Aku sudah pulang setelah dua hari dirumah sakit. Selama dua hari juga Yara selalu menemaniku dan tidak masuk sekolah. Yara takut kalau yang lain tau luka di punggungnya. Sekalian Yara mengecek kembali luka dipunggungnya dirumah sakit.
Dirumah aku dan Yara mengerjakan tugas yang tertinggal karena tidak sekolah kemarin. Belum lagi tugas karya ilmiah harus membuat angket. Semuanya harus dinikmati karena kalau semakin dibawa pusing akan ruwet sendiri.
Selain tugas karya ilmiah ada tugas fisika. "Kamu ada tugas apa buat besok?" Tanyaku pada Yara yang sedang bermain ponselnya. Dia meletakkan ponselnya dan menatapku. "Sama kayak lo. Fisika dan apa ya satunya, oh ya, bahasa Inggris."
Aku terheran karena aku dan dia beda kelas. Biasanya kalau ada tugas yang sama pun pasti harinya beda atau jadwal kumpulnya beda.
"Kok bisa sama tugas buat besok?"
Yara tersenyum penuh arti terus mendekat ke arahku lalu membisikkan sesuatu. "Gue pindah kelas looohhh!" Ucapannya sontak membuatku melotot kaget. Yara tertawa keras melihat ekspresi ku. Padahal dikelas murid sudah pas berjumlah 36. Yang menjadi pertanyaan kenapa Yara pindah dari kelas unggul ke kelas yang biasa saja?
"Kenapa kamu pindah dari kelas unggul? Padahal itu kelas impian semua orang loh," ucapku jujur dan Yara mengangguk setuju dan menjawab, "Ya memang tapi gue ngerasa sama aja? Mungkin emang guru materi utama lebih bagus dan jarang ada jam kosong. Gak tau kenapa ya gue mau pindah aja."
"Coba kamu jujur sama saya."
"Ya yang kayak gue bilang, semua udah tau jadi gue mau pindah aja. Udah deh gak usah dibahas yang penting gue bisa sekelas sama lo."
Setelah mengucapkan kalimat tadi Yara buru buru mengambil buku paket bahasa inggris dan mengerjakannya. "Ayo kerjain PR nyaa! Malah bengong haha."
***
Pagi ini aku terbangun pukul lima dini hari. Karena tidur terlalu cepat tadi malam makanya bangun pun cepat. Aku merapikan bantal dan selimut lalu mulai memasak tahu isi bakso dan jagung rebus untuk aku dan Yara. Kebetulan kemarin Yara bawa buah buahan sekalian aja aku makan berbarengan dengan Yara. Semuanya sudah siap dan selesai pukul setengah enam.
Aku mandi dan memakai seragam dengan susah payah alhasil aku keringetan lagi walau sudah mandi. Semua buku aku masukkan dan aku berangkat ke sekolah.
Pagi pagi begini enaknya menarik nafas dalam dalam dengan rileks, kalian pernah begitu? Coba, pasti kalian rileks. Ibu sudah siap berjualan, aku menyapanya, "Bu, semangat jualannya!"
"Semangat juga sekolahnya, nak!" Kami tertawa bersama karena teriakan barusan. Tak lama Oji keluar dari rumah ibu dan pergi begitu saja setelah meminta uang dari ibu dengan paksaan. Aku masih bingung sebenarnya ada apa dengan Oji.
Aku memutuskan untuk jalan ke sekolah setelah Oji terlebih dahulu pergi. Takut kejadian kemarin terulang lagi.
Dikelas Yara melambaikan tangannya dari meja belakang tempat aku duduk. Ternyata dibelakang situ ditambahkan kursi dan meja. Bukannya munafik tapi aku juga senang bisa merasakan punya teman satu meja dan itu bersama Yara. Aku masuk dan meletakkan bekal di meja, Yara melihatnya. "Wah bawa bekel apaan nih?"
"Ada jagung rebus sama tahu yang isi baksonya," kataku sambil mengubah posisi kursi rodaku agar nyaman, setelahnya aku menguncinya. Keringat masih menetes tapi aku malu untuk mengelapnya didepan Yara. Yara menatap keningku dan mengambil sesuatu dari tasnya, ternyata tissue. Dia mengelap keringat ku dengan pelan dan sudah minta maaf terlebih dahulu.
Jujur tapi ini rasanya deg degan. Ditambah lagi teman kelas menatap kami. Aku mengambil tissue yang ada ditangan Yara dan mengelap sendiri. "Terimakasih, Yara."
"Lain kali gausah malu, gue tau kali lo cape dari rumah dorong kursi roda jadi wajar keringetan."
Tak lama bel berbunyi dan pelajaran dimulai. Pelajaran matematika peminatan disuruh membuat kelompok minimal dua orang. Yara langsung bilang buat berdua saja tidak usah ada yang lain. Aku pun setuju saja. Ternyata begini rasanya punya teman buat kelompok dan diskusi bersama soal pelajaran. Selama ini sendiri dan iri melihat yang lain diskusi.
Soal ada lima tapi beranak cucu menjadi sepuluh. Aku dan Yara lumayan lancar mengerjakannya walaupun ada sedikit perbedaan pendapat.
"Dih, lo salah. Harusnya dibikin himpunan penyelesaiannya baru itu selesai bukan cuma sampe sini."
"Jadi ini salah?"
Yara menggeleng, "Salah. Kita ulang lagi."
Begitu seterusnya dan kami selesai pertama. Yara mengumpulkan ke depan dan Yara ditanya kenapa bisa disini. "Saya pindah pak."
"Kenapa kamu pindah?"
"Ya karena pilihan saya, pak."
Lalu tiba tiba ada yang menyaut, "Karena Andi itu mah pak. Mereka kan deket tuh. Aneh sampe rela keluar dari kelas unggul."
Yara menatapnya sengit dan kesal. Memang akan selalu salah dimana ada aku.
"Masalah buat lo? Iri bilang bos."
Yara langsung duduk dengan kesal. Pak Muh langsung mencairkan suasana lagi dan menunggu kelompok lain selesai.
"Udah gapapa. Gak boleh kesal kan baru pertama kali disini."
"Pasti dia juga pernah gituin lo kan? Kayaknya lemes banget mulutnya padahal cowo."
Aku diam. Semakin dijawab semakin kesal. "Lagian pilihan pilihan gue kok dia yang sewot."
Apakah perempuan kalau kesal akan mengomel sampai kesalnya hilang? Coba jelaskan bagaimana caranya agar tidak canggung saat dia marah.
______________________________________
Enjoy,
H.
