7

352 34 1
                                    

"Hahhhh.. akhirnya kelar juga" ujar Nava seraya meregangkan otot-ototnya.

Begitu cafe tutup, ia boleh langsung pulang. Hari pertama bekerja memang melelahkan, tetapi untungnya ia langsung mendapat gajinya. Lumayan kan.

"Oiya, tadi kan Tante Risa nyuruh gue beli obat diare. Gue cari apotik deket sini dulu deh,"

Nava mengeratkan tasnya dan kakinya mulai melangkah menyusuri jalanan. Ia belum tahu pasti apakah ada apotik dekat sini atau tidak, jadi ia memutuskan untuk mencarinya lewat google map.

"Haahh.. hahh... gue nggak boleh pulang dalam keadaan kayak gini" gumam Gaza dengan nafas terengah-engah.

Saat ini ia sedang berhenti di pinggir jalan setelah berhasil kabur dari kejaran polisi tadi. Badannya terasa sakit semua akibat berurusan dengan preman-preman itu. Bahkan ia tidak tahu bagaimana keadaan Dani dan Agil sekarang, semoga mereka baik-baik saja.

Gaza mengerlingkan pandangannya ke sekitar. Tepat saat itu juga matanya melihat ada sebuah apotik di sana. Otak Gaza langsung berpikir, mungkin alangkah baiknya jika ia pergi ke apotik itu untuk membeli obat dan mengobati luka-luka di wajahnya ini.

Gaza berjalan tertatih-tatih menuju apotik. Namun baru beberapa langkah tiba-tiba ia terjatuh, nafasnya juga sudah tidak beraturan. Keadaannya sangat kacau sekali.

"Astaga!" pekik seorang gadis yang suaranya tak asing. Gaza menggerakkan kepalanya menoleh kebelakang. Dan ternyata orang itu adalah Nava. Gadis itu berlari menghampirinya.

"L-lo kenapa bisa kayak gini??" tanyanya, namun Gaza tidak menjawab.

"Ayo ikut gue" Nava membantu Gaza berdiri kemudian ia membawanya ke apotik.

Gadis itu menyuruh Gaza untuk menunggu di luar, sedangkan dirinya masuk ke apotik untuk membeli obat pesanan tantenya sekaligus obat-obatan lainnya untuk mengobati luka Gaza.

Gaza menoleh begitu Nava keluar dari apotik. Gadis itu ikut duduk di samping Gaza seraya memberikannya kapas, betadine, perban, dan hansaplast.

"Nih cepet bersihin luka lo, gue nggak suka liat darah"

Gaza tak menjawab, tetapi ia tetap menerima pemberian Nava. Dan ia mulai mengobati luka-luka di wajahnya. Tepat di saat itu juga Nava menggelengkan kepalanya  melihat Gaza yang sepertinya kesusahan. Ia memutuskan untuk membantunya.

"Ck, sini biar gue aja" ia mengambil alih kapas dari tangan Gaza.

"Aww" ringis cowok itu.

"Lemah banget sih jadi cowok, tahan dikit napa"

"Dih lo pikir kagak sakit apa? Sakit tauk"

"Udah tau sakit kenapa juga pake acara berantem-berantem segala"

"Aduuh-aduhh! Pelan-pelan kalik aelah.."

"Ini udah pelan, jangan lebay deh"

Gaza mendengus, "Kenapa sih tiap kita ketemu pasti lo selalu aja ngasih gue hansaplast?"

"Tauk, pikir aja sendiri"

"Lah kok ngambek sih?" balasnya.

"Siapa juga yang ngambek, orang gue cuma bilang nggak tahu" sergah Nava. Ia sudah selesai mengobati Gaza.

"Thanks" kata cowok itu.

"Hemm"

"Malam-malam gini lo kok masih pake seragam sekolah sih? Habis darimana aja lo?"

Nava memperhatikan penampilannya sendiri, "Bu-bukan urusan lo" ia hendak pergi namun tangannya dicekal oleh Gaza.

"Apasih lepasin"

Nava & Gaza [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang