Seperti biasa jam istirahat aku dan Yara makan ditaman sekolah. Hari ini aku membawa nasi goreng dan Yara membawa pizza. Aku juga mencoba pizza yang dibawa Yara tapi kurang cocok sama lidahku yang tidak pernah makan seperti itu.
"Lidah saya gak cocok makan kayak gini," ucapku dengan jujur. Rasa pizzanya memang enak cuma kurang cocok. Yara tertawa tiba tiba ketika mendengar ucapanku barusan.
"Gantian kalau gitu, gue cobain masakan lo. Kata lo bikin sendiri ya kan?" Tanya Yara sambil mengambil sendok yang dia bawa dikotak bekalnya. Yara mengunyah nasi goreng punyaku lalu melotot ke arahku. Sontak aku kaget, perasaan sedari tadi aku makan tidak ada yang salah?
"Wiiihh enak banget, gak nyangka bisa seenak ini." Seenak itukah?
"Haha biasa aja kok," kataku malu malu. Yara mengambil lagi suapan kedua dan seterusnya sampai akhirnya pizza Yara tidak habis, malah nasi gorengku yang laku.
"Besok besok, lo aja deh yang masak. Entar makan berdua, tenang gue bayar kok."
"Eh gausah, anggap aja ini sebagai ganti saya karena pakai laptop kamu untuk tugas bahasa Indonesia," aku berharap Yara bisa menerima kesepakatan ini. Jujur saja, ke warnet pun sama seperti aku masak satu porsi makanan untuk Yara. Yara mengangguk tanpa mengelak sedikitpun. Kami lanjut berbincang soal makanan apa yang akan aku masak besok. Sengaja agar Yara tidak kaget aku bawa makan yang seadanya.
"Yang penting lo yang masak, gapapa deh makanan apa aja. Gausah terlalu dipikirin."
Aku tersenyum lega. Walaupun Yara orang punya tapi hatinya baik sekali, dan gak begitu pilih pilih makanan.
Tiba tiba Melvin dkk datang dengan tatapan tidak suka yang mengarah padaku. Apa lagi selanjutnya ini. Melvin duduk didekat kursiku dan menepuk bahuku dengan kencang, cukup sakit sekali. Yara juga melihat Renki dan Vitroy yang menatapnya seperti mengancam untuk diam.
"Yara, Yara... Mau aja lo temenan sama manusia ini. Gak susah temenan sama orang yang gak bisa jalan kayak dia? Ribet banget kayaknya semalem lo nurunin dia ke kursi roda dari mobil," ujar Melvin yang mengundang tawa Renki dan Vitroy tertawa. Aku kaget kenapa bisa Melvin tau soal kemarin. Tidak mungkin mereka mengikuti mobil Yara.
"Apa salahnya berteman? Emang berteman harus pandang fisik ya?" Melvin berdiri dan menyilangkan tangannya didada. Dia mengusap hidungnya lalu kembali menatap aku dan Yara secara bergantian. Sebenarnya aku bingung harus apa, melawan juga aku kalah.
"Buang buang waktu berteman sama orang kayak dia! Lo juga gak mikir perasaan sahabat lo, Peri? Dia sendirian dikelas! Gak mikir lo udah ninggalin dia cuma buat temenan sama manusia kursi roda ini?"
Perkataan Melvin berhasil membuatku sakit hati.
"Jangan jelek jelekin orang, Melvin! Lo sendiri udah sempurna emangnya?"
"Jelas gue sempurna, gue ganteng, gue kaya. Yang pasti gue gak pake kursi roda buat jalan! Nih kaki gue, bisa gerak, loncat bahkan nendang." Melvin menunjukkannya didepan mataku sambil tertawa.
Yara langsung mendorong kursi rodaku pergi dari taman sekolah. Aku tau Yara mengerti rasa sakit hati yang aku rasakan. Semua juga mau mempunyai fisik yang sempurna tanpa kurang satupun, tapi beberapa orang tidak bisa memilikinya. Entah itu karena sebuah kejadian, atau memang bawaan dari lahir. Tuhan sudah mengatur dengan baik, dibalik kekurangan yang aku punya, Tuhan pasti memberi aku kelebihan yang bisa aku tonjolkan.
Semua punya kekurangan masing masing, bukan hanya terlihat fisika, bisa saja hatinya yang sakit atau bahkan mentalnya. Bersyukurlah karena Tuhan masih memberi kamy hidup, yang artinya kamu masih mau dipakai Tuhan untuk melakukan yang terbaik walaupun tidak sempurna.
***
Pulang sekolah aku langsung pergi begitu saja tanpa menunggu Yara dibawah. Rencana setelah pulang sekolah adalah membeli bahan bahan gantungan kunci pesanan dan juga untuk aku jualan berikutnya.
Setelah semua bahan aku beli dari toko kado seperti itu, aku pulang terlebih dahulu untuk mandi dan makan.
Semuanya sudah beres. Sampai akhirnya Yara ada di depan pintu dengan tiba tiba. Aku kaget.
"Kamu ngapain disini? Belum pulang?"
Yara duduk dikursi depan rumahku sambil menetralkan nafasnya. "Lagian lo kenapa gak nunggu gue sih? Kerjaan gue perasaan ngejar lo mulu deh."
Aku mengambil air putih dari rumah dan memberikannya kepada Yara.
"Saya mau jualan dan sekalian beli bahan tadi, jadi tidak mungkin nunggu kamu. Memangnya kamu mau ikut saya jualan?"
Dengan antusias Yara menganggukan kepalanya. Sebisa mungkin aku membujuknya untuk tidak ikut. Jalanan berdebu tidak mungkin cocok untuk Yara yang bersih seperti ini.
Yara tetap memaksa untuk ikut jualan, aku juga mengiyakannya dan berangkat ke alun alun biasa aku jualan gantungan kunci.
***
Alun alun sudah ramai pukul lima sore hari ini, dan juga yang berjualan pun semakin banyak.
"Disini biasanya saya jualan. Maaf kalo kurang nyaman ya, Ra," ucapky tidak enak hati. Yara pasti tidak pernah ke tempat yang ramai seperti ini. Tempat Yara pasti mall mall mahal yang dingin.
"Banyak banget yang jualan ya, banyak makanan juga. Gue mau beli ah, laper juga."
"Eh sebentar dulu, nanti kamu tidak tau dimana tempat saya berjualan. Ke sana dulu baru kamu beli makanan." Yara mengangguk dan mendorong kursi rodaku ke arah kiri lalu aku menunjuk tempat biasa, disamping jualan mas Adit.
Aku melihat ada seorang wanita yang membantu mas Adit beres beres. Pasti itu calon istrinya mas Adit yang selama ini diceritakan.
"Mas Adit! Bawa calon istri nih?" Mas Adit tertawa karena pertanyaanku.
"Ya jelas lah, lumayan biar ada yang bantu nyuci gelas gelas kotor. Biar romantis juga gitu." Aku tertawa bersama mas Adit dan calon istrinya mas Adit senyum malu.
Aku mengenalkan Yara kepada mas Adit, begitu juga mas Adit mengenalkan calon istrinya yang bernama Astri. Kami berbincang bincang, Yara cukup mudah berbaur dengan orang baru. Mas Adit dan Mba Astri juga orangnya terbuka jadi enak untuk berteman.
Yara tadi membeli makanan untuk kami makan bersama. Katanya tidak enak kalau makan sendiri. Urusan minuman tinggal minta dari sebelah.
Beberapa pembeli datang atau juga ada yang sekedar melihat lihat. Beruntungnya hari ini laku banyak karena alun alun ramai. Yara ikut senang karena banyak yang beli.
Aku tersenyum ke arah Yara dan Yara pun tersenyum manis sampai mas Adit berdehem kencang aku salah tingkah di buatnya.
"Eh, Andi. Mas mau nanti kasih tau rumah bu Yuyun ya, ada yang mau dibicarakan ini," kata mas Adit tiba tiba seolah baru ingat apa yang ingin dikatakannya.
Aku mengangguk dan sepakat untuk pergi ke rumah bu Yuyun setelah pulang jualan.
______________________________________
Gak nyangka cerita Heridson bisa secepet ini:) terimakasih banyak😍
Enjoy,
H.