20. Kisah Yara

698 91 1
                                    

Aku dan Yara baru saja selesai makan, tadi Yara membeli makanan dari kantin rumah sakit. Setelah selesai Yara duduk dibangku sebelahku tapi tidak sandaran. Aku tidak mau menanyakannya karena akan lebih nyaman untuk dia bercerita sendiri.

"Kamu kenapa pakai baju biasa? Tidak pakai seragam?" Yara tadi datang dengan kaos polos putih serta dilapisi jaket dan jeans putih. Apa tadi Yara tidak sekolah?

"Hmm tadi gak sekolah," ucapnya jujur lalu menunduk tak berani menatapku. "Kenapa? Kamu kesiangan ya?"

"Salah satunya sih."

"Kalo cape tiduran aja di sofa sana, sambil ngobrol juga kan bisa," kataku sambil menunjuk sofa merah disebelah kiri. Yara menggeleng lalu tiba-tiba menggenggam tanganku. Dia nangis terisak sampai memegang dadanya. Sengaja aku biarkan dia nangis terlebih dahulu, pasti ada yang salah.

Genggaman tangannya terkadang keras diikuti tangisan Yara. Mungkin kejadian semalam terulang diotaknya. Yara masih terus menangis, aku mau berbicara pun sakit karena jahitan. Barusan aja ngomong rasanya perih.

"Semalam gue ketemu mamq."

Kalimat itu meluncur begitu saja, sengaja tak ku tanggapi.

"Mama nutup seluruh dirinya pake jaket."

Ingatanku kembali saat jualan.

"Mama meluk gue selama dua menit tapi papa datang misahin gue sama mama." Masih tak ku tanggapi. Yara menarik nafas berat dengan sesegukan berat dinafasnya. Semakin ku genggam tangannya dengan arti aku ada.

"Gue jatoh telentang, untung aja kepala gue ga ikut. Mama histeris liat gue jatoh diteras yang ada baru kerikil kecil kecil. Rasanya sakit banget, Ndi. Punggung gue kayak di tusuk."

Ternyata itu sebabnya. "Udah diobatin belum? Saya panggil dokter ya biar tidak infeksi."

"Justru tadi gue ada disini, liat guru datang dan ternyata bawa lo. Gue udah berobat, tenang aja gak ada yang robek. Cuma memang merah dan berdarah."

"Syukurlah," ucapku dengan nafas lega. Itu yang aku cari jawabannya.

"Andi, gue juga ga punya papa. Yang gue punya monster jahat." Tangisan Yara semakin menjadi jadi. Aku tidak berani memegangnya selain tangan.

"Maksud kamu apa? Jelas jelas dia masih ada, Yara."

"Dia ada tapi dia ga punya hati!"

Aku diam tidak berani menanggapi karena akan serba salah nantinya karena aku juga tidak tau menau soal papa Yara.

"Andi, kalo gue ceritain lo tetap jadi temen gue kan? Tetap mau nerima gue?"

"Kalau aku dianggap teman aku akan selalu ada buat kamu."

Dia menghapus air matanya dengan tissue dan menggenggam tanganku kembali. Seperti takut aku akan pergi...

"Ada gak istilah anak haram?" Jujur pertanyaannya seperti petir besar yang menyambar disiang hari. Aku masih belum bisa mencerna. Yara menggoyangkan tanganku seolah minta jawaban cepat.

"Tidak, semua anak suci ketika lahir , Yara."

Dia tertawa kencang tapi nangis. "Gue anak haram, Ndi."

"Mama gue diperkosa dan hamil. Papa gak tanggung jawab, tapi kejamnya papa ambil gue dari mama. Dari kecil mama selalu datang nangis nangis depan pager buat ketemu gue tapi papa malah mukul mama depan gue." Yara menjerit kencang rasa sedih dan perih pasti bercampur dihatinya. Memiliki orang tua tapi tidak menjalin hubungan yang harmonis. Lahir dari kedaan yang sulit, dari kecil sudah berpisah, bertemu tapi di beri jarak.

"Dirumah, papa selalu marah, selalu nyuruh gue ini itu, dan gue selalu liat hal senonoh yang gak seharusnya gue liat, Andi! Papa dengan enteng memukul, menampar, kadang benturin kepala gue ke dinding."

Aku mengambil tissue dan menghapus air matanya. Sosok Yara dan aku hanya butuh seseorang yang bisa mengerti dan membantu tapi kami berdua tidak punya itu. Aku dan Yara berasal dari keluarga yang sama sama sulit ternyata.

"Malam kemarin mama beli gantungan kunci, ini dia," ucap Yara mengangkat gantungan itu ke depanku. Aku kaget, wanita kemarin adalah ibu Yara!

"Ra, ini gantungan kunci dari mama kamu?" Dia mengangguk.

"Semalam yang beli gantungan itu berarti mama kamu. Wanita itu pake jaket tapi aku bisa liat mukanya mirip kamu, Yara. Gantungan ini juga aku yang buat, kamu bisa liat dibawah gantungan pasti ada namaku," seperti direncanakan bukan takdir. Apa mungkin orang tua Yara tau kalau aku dan Yara dekat?

"Kayaknya mama tau, lo yang dekat sama gue sekarang setelah gue gak temenan sama Peri." Ingat yang mengembalikan buku Yara waktu itu? Dan yang mengambil adalah Peri, teman Yara.

"Kenapa kamu sama Peri?"

"Dia tau masalahku dan merasa... Hm entah deh."

Kami sama sama terdiam. Aku berhenti bertanya dan Yara pun juga berhenti cerita. Semua orang punya latar belakang yang berbeda, walaupun Yara terlahir seperti itu, itu bukanlah kesalahannya. Semua orang berhak bahagia dan bangkit.

"Kamu tau semua orang bisa bangkit kan? Saya juga tau kamu perempuan hebat yang mau damai sama masalah kamu. Sekarang waktunya kamu bahagia, kalau kamu ada masalah kamu punya saya untuk cerita, kalau boleh juga, saya seperti itu. Terimakasih Yara sudah mau berbagi kisah hidup kita."

Yara menangis dan menatapku, "Terimakasih, Andi. Semoga Tuhan gak salah kasih jalan kalau lo bener bener temen baik gue."

______________________________________

Enjoy,
H.

HeridsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang