7 // Merry Christmas

4.3K 290 2
                                    

Lima hari bebas yang diberikan Edgar malah tidak kugunakan sama sekali. Aku hanya terbaring di kasur, menatap langit-langit dan terus menerus menghela nafas. Sesekali aku mengendarai mobil keliling Jakarta. Ke pub, tapi hanya minum segelas dan langsung pergi. Malah, aku hanya duduk di pinggir jalan dan menatap anak-anak yang tertawa bahagia bersama Santa 'palsu'.

Aku benar-benar seperti bukan diriku lagi. Seharusnya aku membagi-bagikan kebahagiaan kepada anak-anak, bukan hanya duduk dan ikut tersenyum tanpa melakukan apa-apa! Tapi aku sama sekali tidak bersemangat.

Aku tidak menemui Caroline, walau aku mendatangi panti asuhan itu selama lima hari ini. Aku hanya melihat gadis kecil itu bermain bersama temannya dan tertawa bersama. Begitu bahagia, begitu semangat, dan ... begitu polos.

Huft.

Edgar benar, sekalipun Caroline percaya Santa Claus sekarang, belum tentu semakin bertambahnya umur, dia masih akan terus percaya keberadaan Santa. Dia akan berubah, menjadi sama seperti para wanita lintah darat yang selalu aku hindari. Ingin sekali aku menjaganya, tapi bagaimana bisa? Keberadaanku di bumi hanya dua puluh lima hari dalam setahun!

Seperti kata Jessica, lebih baik aku mencari wanita yang seumur denganku. Yang memang sudah terbukti jelas bagaimana karakter dan sifatnya. Huft... Aku benci Edgar dan Jessica saat mereka menasihatiku. Bagaimana mungkin kata-kata mereka begitu mempengaruhiku sedemikian rupa!

"Siap buat kembali?" tanya Edgar menepuk pundakku. Aku langsung menoleh dan mengangguk. Berjalan menjauh dari panti asuhan yang kuamati selama tiga jam ini. Mereka sedang merayakan pagi natal. Membuka kado, dan terlihat begitu bahagia.

Tapi rasanya aku masih belum ingin pergi. Aku masih ingin melihat senyum dan tawa Caroline yang begitu tulus. Tak bisakah aku menemuinya sekali lagi?

"Kak Niccckkkkkk!!!!"

Aku berbalik menoleh ke belakang. Caroline berlari ke arahku dan terus memanggilku. Aku berhenti berjalan dan menunggunya sampai dia ada di hadapanku dengan nafas terengah-engah.

"Oh, hai Caroline. Merry Christmas..." ucapku sambil membungkuk mensejajarkan wajahku dengan wajahnya.

"Merry Christmas juga!!!" kata Caroline sambil tersenyum selebar mungkin. Bahkan saking lebarnya, matanya ikut menyipit. Aku pun terkekeh melihatnya. Dia begitu menggemaskan.

"Ada apa kau memanggilku?" tanyaku.

"Mmhh... Kau benar Kak, mungkin Santa begitu sibuk sampai tidak sempat menemuiku. Tapi mungkin, dia mengirimkan Kakak untuk bertemu denganku sebagai gantinya! Terima kasih telah mendengar ceritaku kemarin itu."

Aku tersenyum. Andai saja kamu tahu kalau akulah Santa, Caroline. Aku bahkan tidak sibuk selama lima hari ini dan aku masih belum bisa bertemu denganmu sebagai Santa. Maaf.

Tapi juga terima kasih karena kamu begitu menghargaiku.

"Oh iya... apa Kakak tinggal di dekat sini?" tanya Caroline.

"Sayangnya aku tidak tinggal di dekat sini."

"Oh begitu... Kapan Kakak pergi?"

"Siang ini."

Ku perhatikan mimik wajah Caroline yang berubah drastis. Sepertinya dia sedih mendengar kabar kepergianku. Tapi, benarkah? Aku kan hanya bertemu dengannya sekali, dan tak banyak yang kami bicarakan.

"Ada apa?"

"Sejujurnya, aku benci sekali perpisahan. Tapi kalau boleh, ini dan ini... bawalah." Kata Caroline sambil memberikanku sesuatu. Pita berwarna merah dan sebatang candy cane. Sepertinya aku pernah melihat pita ini. Dimana?

"Ini apa, dan kenapa kamu memberikannya kepadaku??" tanyaku bingung.

"Ini pita dari boneka teddy bear kesayanganku. Hadiah dari Santa. Aku berharap kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti, terlebih karena Kakak membawa pita boneka kesayanganku. Anggaplah Kakak punya hutang untuk mengembalikanannya. Lalu, permen itu. Aku yakin Santa tidak memberikan Kakak kado natal apapun, tapi semoga Kakak tidak sedih. Anggap saja itu sebagai penggantinya." Jelas Caroline.

Aku hanya bisa terkekeh. Tentu saja aku pernah melihat pita itu. Pita boneka teddy bearnya! Tapi kenapa dia ingin sekali aku membawa pita ini dan menyuruhku berhutang? Alasan yang aneh.

Ah, baru kali ini aku malah diberikan kado saat natal. Biasanya juga aku yang memberikan kado. Walau hanya candy cane, tapi aku senang. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku menerima kado natal. Mungkin sejak beratus-ratus tahun yang lalu saat ibu dan ayahku masih ada.

"Terima kasih Caroline. Tapi sayangnya, aku tidak bisa janji bertemu lagi." kataku sedih.

"Pasti bertemu lagi, Kak Nick! You have the ribbon!" kata Caroline yakin. Tak lama, ada suara yang memanggil Caroline untuk masuk ke dalam rumah. Aku pun hanya bisa mengangguk saat dia berpamitan denganku.

Dalam hati kecilku, aku berharap semoga ada waktu dimana aku bisa bertemu lagi dengannya. Mungkin bisa. Tahun depan. Tapi apa dia masih mengingatku? Lagipula, apa tahun depan dia masih percaya keberadaan diriku?

Astaga Nick. Dia hanya seorang anak kecil berumur sepuluh tahun dan kau begitu ... begitu peduli kepadanya? Bahkan sikap pedulimu itu sudah melampaui sikap pedulimu terhadap anak-anak lainnya!

"Nick, sekarang sudah jam sebelas siang tanggal 25 Desember di sini. Itu artinya, di Amerika sedang Christmas Eve. Lu masih punya waktu jika ingin mengobrol dengan anak itu. Portal ditutup tanggal 25 Desember jam 23.59 waktu Amerika kan?" kata Edgar sambil menepuk bahuku pelan.

Ya. Aku tahu. Walau aku ingin mengobrol dengan Caroline, tapi itu hanya akan membuat aku sedih dan berharap lebih lama lagi ada di sini.

"Tidak usah. Ayo kita kembali. Masih ada natal tahun depan kan?" kataku lalu berjalan ke arah Ferrari merahku yang terparkir rapi di ujung jalan.

"Tapi Nick..."

"Ed, lu bener. Dia itu hanya anak kecil. Dan ... emangnya lu mau punya temen yang pedofil, he?"

"Yah, engga sih. Tapi kalau lu nunggu sepuluh tahun lagi, lu ga akan disebut kayak gitu. Lima hari ini, lu bener-bener bukan Nick yang gue kenal! Bukan Santa Claus yang gila kayak biasanya. Lu... aneh!"

"Hei, kayak kata Jessica. Gue nyari yang seumur aja. Yang lebih realistis lah. Udah deh, ayo kita balik aja. Shakira pasti nungguin lu tuh di rumah portal."

"Rumah portal???" tanya Edgar bingung.

"Hehe.. habis ga mungkin kan kalau gue bilang itu rumah gue? Lagian selama ini rumah itu ga punya nama. Dan, rumah gue kan Cuma di North Pole." Kataku sambil nyengir.

Aku tahu Edgar sedikit khawatir karena rasa tidak relaku benar-benar tercetak jelas di wajah. Tapi aku hanya bisa meyakinkan Edgar kalau aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit sedih dan tidak rela karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Bumi dan North Pole benar-benar dua dunia yang terpisah dengan jarak yang tak terlihat.

Santa is Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang