Keesokan harinya Gaza datang ke rumah Nava untuk menjemput gadis itu agar berangkat sekolah bersama. Ia membuka pintu rumah dan langsung masuk kedalam rumah sambil berteriak-teriak memanggil nama Nava. Dilihatnya seluruh penjuru ruangan yang terasa begitu sepi dan sunyi.
"Nava!" panggilnya namun tidak ada jawaban.
Kemudian Gaza pergi ke dapur untuk mengecek keberadaan Nava apakah dia ada di sana, ternyata tidak ada. Oh, mungkin saja gadis itu masih bersiap-siap di kamar!
"Nava." teriak Gaza lagi yang mulai berjalan menaiki tangga.
Cowok itu berjalan menghampiri pintu kamar Nava yang masih tertutup rapat. Sesampainya di depan pintu, Gaza langsung mengetuknya beberapa kali seraya memanggilnya.
Tokk Tokk Tokk
Ia mencoba mengetuknya lagi. Dan tetap saja tidak ada jawaban.
"Kalo lo nggak bukain pintu gue masuk juga nih.." serunya.
"Woi Navaa... ngapain sih lo di dalem? Gue masuk ya." ucap Gaza untuk terakhir kalinya.
Hingga kemudian ia benar-benar membuka pintu kamar Nava yang tidak terkunci. Gaza langsung bersandar pada dinding pintu seraya melipat tangannya di depan dada, ia mendecak melihat gadis itu yang masih begelung nyenyak di bawah selimut tebalnya.
"Astaga, dasar cewek pemalas. Jam segini masih tidur??"
Seketika Gaza berteriak, "Bangun woii udah siang! Kita harus berangkat sekolah!"
"Hehh bangunn!" teriaknya lagi.
Lama kelamaan Gaza mulai jengah. Cowok itu langsung menghampiri Nava dan menarik selimut tebalnya.
"Nava ba-"
Kalimat Gaza terhenti saat ia berhasil menyingkirkan selimut Nava dan melihat tubuh gadis itu yang meringkuk kedinginan. Lalu mata Gaza beralih pada wajah Nava yang terlihat sedikit pucat disertai keringat yang bercucuran.
Jujur, ia terkejut melihat kondisi Nava. Dengan pelan Gaza menyentuh dahi Nava dan merasakan sesuatu yang panas merambat di kulit tangannya. Sontak ia langsung menarik lagi tangannya.
"Panas," gumamnya.
"Dia demam,"
Tiba-tiba Gaza merasa sangat bersalah. Ia yang telah membuatnya jadi begini. Gara-gara ia mengajak hujan-hujanan waktu itu.
Ia mendekat ke arah Nava lalu berjongkok di samping tempat tidurnya. Tangannya bergerak mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dan pelipis gadis itu. Raut wajah Gaza terlihat sedih.
"Maafin gue," ucap Gaza.
Nava masih setia memejamkan matanya. Dan malah tubuhnya semakin menggigil hebat.
Tentu saja Gaza langsung menutupi lagi tubuh Nava dengan selimut yang ia singkirkan tadi. Ia juga membenarkan posisi tidur Nava yang sepertinya tidak nyaman. Gaza benar-benar merasa khawatir.
"Di.. dingin.." rancau gadis itu.
Gaza pun bergegas untuk mematikan AC serta membuka gorden kamar Nava agar sinar mataharinya masuk.
Kemudian setelah itu ia juga tergesa-gesa menuruni tangga pergi ke dapur untuk mengambil air hangat juga kompres. Lalu Gaza kembali ke kamar Nava dan duduk disampingnya. Ia memasukkan kain kompres kedalam mangkuk yang berisi air hangat lalu memerasnya dengan kuat. Gaza menempelkan kain itu di dahi Nava, berharap panasnya segera turun.
Setelah mengompresnya beberapa kali, kini tubuh Nava mulai terlihat tenang. Diliriknya jam tangannya yang hampir menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi cowok itu biasa-biasa saja. Masa bodoh dengan sekolah, yang penting ia harus merawat Nava yang sekarang sedang demam. Ini salahnya dan ia harus bertanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nava & Gaza [END]
Teen Fiction•Complete• "Gue tahu ini terdengar konyol buat lo," ujar Nava. "Nggak juga. Gue merasakan hal yang sama. Nyokap gue pergi setelah cerai sama bokap gue dan parahnya bokap punya wanita lain lagi" sahut Gaza. Nava terdiam, "Ngomong-ngomong kenapa lo ce...