Aku sudah siap berangkat sekolah pagi ini, pagi hari adalah yang paling enak untuk diajak berpikir tentang masalah menurutku, sambil menutup mata dan duduk diteras. Jarang aku melakukannya karena harus sekolah, bangun pagi dan berangkat jam 6 agar tidak terlambat.
Aku menutup pintu dan menaruh kunci ditas yang berada dipangkuan aku. Diseberang aku bisa melihat Oji keluar dari rumah ibu, iya, Oji adalah anak ibu Yuyun. Oji menatapku lalu memalingkan mukanya. Dia selalu seperti itu kepadaku, salah apa aja aku tidak tau.
Aku mulai mendorong kursi rodaku dan Oji dari belakang melaju dengan cepat sehingga menabrak genangan air dan terciprat ke arah celana sekolah ku. Tanpa merasa bersalah Oji pergi begitu saja. Lumayan banyak percikan air di celanaku, buru buru aku mengambil sarung tangan yang biasa ku bawa dan mengelapnya. Aku tau tidak akan sebersih itu tapi celana ini cuma satu satunya yang ku punya.
Akhirnya setelah cukup bersih aku buru buru untuk sampai disekolah, tidak peduli celana ku lumayan kotor, aku tidak mau ketinggalan pelajaran hanya karena celana kotor.
Sampai disekolah aku menuju ke kamar mandi terlebih dahulu, beberapa orang melihat ke arah celanaku dan menatap jijik. Padahal ini sudah lebih bersih daripada baru kena percikan.
Bel sudah berbunyi untunglah aku sudah selesai.
Dikelas seluruh murid berkumpul dimeja depan, aku tidak tau ada apa disitu atau mungkin hasil ulangan harian matematika sudah dibagi?
Aku segera ke sana dan benar itu hasil ulangan matematika. Beberapa teman menanyakan nilai satu sama lain dan mencocokan jawaban, setelah menemukan lembaran punyaku aku tersenyum ketika melihat hasilnya. Kali ini aku dapat nilai seratus. Walaupun sibuk berjualan dan membuat gantungan kunci, belajar tetap nomor satu untukku. Agar ketika kuliah aku bisa mendapat universitas negeri dan mendapat beasiswa.
"Kenapa celana lo? Jatoh ya? Hahaha," tanya Lina dengan jarinya yang menunjuk celana bawahku. Yang lain pun ikut menatapku.
"Pasti jatoh lah, orang kursi rodanya aja udah gak kuat bawa dia hahaha." Ketawa mereka memenuhi satu kelas. Aku hanya tersenyum dan membalikkan kursi rodaku untuk kembali ke meja.
Tidak apa, mereka tidak tau apa yang mereka perbuat itu salah atau benar. Terpenting bagiku aku tau seperti apa kejadian yang sebenarnya, rasanya lelah meladeni ucapan dan ejekan mereka. Lebih baik diam dan senyum saja.
Pelajaran matematika pun dimulai, ini matematika wajib. Pak Pangestu menjelaskan ulang soal ujian yang sudah dibagikan. Hampir semua caraku benar, ada beberapa juga yang memakai caraku sendiri namun jawabannya benar.
"Heridson, kamu mendapat nilai seratus bukan? Coba jelaskan soal nomor 7 karena semuanya salah dan kamu sendiri yang benar," ujar pak Pangestu mempersilahkan ku. Aku menarik nafas terlebih dahulu karena semuanya menatapku sehingga membuat diriku gugup.
Sesampai di depan aku mengambil spidol yang berada ditangan pak Pangestu tapi pak Pangestu bertanya tentang celanaku.
"Saya terkena cipratan tadi pak, maaf kalau terlihat kotor pak."
Pak Pangestu mengangguk dan membiarkan ku menjelaskan dengan caraku sendiri, sebisa mungkin aku menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Beberapa teman mulai mengangguk dan mengerti, aku tersenyum puas kalau penjelasan ku berhasil diterima.
Ada yang bertanya aku jawab dengan senang hati, karena kejahatan jangan di balas dengan kejahatan. Mereka memang tidak suka kepadaku tapi bukan artinya aku harus membalas tidak suka.