Saat masuk kedalam sebuah kafe Vena tak sengaja melihat anak sulungnya yang tengah duduk sendirian sambil menikmati minumannya padahal masih jam sekolah. Dia sedikit terkejut sekaligus senang karena bisa bertemu dengan Gaza walau hanya pertemuan tak terduga. Lalu ia menghampirinya dan duduk di kursi dihadapan remaja laki-laki itu.
"Gaza kenapa kamu natap mama kayak gitu? Kamu masih benci ya sama mama?" ujar Vena yang berusaha menebak arti tatapan dari putranya yang ditujukan pada dirinya.
Gaza masih terus menatap ibu kadungnya dengan hati yang berdenyut sakit mengingat semua alasan kenapa dulu mamanya itu meninggalkan keluarganya yang kini sudah berantakan. Hati Gaza masih beku untuk menjalin hubungan baik lagi dengannya, terlalu sulit baginya untuk memaafkan dan mengerti perbuatan mamanya yang bisa dibilang egois karena hanya ingin menikmati kebahagiaannya sendiri sampai-sampai meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.
Namun Gaza sadar, selama ini ia juga sangat durhaka dengan mamanya. Tidak seharusnya dia menyalahkan semuanya ke mamanya yang saat ini sedang berusaha keras untuk mendapatkan maafnya. Sebagai seorang anak pada dasarnya kita tidak pantas untuk memperlakukan orang tua kita sendiri seperti itu sampai harus mengemis maaf pada kita. Terlebih lagi jika itu ibu kita, karena sesungguhnya surga ada di telapak kaki ibu.
Kenangan ketika mamanya menyuapinya makan dengan makanan kesukaannya, kenangan ketika mamanya menemaninya tidur saat dia takut, kenangan ketika mamanya membelikan bola basket untuknya, kenangan ketika mamanya panik saat dia terluka karena jatuh dari sepeda. Semua itu masih terpatri di kepala Gaza. Siapa lagi yang akan melakukannya selain mamanya.
Dengan penuh rasa sesak ia menatap sendu pada wanita paruh baya didepannya yang matanya menyiratkan adanya kesedihan juga penyesalan teramat dalam. Mamanya itu pasti juga sangat kesepian dan merindukan anak-anaknya.
Mungkin sewaktu dulu mamanya pernah membuat keputusan yang salah, mungkin juga akan berat bagi Gaza untuk melupakan semuanya, melupakan momen bagaimana dulu ia tersiksa karena sangat merindukan mamanya. Dan sepertinya ini adalah akhir bagi Gaza. Dia harus memaafkan kesalahan mamanya.
Gaza ingin berhenti. Berhenti untuk terus mempersulit hidupnya dengan masalah-masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Setidaknya jika ia memaafkan mamanya dan bebaikan dengannya masalahnya hidup dan beban pikirannya akan sedikit berkurang bukan? Terlebih lagi saat ini dia juga sedang menghadapi masalah lain yang cukup sulit baginya untuk menemukan solusinya. Gaza hanya ingin semuanya segera selesai!
"Mama tahu kamu kecewa sama mama, Nak. Mama bisa ngertiin itu semua. Tapi apa nggak bisa kamu maafin kesalahan mama? Semua orang pernah salah Gaza dan—"
"Aku udah maafin Mama!"
Satu kalimat yang baru saja memotong ucapannya itu berhasil membuat Vena tersenyum simpul dan bernafas lega.
"Bener kamu udah maafin mama?" tanyanya lagi untuk memastikan.
"Hmm, tapi aku masih kesel sama Mama."
Tidak apa, yang terpenting Gaza sudah mau memaafkan kesalahannya. Vena sangat senang sekali mendengarnya. Dia berjanji dalam hatinya untuk tidak akan melakukan hal bodoh lagi seperti dulu, dia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan anaknya. Semua perbuatannya yang dulu adalah khilaf dan tidak akan terulang lagi.
"Makasih Gaza sayang. Makasih karena udah mau memaafkan mama," kata Vena seraya menggenggam tangan cowok itu.
Sementara Gaza hanya tersenyum tipis. Walaupun sebenarnya dalam hatinya dia juga merasa senang karena bisa berbaikan lagi dengan mamanya.
Tak lama kemudian Vena kembali bertanya, "Kenapa kamu bolos sekolah Nak? Dan kenapa muka kamu keliatan babak belur gini?"
Melihat mamanya yang menunjukkan raut khawatir terhadap dirinya membuat Gaza tersenyum. Ia senang bisa mendapatkan perhatian dari seorang ibu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nava & Gaza [END]
Teen Fiction•Complete• "Gue tahu ini terdengar konyol buat lo," ujar Nava. "Nggak juga. Gue merasakan hal yang sama. Nyokap gue pergi setelah cerai sama bokap gue dan parahnya bokap punya wanita lain lagi" sahut Gaza. Nava terdiam, "Ngomong-ngomong kenapa lo ce...