21. Berangkat.

142 18 2
                                    


"Jauh darimu sesaat saja, rasanya tidak kuat."

- Ayfa Edelweis Putri Sabella -

•••

KEBIASAAN memeluk, sulit Ayfa lepaskan. Zio berdiri mematung di ambang pintu rumah, membiarkan istrinya berjalan mendekat dari belakang.

"Peluk dari belakang," gumam Ayfa.

Nyaman. Memeluk Zio seperti menjadi candu baginya. Zio menunggu beberapa saat, menunggu istrinya menuntaskan pelukan.

"Ay, aku sudah terlambat," ingat Zio.

Ayfa melonggarkan pelukan, beralih berjalan ke depan, kembali memeluk Zio erat. "Peluk juga dari depan," gumam Ayfa.

Ajaib memang. Memeluk yang menjadi bagian dari rutinitas berangkat kerja, kini harus dilakukan dengan paket komplit. Belakang, juga depan.

Sudut bibir Zio tertarik, pasrah. Semenit kemudian, Ayfa melonggarkan pelukannya. Menatap sang suami seraya terkekeh.

"Samping kanan kiri, gak peluk juga ?" Tawar Zio.

Ayfa mengerjap. "Boleh. Tapi, kalau Zio mau bolos kerja."

Zio menyentil dahi Ayfa pelan, istrinya mulai lagi menghalangi dirinya untuk pergi bekerja. "Bisa aja sih,"

Mata Ayfa seketika berbinar. "Beneran ? Zio hari ini mau bolos kerja ?" Ulang Ayfa antusias.

Kehadiran Zio di rumah adalah hal yang paling Ayfa suka.

"Boleh, tapi uang jajan kamu aku potong ya," lanjut Zio.

Seakan mati kutu, Ayfa memandang dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Gadis itu langsung beranjak berjalan, mengambil jas kantor Zio yang semula di taruh pada sofa ruang tamu.

Layaknya memberi seserahan, Ayfa menyodorkan jas kantor suaminya. Membungkukkan badan sopan, seraya berkata, "Ini jas nya, suamiku."

Zio tersenyum, mengambil alih. Tangannya otomatis mengacak pelan puncak kepala Ayfa. Giliran menyangkut uang jajan, Ayfa berubah sikap seratus delapan puluh derajat. Semula merengek agar dia bolos, seketika Ayfa ikhlas dirinya pergi bekerja.

"Demi uang jajan tak berkurang. Aku akan mengikhlaskan Zio bekerja," kata Ayfa saat pertama kali ia merelakan keberangkatannya.

Bibir Zio mengecup sekilas dahi Ayfa, sebelum dirinya berbalik. "Aku berangkat."

Baru selangkah, Ayfa memanggil, "Zee."

"Iya ?"

Ayfa tak kunjung berbicara. Zio berbalik, melihat istrinya tengah memainkan jari, bimbang. "I.. itu," Zio menunggu. "uang jajannya, gak di potong, kan ?"

Gemas. Gemas sekali. Ternyata istrinya hanya mengatakan hal itu. "Iya. Gak aku potong kok."

Uang jajan tak di potong, terdengar seperti door prize di telinga Ayfa. Sumringah, ia berjalan mendekat, memeluk Zio. "Ayfa makin sayang sama Zio."

"Sayang aku beneran, apa sayang karena aku gak potong uang jajan kamu ?" Tanya Zio memastikan.

Ayfa menatap manik mata suaminya dari bawah. "Sayang dua-duanya dong."

Jujur, istri yang terlalu jujur. Kejujuran Ayfa inilah yang sering membuat Zio dibuat gemas. Hanya kejujuran ? Jelas dengan tingkahnya pula.

Zio melepas pelukan. Jika tidak dia yang mengakhiri, pelukan itu tidak akan kunjung lepas. "Aku berangkat," ujar Zio lembut.

"Iya. Semangat kerjanya!" Ayfa tersenyum lebar, membuat matanya membentuk bulan sabit. "Cari uang yang banyak, buat kita."

"Buat jajan kamu lebih tepatnya," canda Zio.

Ayfa mengangguk mantap. "Buat jajan nya, Ayfa."

"Ingat! Gak usah sentuh dapur."

Sigap, Ayfa memberi hormat pada suaminya. "Yes, Sir!"

"Jangan berenang, kalau gak ada aku."

"Yes, Sir!"

"Jangan olahraga, sebelum nanti malam."

"Yes, Sir!"

Zio tersenyum, mengacak pelan lagi rambut Ayfa. Setidaknya, dirinya memberi petuah pada sang istri. Takut, ada hal aneh-aneh akan terjadi.

Sudah di pastikan, jika Ayfa menyentuh dapur, maka dapur seperti bank di bobol maling. Jika Ayfa berenang, maka air akan menggenangi lantai. Menjadikan tempat bertapak itu licin, seperti tempat main hoki. Jika Ayfa berolahraga menggelindingkan diri di kasur, maka istrinya akan kelelahan. Zio takut, jikalau Ayfa tiba-tiba jatuh tersungkur di lantai karena tidak kuat menopang badannya sendiri.

"Aku tinggal dulu kalau gitu," pamit Zio untuk sekian kali.

Ayfa mengangguk, menatap punggung Zio berjalan menuju pelataran rumah. Membuka pintu mobil.

Mengambil ancang-ancang, Ayfa berteriak, "Jangan lama-lama."

Zio mengangguk, menatap istrinya beberapa saat dari kejauhan. "Aku belum juga berangkat ini."

"Selesai kerja langsung pulang. Jangan mampir-mampir," pesan Ayfa.

Zio mengangguk lagi. "Iya."

Suaminya telah memasuki mobil, menjalankan benda bergerak itu dengan membunyikan klakson singkat. Mata Ayfa masih menatap, kepergian Zio. Hingga mobil suaminya telah hilang dari pandangan.

Napas Ayfa berhembus berat. Ia memutar badan, berjalan masuk. Tangannya merogoh saku, mengambil ponsel. Cekatan, jarinya mengetikkan suatu nama dalam pencarian kontak. Memencet tombol panggilan.

Detik-detik kosong, terdengar nada sambung telepon.

"Halo ?"

"Zee."

"Ada apa, Ay ?"

"Ayfa kangen sama Zio. Bisa pulang bentar ?"

Jadilah, Zio memutar balik mobilnya kembali kearah rumah. Memutuskan hari ini untuk bolos bekerja.

_________________________________________

Selamat pagi
Selamat menjalankan puasa di hari ke-28
Wahh 😍 cepat sekali. Sebentar lagi kita akan lebaran.

Baiklah. Semoga part ini menghibur kalian. Walaupun abal-abal, yang penting hati ku ke kalian gak abal-abal kok. Serius.

Vote komen jangan lupa. Ingat, detik-detik akhir pahala yang berlipat ganda. Buatlah aku senang, maka anda mendapat pahala

Let Be, Stuck With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang