Pagi ini aku bangun dengan nyeri hebat di kepala. Dengan susah payah, aku membuka kedua mataku dan memperhatikan keadaan sekitarku. Dimana ini?
"Selamat siang, Santa si tukang tidur!"
Aku segera menoleh ke arah pintu. Di sana Edgar menyender di ambang pintu dan menatap sinis ke arahku. Owh... pasti semalam aku mabuk berat dan Edgar dengan GPS-nya melacak dimana keberadaanku dan menyeretku pulang. Ah, seperti biasanya.
"Hai Ed, bagaimana penerbanganmu?" tanyaku tanpa dosa.
"Aku mengalami JETLAG, tapi harus segera MENEMUKANMU yang entah terkapar di mana! You know what, kau hampir membuat dirimu 'menikah' dengan seorang bitch! Memangnya kau mau keturunanmu berasal dari wanita yang entah tidur dengan berapa banyak lelaki!?" omel Edgar penuh emosi.
"Tapi 'hampir' itu artinya 'belum' kan? Dan aku berterima kasih kepadamu, Ed. Oh, dan tentu saja aku tidak mau melakukan seks dengan entah siapa itu." Jawabku enteng sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Edgar masih terus mengoceh panjang. Bahkan saat aku menikmati guyuran air di bawah shower, suara omelan Edgar yang ada di balik pintu kamar mandiku pun masih terus menggema. Yah, biarkanlah dia. Selama beratus-ratus tahun ini aku sudah mendengar ocehannya yang selalu sama. Tapi aku juga bersyukur karena dia tidak pernah lelah menarikku keluar dari pub ataupun menyelamatkanku dari para lintah darat yang 'gila seks'.
Aku keluar dengan keadaan jauh lebih sadar dari sebelumnya. Berjalan ke arah meja makan di flat apartemenku. Menikmati pancake yang aku yakin buatan Edgar, asistenku yang bisa melakukan apa saja.
"Jadi, apa yang harus aku kerjakan hari ini?" tanyaku sambil mengunyah pancake dengan madu, favoritku.
"Mengecek laporan pengiriman kado yang sudah aku tumpuk di atas meja." Kata Edgar dengan seringai kejamnya.
Aku segera menoleh ke atas meja yang dimaksud Edgar. Oh yang benar saja, lagi-lagi tumpukan laporan setinggi dua meter yang dibagi menjadi tiga baris. Ck! Inilah kenapa aku menikmati hari kemarin, hari sebelum Edgar menemukanku. Edgar itu sangat menyiksa saat di bumi! Bahkan aku yakin, laporan itu masih sepersepuluh dari yang harus aku cek.
"Ya ya ya... aku mengerti." Jawabku malas.
"Oh, jangan lupa. Kau harus menghubungi para Elf yang melakukan pengiriman ke Afrika sana. Mereka mendapat sedikit masalah, dan butuh sepercik magic yang kau punya."
Aku hanya menjawab dengan gumaman, sambil terus menikmati pancake yang begitu nikmat.
"Dan malamnya, Jessica memaksamu untuk bertemu dengannya. LAGI. Dia masih ingin membiacarakan hal yang sama seperti saat SEBELUM kau pergi ke pub." Tambah Edgar.
Aku hanya bisa menghela nafas. Rasa-rasanya aku bosan dengan rutinitas pekerjaanku yang tidak ada habisnya. Setengah milenium, dan aku terus mengirimkan kado-kado bagi anak-anak. Oke, aku memang menikmatinya, tapi aku lebih suka menatap anak-anak yang mendapat kebahagiaan itu secara langsung daripada membaca laporan!
Pekerjaanku sebagai Santa sekarang lebih modern dari Santa generasi pertama, kedua ataupun yang ketiga. Karena bukan hanya aku seorang diri yang mengirimkan kado-kado itu, tapi aku dibantu oleh para Elf. Jika ada amsalah, barulah aku turun tangan. Meringankan pekerjaanku bukan? Tapi aku malah berakhir dengan membaca laporan di dalam ruangan dan aku benci itu!
"Tenang saja, aku akan mencoba menyusun jadwalmu sepadat mungkin!" kata Edgar yang tidak mungkin membuatku tersenyum.
Sepadat mungkin? Semua jadwal yang dia atur itu sangat ketat dan padat! Bahkan sampai aku merasa sesak nafas karena tidak ada ruang untuk bernafas! Walau aku tahu ini demi kebahagiaan jutaan anak-anak yang menanti kado natal mereka. Tapi aku butuh sedikit bernafas lega. Terkadang aku harus kabur, barulah aku mendapat waktu istirahat sejenak dan menikmati bumi.
"Lima hari sebelum natal, jadwalmu kosong. Kau bebas sepenuhnya hari itu. Gunakanlah untuk bertemu Caroline, atau terserah! Ke pub, balapan mobil, berpura-pura jadi Santa Claus dengan kostum konyol, membagi-bagikan permen. Lakukan seperti biasa saat kau kabur. Terserah! Jadi sekarang, lebih baik kau bekerja keras!" tambah Edgar.
Aku langsung menatap Edgar berbinar-binar. Oh tidak aku sangka, ternyata Edgar di tahun ini begitu baik! Ternyata dia mengerti juga kalau aku merasa putus asa harus terus-terusan bekerja di balik meja. Segera saja aku bangkit dari kursi dan memeluk Edgar. "Thank you, bro!"
"GET AWAY! Gue bukan homo!!!" kata Edgar sambil mendorongku menjauh.
Aku menatap Edgar dengan menaikkan sebelah alisku dan tersenyum miring. Tadi Edgar menggunakan bahasa manusia? Bahasa Indonesia? Dan... 'Gue'? Wow, ternyata Edgar tidak mau bersopan-sopan di bumi? Jarang-jarang.
"APA?! Ini Indonesia kali! Bukan North Pole, jadi kita pake bahasa sesuai tempat aja. Dan berhenti menatap gue seakan gue ini homo!" kata Edgar galak.
"Yah, gue tau kok lu bukan homo. Tuh buktinya lu punya Shakira! Hehe..." kataku sambil menyengir tidak jelas.
Akhirnya, semangatku yang seharusnya nol besar dalam mengecek laporan, berubah menjadi semangat seratus persen seperti siap bertempur! Tentu saja ini karena Edgar akan membiarkan aku beristirahat selama lima hari sebelum natal. Walaupun Edgar bilang kalau aku tetap harus siap sedia jika terjadi masalah. Tapi tidak akan terjadi masalah kalau aku melakukan semua dengan baik!
Sehari... dua hari... tiga hari... bahkan sampai hari terakhir aku bekerja, semangatku tetap menyala!
"So... this is the last, right?" tanyaku sambil mengangkat berkas laporan terakhir yang sudah aku periksa.
Edgar tersenyum dan mengangguk penuh semangat. Mungkin dia juga senang karena baru kali ini aku tidak kabur dari pekerjaan dan menyelesaikan dengan baik. Lihat, kalau ada kemauan pasti terlaksana kan?
"Jadi, lu mau kunjungan ke panti asuhan itu?" tanya Edgar.
"Yepp! Gue mau ketemu Caroline. Karena Cuma dia yang ga bisa mendapatkan kado pengganti sebagai kado natalnya kan?" kataku sambil merebahkan tubuh di sofa. Remuk rasanya selama berhari-hari ini bekerja seperti orang gila. Tapi lega karena sekarang semua sudah selesai!
"Lu bener-bener... ga punya perasaan sama dia kan?" tanya Edgar hati-hati.
Ck, dasar Edgar. Sudah aku katakan sebelumnya bukan, kalau aku hanya merasa penasaran dengan Caroline. PENASARAN. Apa itu belum cukup jelas?
"Semakin lu mengelak, gue semakin yakin kalau lu bener punya perasaan sama dia!" tambah Edgar.
"Hei, terus kalaupun punya, emangnya kenapa? Lagian, gue Cuma-..."
"Cuma penasaran! Tau! Tapi penasaran lu harusnya udah terobati setelah pertemuan pertama kalian! Oh iya, saran gue aja. Dia itu masih anak-anak. Dia masih percaya keberadaan lu. Lu tau alasan kenapa kita ga kasih kado buat orang-orang dewasa kan? Karena mereka ga percaya lu ada! Jadi, lebih baik lu buang perasaan lu jauh-jauh karena kalau lu Cuma nunggu dia sampai besar, ada saatnya dia bakal lupa siapa lu. Saat itu, lu bakal nangis-nangis dan ngurung diri lu di kamar lagi! Gue mau ketemu Shakira dulu. Bye." kata Edgar panjang lebar lalu keluar dari flat ini.
Aku tertegun.
Sejujurnya, apa yang dikatakan Edgar itu sangat benar, dan perlu aku akui kalau aku benci Edgar yang menjadi penasihatku. Tapi rasanya aku pun tidak rela. Aku.... aku terlanjur berharap kalau Caroline adalah orang yang seperti ibuku. Walaupun dia masih anak-anak, tapi aku bisa menunggunya sepuluh tahun lagi.
Oh astaga, sepertinya benar... Aku yang sekarang adalah seorang pedofil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Santa is Falling in Love
RomanceChristmas Edition : Dear Santa, Terima kasih karena sudah mengirimkan kado kepadaku setiap tahunnya. They are really amazing! And ... You are amazing too! Tiap malam dalam setahun, aku selalu memikirkan bagaimana rupamu. Well, you must be handsome...