the siblings

- thirty nine : my family

This is real.
happy 70k readers, brOu!

—

Seisi ruangan menatap laki laki itu penuh harap, kondisinya kembali normal namun sayang Jeno harus tertidur kembali.

Rose dan Lia sudah menangis tanpa henti, begitupun dengan Jaehyun yang merakul keduanya erat sambil menahan tangisnya yang bisa pecah kapan pun.

Sampai dimana Jeno mulai kembali menunjukkan pergerakan, matanya perlahan membuka seisi ruangan menatapnya tidak percaya. Bahkan tadi Jeno nyaris menemui ajalnya.

Melihat satu per satu orang dalam ruangannya, Jeno mengerang kecil saat rasa sakit itu kembali menghantam kepalanya.

“J-jeno.. ”

Kepalanya menoleh, tersenyum tipis dibalik alat bantu pernapasannya.

Semua dokter dan suster yang ada disana bernafas lega, satu dokter mulai memeriksa kembali Jeno dan tanggapan dokter itu hanya tersenyum kemudian mengangguk.

Jeno menarik alat pernapasannya kasar, membuat Jaehyun panik di tempat. Untung salah satu suster memberitahu bahwa itu baik baik saja jika pasien sudah tidak memerlukan nya.

“H-hai?”

Semua dokter dan perawat yang ada disana pamit undur diri, membiarkan keluarga kecil itu saling menghangatkan satu sama lain.

Jaehyun rasanya hampir mati tadi, mendengar detak jantung Jeno sempat hilang beberapa detik. Kini pria itu memeluk Jeno erat.

“What's wrong with me—”

“B-bunda?”

Lia dan Jaehyun memilih memberikan ruang kepada keduanya, mereka tersenyum melihat kejadian ini terjadi.

Jeno dengan tatapan tidak percaya nya menatap Rose, berpikir apa dia mimpi atau memang ibunya memang ada disini?

Air mata itu akhirnya jatuh kembali, Rose dengan cepat memeluk putra sulungnya erat. Jeno semakin tidak percaya, skenario Tuhan memang suatu hal yang selalu sukses membuatnya terkejut tanpa henti.

“Iya, sayang.. Bunda disini.”

Jeno menangis. “B-bun.. ”

“Don't hear your daddy about boys can't crying, dear. I'm here.” ucap Rose lagi.

“I'm sorry... I shouldn't leave you alone.. Sorry sorry.. ”

“It's okay, it just the past. Now.. You here with me.” Jeno tersenyum kecil.

“Dad, jangan nangis.” tegur Lia dalam rangkulan ayahnya.