Caroline POV
Shakira cerita semua. Bahkan bagaimana gilanya Nick yang bekerja selama seminggu ini. Jadi tentu saja aku mengerti bagaimana lelahnya Nick saat ini. Aku maklum kalau dia sekarang ambruk, apalagi setelah dia menunjukan kata-katanya. Dia benar-benar membuktikan kalau dia Santa!
Sampai detik ini aku hanya berpikir, bagaimana kalau semua yang dia katakan adalah omong kosong. Aku tidak pernah memikirkan jika semua ini nyata! Lalu sekarang aku harus bagaimana?
Shakira cerita, jika seorang Santa menginginkan seorang pedamping atau istri, itu artinya aku juga harus ikut Nick ke North Pole. Menjadi Nyonya Claus. Melahirkan penerus yang nantinya akan menjadi Santa menggantikan Nick. Hidup bahagia di North Pole sampai tua dan akhirnya meninggal.
Berarti aku akan meninggalkan bumi ini?
Lalu bagaimana dengan anak-anak panti? Bagaimana dengan masalah penggusuran panti? Bagaimana dengan Ibu Erna yang akan sendirian mengurus semua ini? Bagaimana dengan pekerjaan yang aku cintai? Bagaimana dengan Nina???
Oh my, bagaimana aku bisa meninggalkan bumi ini bersama dengan orang-orang yang aku sayangi?!
Tapi tunggu dulu.
Nick belum menyatakan cintanya padaku kan? Dia belum memintaku untuk menjadi istrinya kan? Dia juga belum mengatakan apa-apa. Jadi seharusnya aku tidak boleh panik dulu!
Bodoh! Kenapa aku seperti membohongi diriku sendiri! Tentu saja Nick tidak akan bersusah payah datang ke Indonesia hanya untuk bertemu denganku dan menjelaskan panjang lebar siapa dia kalau dia tidak punya maksud seperti itu kan?! Aku bukannya terlalu percaya diri, tapi kenyataannya memang seperti itu!
Huft...
Aku segera mengambil ponselku dan menelepon Ibu Erna. Setidaknya menelepon dan berbicara dengan seseorang akan membuat perasaanku lega.
Dering kelima telepon diangkat. "Halo?"
"Astaga Olin, kamu kemana saja Nak? Kenapa sudah tengah malam seperti ini belum pulang? Kamu kemana? Baik-baik saja kan?" tanya Ibu Erna penuh kekhawatiran.
"Olin baik Bu, tapi sepertinya aku tidak pulang. Aku sedang bersama Nick, dan dia sedang sakit." Jawabku seadanya.
"Kamu bersama Nick? Sakit apa dia? Oh, kalau begitu tak apa. Kamu jaga saja dia, lagipula dia tidak ada keluarga di Jakarta ini."
Aku tersenyum. "Ya Bu..." Kemudian diam panjang terjadi sampai akhirnya aku memutuskan untuk mematikan sambungan telepon. Tapi Ibu Erna kembali bersuara.
"Ada apa Lin? Kamu menghela nafas berkali-kali. Ibu bisa dengar dengan jelas di telepon."
Huft. Ternyata terdengar ya? Ah, memang aku tidak bisa menutupi apapun dari Ibu Erna. Sepertinya aku harus menanyakannya. Daripada hatiku seperti orang gila yang kebingungan! Tapi bagaimana menanyakannya?
"Bu, ibu tahu kan kalau aku sayang sekali sama Ibu dan anak-anak panti??? Aku tidak mau meninggalkan ibu dan panti kita. Aku merasa kita ini keluarga. Tapi, tapi bagaimana kalau suatu saat aku juga harus meninggalkan panti dan seperti Nina? Menikah dengan seseorang dan kesulitan untuk berada bersama kalian lagi... bagaimana kalau ibu ada kesusahan? Bagaimana kalau Pak Edo ak-..."
"Kamu mencintai Nick kan? Ada kalanya kamu pun harus mengejar kebahagiaan kamu sendiri Lin. Kamu berhak mendapatkannya!"
"Tapi bu, bagaima-..."
"Ibu akan sangat marah kalau kamu mau tidak mengakui perasaanmu padanya, menerima niat baiknya, bahkan tidak ikut pergi ke Amerika dengannya! Jangan jadikan Ibu dan anak-anak panti alasan, karena kami akan sangat merasa bersalah kalau kamu tidak bahagia!"
"Aku bahagia bersama ibu dan anak-anak panti!"
"Ibu tahu, tapi kamu juga berhak dicintai seseorang Lin. Jangan sampai kamu menyesal! Justru ibu sangat bahagia jika anak-anak ibu semua bisa bahagia! Nina, dan sekarang kamu..."
Air mataku menetes. Oh astaga, ini hanya telepon tapi kenapa begitu terasa nyata dan telak menamparku! Ini pilihan tersulit bagiku. Aku harus memilih antara dua yang aku sayangi. Aku sayang keduanya!
"Pilih kebahagiaan kamu Lin, dan kamu tahu dengan jelas jawabannya!"
***
Nick POV
Entah sudah berapa lama aku tertidur, tapi rasanya semua tenagaku sudah pulih. Mataku menangkap cahaya matahari tenggelam yang menembus kelopak mataku. Ugh!...
Aku berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Meneliti ruangan dimana aku berada dan coba mengingat-ingat apa yang terjadi.
"Sudah bangun?"
Aku menoleh ke arah sumber suara. Caroline masuk ke kamar dan langsung menghampiriku. Duduk di pinggir ranjang dan tersenyum ke arahku. Senyumnya yang aku rindukan!
Oh God, apa ini mimpi? Kalau ini mimpi, tolong biarkan seperti ini saja selamanya!
"Lu tau ga, gue sampe manggil dokter karena lu ga sadarkan diri dua hari lebih! Nyaris tiga! Lu nyaris bikin gue ketakutan lu ga akan bangun lagi! Liat, tangan lu sampe diinfus segala! Untung aja ga dimasukin selang ke mulut lu karena lu ga makan!" oceh Caroline.
DUA HARI?
Oh astaga, dan lihatlah... aku benar-benar diinfus! Sekarang aku baru ingat semuanya, dan ternyata aku benar-benar pada batasanku? Sampai aku tak sanggup untuk berbuat hal lain kecuali istirahat dan ... istirahat!
"Lu pasti ga percaya, tapi terserah saja. Perlu lu tau kalau hari ini tanggal dua puluh empat." Tambah Caroline.
WHAT?
Sekarang tanggal dua puluh empat? DUA PULUH EMPAT DESEMBER??? Malam natal??? Aku melihat jam dan keluar jendela. Oh astaga, sekarang benar-benar sudah malam! Matahari benar-benar sudah terbenam!
"Ga usah kaget gitu. Lu belum melewatkan apa-apa kok. Natal juga masih besok!" tambah Caroline tersenyum lebar.
Oh astaga Caroline, tentu saja aku melewatkan banyak hal! Aku melewatkan waktu-waktu yang berharga untuk mendapatkanmu! Membuatmu bahagia! Oh God!!! Dan besok sudah natal dan waktuku habis!
"Heh ganteng, gue ga bisa telepati! Ngomong dan jangan diem aja! Muka lu udah kayak kain pel tau ga karena mikirin yang pastinya engga-engga!" kata Caroline jengkel sambil menyentil dahiku. Auww... sakit!
"Lin!" panggilku kesal karena dia tidak menyentilku hanya sekali. Berkali-kali!
"Yes??" tanya Caroline tanpa dosa.
"Jangan nyentil-nyentil! Sakit tau!!!"
"Tau kok!"
"Kalau udah tau kenapa masih ngelakuin?!"
"Seneng aja. Hahahaha ..."
Wow. Ternyata bukan hanya senyum, tapi tawa yang ku rindukan juga kembali! Oh astaga, biarkan aku bermimpi seperti ini selamanya!
Auwww! Isshhh astaga! Kenapa Caroline malah menyentil dahiku lagi?!
Rasanya kesal juga lama-lama. Akhirnya aku langsung menarik pinggangnya dengan kuat dan memerangkapnya dalam pelukanku. Setidaknya dengan cara ini dia tidak akan menyentil dahiku lagi. Tapi bodoh! Dalam posisi seperti ini, aku hanya membuat detak jantungku berkali-kali lipat berdetak lebih cepat! Caroline terlalu rapat denganku!
"Orang sakit tuh istirahat aja sana, jangan mesum!" sindir Caroline.
Mesum?
"Gue ga mikir ke sana tuh!" jawabku jujur.
"Jadi lu mikir apa? Lagipula, inget dosa! Lu ga suka sama anak-anak bandel, tapi sendiri bandel! Ck. Dasar Santa ga konsisten!" cibir Caroline.
Hei, apa dia bilang?!
"Wah, sepertinya bibir ini kata-katanya pedas sekali ya!" kataku sambil menyentuhkan jari-jariku ke bibir merahnya. Tapi ternyata, hanya menyentuhnya membuat efek yang luar biasa. Mataku serasa tidak bisa lepas melihat bibirnya, dan pikiranku kembali mengingat betapa manis rasanya.
"Tuh kan mesum! Pedas itu maksudnya 'hot' kan? Geez! Kalau mau nyium, bilang aja kali!"
"May I?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Santa is Falling in Love
RomanceChristmas Edition : Dear Santa, Terima kasih karena sudah mengirimkan kado kepadaku setiap tahunnya. They are really amazing! And ... You are amazing too! Tiap malam dalam setahun, aku selalu memikirkan bagaimana rupamu. Well, you must be handsome...