itu. Namun, Kiya akan tetap menganggapnya sebagai Ibu.

"Tidak, saya terburu-buru. Sarapan di Kantor juga bisa." Ucapnya lalu pergi dengan mobilnya.

"Kiya,"

"Iya, Pah." Kiya berseri-seri kala Arsenio memanggilnya.

"Rajin sekali, ini kamu yang masak?"

Kiya mengangguk, "Ayo, Pah sarapan bareng." Pintanya.

"Maaf sayang, Papah gak bisa. Ada jadwal meeting sekarang. Kapan-kapan saja yah."
Tolaknya, dengan mengelus-elus puncak kepala Kiya yang tertutup hijab.

Gitar yang turun dari anak tangga, Baru beberapa langkah ia mendengar percakapan Arsenio dengan Kiya membuatnya terhenti. Ia hanya tersenyum miris, "Sayang? Belum pernah satu kata itu dia lontarkan untuk gue. Sebenarnya gue anak siapa sih?"
Lirih Gitar sendiri.

Senyum Kiya menjadi pudar, "Gitu yah, terus Kiya sarapan sendiri dong." Kiya merajuk.

"Kan ada kaka'mu, Gitar. Ah, dia pasti belum bangun. Saya yakin anak itu pulang malam, memang seperti itu sifatnya dari dulu." Nada bicara Arsenio yang terdengar geram.

Kiya hanya tersenyum kikuk membalasnya.

"Ya sudah, nanti kamu bangunkan dia. Saya akan pergi ke Kantor. Ini sudah terlambat."

Kiya mengangguk, lalu perlahan punggung sang Ayah menghilang dari pandangannya.
Sepi, itu yang Kiya rasakan. Rumah sebesar ini namun seolah tak berarti tanpa penghuni yang hangat.

Ia duduk sendirian di meja makan, makanan yang sudah ia buat'pun tidak disentuh sedikitpun. Kiya memandangi makanan itu, nafsu makannya menjadi hilang. Kiya tidak terbiasa dengan sendu sendirian. Karena hidup sebelumnya di penuhi berbagai kebahagiaan bersama anak-anak Panti. Ia tidak pernah merasa sendiri seperti ini sebelumnya.

Gitar yang melihat itu dari tangga, mengerti apa yang dirasakan Kiya, yah dia adiknya.
Perlahan turun, dengan kepala yang masih pusing sebab semalam dia minum cukup banyak.

Mata mereka bertemu, ingatan tentang malam kemarin berputar di memory keduanya. Sesak, kembali.

Kiya memalingkan matanya, menunduk memandang nasi di piringnya. Ia teramat canggung sekarang, apa yang akan terjadi selanjutnya. Menerima kenyataan bahwa sosok yang ia cintai adalah Kakanya sendiri.

Hallmana Atadzkiya || TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang