24 // Tuan Claus

3.3K 255 0
                                    

Caroline POV

'Nyonya Claus'?

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ada-ada saja mereka ini! Tapi, kalau dulu 'lamaran'ku diterima Santa, mungkin aku benar-benar sudah menjadi Nyonya Claus sekarang ini. Hahaha.

"Gue pulang dulu ya. Udah malem, ga enak lama-lama di sini. Hehe... Thanks buat makanannya, Nyonya Claus." Pamit Nick sambil menyunggingkan senyum geli.

Mau tak mau, aku pun terkekeh mendengarnya. "Sama-sama, Tuan Claus."

"Kalau gitu, gue pulang ya. Bye..."

"Ehhh tunggu!!!" teriakku panik saat Nick sudah membalikkan badannya dan berjalan selangkah pergi.

"Kenapa?" tanya Nick dengan wajah penuh kebingungan.

"Mmmh... Sorry kita ga jadi makan malam. Batal ngedate dan ... yah lu jadi ngeliat kejadian yang ga enak tadi. Bahkan lu mau repot-repot temenin anak-anak main sampe malem gini. Gue... gue jadi ga enak hati. Maaf ya."

Nick menatap mataku lekat dan tersenyum kepadaku. Senyum yang benar-benar membuat hatiku berdesir. Oh astaga, kenapa Nick tidak marah saja sih? Aku kan jadi deg-degan tidak karuan melihatnya seperti ini! Bahkan tanganku jadi keringat dingin.

Nick, say something!!!

"Nick..." panggilku memberanikan diri karena Nick terus menatapku dalam diam.

"Lu tau nama gue siapa?" tanya Nick.

Ha? Nick apaan sih? Kok pertanyaannya aneh sekali? Jelas aku tahu siapa namanya. Nick. Nicholas.

"Nicholas?"

"Nama lengkap?"

Aku menggeleng. Aku hanya tahu namanya Nicholas saja. Aku kira namanya memang hanya Nicholas saja, karena kepada siapapun dia mengenalkan diri, selalu namanya disebut Nick atau Nicholas.

"Nama gue Nicholas Claus, Caroline."

Mataku langsung melotot kaget. Ini sungguhan? Tapi tadi di dalam rumah, aku cuma bercanda! Aku benar-benar tidak menyangka nama Nick itu.... Tapi yang benar saja. Claus? Nick yang terus dipelototi malah terkekeh geli dan berjalan satu langkah mendekat ke arahku.

"Nama gue bener-bener Nicholas Claus. Dan... gue harap lu mau jadi Nyonya Claus." Kata Nick yang matanya terus menatapku lekat. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan detak jantungku lagi yang sudah tidak karuan. Rasanya detakan jantungku semakin menggila!

"Jadi, apa jawaban lu buat pertanyaan gue di perpustakaan tadi? Will you be my girlfriend?" tanya Nick tanpa berkedip.

Aku langsung gelagapan. Oh astaga, yang benar saja! Aku kira hal itu tidak akan dibahas lagi, dan aku kira hal itu sudah selesai dibahas di perpustakaan. Ternyata Nick malah bertanya kepadaku! Bagaimana ini? Apa yang harus aku jawab?!

Bahkan jarak antara aku dan Nick saja hanya tinggal selangkah. Oh astaga astaga astaga... rasanya aku tidak bisa bernafas! Otakku sampai tidak mendapatkan asupan oksigen untuk berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Nick!

Please... someone, help me!

"Heh! Lu kelamaan ah jawabnya!"

Hah? Siapa itu yang bicara?! Aku langsung segera menoleh ke belakang Nick dan mendapati Nina berdiri dengan tangan bersedekap di dada.

"Jawab 'iya' aja kenapa susah banget sih!" omel Nina.

Aku langsung berdecak sebal. Memang sih aku tadi meminta seseorang menolongku, tapi bukan Nina juga! Yang ada, dia pasti akan menjerumuskan dan bukannya menolong!

"Udah udah udah... lu berdua jadian aja. Cocok kok. Jadi temen gue yang jomblo ngenes ini bisa bawa pacar ke nikahan gueee!!!" teriak Nina girang.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang sih, Nina si wanita menyebalkan ini sebentar lagi akan menikah. Lebih tepatnya seminggu lagi dia akan menikah. Makanya dia terlihat begitu bahagia. Tapi dia tidak perlu kan menyebut-nyebut aku 'jomblo ngenes'? Aku ini juga baru dua tahun ini jadi jomblo. Dan aku tidak se-mengenaskan itu!

Nick melihat Nina dengan tatapan bingung, bahkan menatapku penuh tanya. Ah iya, Nick kan belum mengenal Nina. Ck, Nina kencan mulu sih sama calon suaminya! Padahal sebentar lagi nikah, kenapa tidak sabaran! Kalau tadi dia ada di rumah, dia kan bisa kenalan sama Nick, dan tentu saja membantuku melawan pria-pria berbaju hitam tadi!

"Nick... kenalin, ini Nina. Temen gue yang paling nyebelin. Nin, lu udah denger kan nama dia siapa." Kataku sinis ke arah Nina. Aku masih sebal karena dia tidak membantu.

"Hai, gue Nick." Kata Nick mengulurkan tangan dan disambut antusias oleh Nina.

"Hai Nick. Gue Nina. Oh astaga, kemarin gue liat lu dari jendela pas anter Olin pulang. Aisss ternyata dari deket lu beribu kali lebih ganteng! Gue heran deh sama Olin yang masih loading dulu buat nerima lu! Ck. Kalo gue jadi Nina, langsung gue terima dan gue teriakin dah!"

"Heh! Inget tuh sama Dimas!!!" tegurku. Inilah penyakit mengerikan Nina, dia bisa memuji lelaki lain sampai berlebihan kalau Dimas tidak ada di dekatnya.

"Isshhh... lu mah ganggu gue mulu! Bela aja terus si Dimas. Mentang-mentang temen 'deket'!" cibir Nina.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia ini mau nikah sama Dimas, tapi kenapa seperti musuhan sih sama calon suaminya sendiri? Lagian aku sama Dimas kan memang dulu pernah dekat. Malah dekat sekali karena dia itu mantan pacar aku. Tapi Dimas itu cintanya sama Nina, dan kami putus baik-baik. Aku hanya bisa bersimpati sama Dimas karena mendapatkan sahabatku yang tidak jelas seperti Nina ini sebagai istrinya.

"Aduhhh.... Lu harus dateng ke nikahan gue ya?! Aihhh... coba kalau gue dapetin hati lu duluan dari Olin, pasti seneng banget deh punya cowok ganteng kayak lu! Ckckck..."

Ini harus dihentikan. Nina semakin menggila!

Segera saja aku tarik Nick menjauh dari Nina dan melotot kesal ke arah Nina. "Sana lu masuk ke dalam!" kataku kesal.

"Ih... pelit banget sih lu!"

"Inget noh Dimas!"

"Inget kaleee... tapi kan gue mau deket-deket Nick dulu!"

"Ga boleh!"

"Yeee... siapa bilang?!"

"Gue!"

"siapa yang ga ngijinin?"

"Gue!"

"Emang Nick punya siapa?!"

"Gue!"

Kataku yang terus membalas kata-kata Nina dengan emosi. Nina yang duluan menggunakan emosi, ya jelas aku ikutan emosi! Tapi aku menang. Tuh buktinya Nina tidak lagi membalas kata-kataku.

Loh, kenapa sekarang Nina malah tersenyum lebar begitu sih? Eh... tunggu sebentar. Pertanyaan terakhir tadi itu....

"Congrats sis... tuh lu bisa cium pacar baru lu. Tapi minggir dulu, gue mau masuk! Lu berdua ngalangin jalan gue!" kata Nina lalu langsung mendorongku dari depan pintu.

Tubuhku oleng, dan nyaris saja aku hampir jatuh. Tapi untungnya Nick yang ada di belakangku langsung menangkapku dengan sigap, dan membantuku berdiri tepat di depannya.

"So... I am 'yours'?"

Oh damn! Benar kata Ibu Erna, seharusnya aku menggunakan akal sehat ketimbang emosi! Thanks Nina, kamu benar-benar 'menolong'!

Santa is Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang