"Jangan hadapkan aku pada dua pilihan. Pilihanku cuma kamu. Kalaupun ada yang lain, kamu adalah opsi pertama yang aku ambil."- Ayfa Edelweis Putri Sabella -
•••
SEDARI tadi Ayfa tak henti mengekori Zio dari belakang, seakan tak ingin jauh. Gadis itu ikut duduk di samping suaminya, tenang. Ayfa tak berbuat macam-macam, ia berusaha berdiam diri, tak merecoki suaminya. Mengamati dari samping, dimana Zio membaca buku.
Suaminya berpakaian rapi seperti biasa, mengenakan setelan kantor. Anehnya, Zio tak terburu-buru seperti hari-hari sebelumnya. Laki-laki itu malah memilih membuka buku bacaan.
"Zio tumben, gak buru-buru."
Tanpa mengalihkan pandangan, Zio berujar, "Masih jam delapan. Berangkatnya nanti, jam setengah sembilan."
Bibir Ayfa membulat, "Oh."
Televisi di ruang tengah adalah objek utama dari saksi keseharian mereka. Benda ajaib itu, tak henti memberikan jasa terbaik dengan menayangkan program dari banyak channel. Untung saja televisi adalah benda yang tak memiliki perasaan. Jika saja ada, mungkin ia tak henti mengoceh akibat diacuhkan oleh kedua insan itu.
Ayfa hanya diam, sebab dirinya merasa tak diacuhkan oleh Zio. Tangannya meraih toples biskuit, memakan camilan. Netranya terpaku sejenak, menatap Zio. Diamnya hanya berlaku sejenak, sebelum akhirnya gadis itu duduk tidak tenang. Bagaimana disebut tenang, jika Ayfa tiba-tiba menggenjot sofa, membuat benda yang ia duduki berguncang.
Zio melirik Ayfa dari balik buku. Laki-laki itu tau apa yang diharapkan istrinya, apalagi kalau bukan tidur. Ah, lepas seminggu yang lalu berkonsultasi pada dokter, istrinya begitu tak ingin melepaskannya. Tepat seminggu inilah, Ayfa seringkali tidur di sofa saat siang. Parahnya lagi, Zio menjadi alas tidur istrinya.
Ayfa berdalih, jika sofa ruang tengah tidak nyaman dibuat tidur. Zio ingat betul, pekan kemarin saat dirinya tertidur pulas di ruang tengah. Tahu-tahu, Ayfa ikut bergabung tidur diatasnya. Dan, itu semua berjalan continue selama seminggu ini.
Gemas akan tingkah Ayfa, Zio menutup bukunya. "Besok kita beli sofa baru," ujarnya seketika.
Ayfa berhenti, menoleh pada Zio. "Loh, kenapa ?"
"Biar punya banyak." Zio tak mungkin mengatakan, agar Ayfa berhenti tidur diatasnya ketika ia tak sengaja tertidur di sofa. Hal itu akan sangat menyakiti hati istrinya.
Ayfa berpikir sejenak. "Emm, ya udah deh."
Hening kembali menyergap. Lagi-lagi hanya suara televisi yang bergaung samar di dalam ruang. Ayfa tak suka kesunyian. Baru dia akan berucap, sosok disampingnya beranjak.
"Aku berangkat dulu."
Melongo, Ayfa menatap sang suami yang berdiri di hadapan. "Loh, katanya tunggu setengah sembilan."
Zio melirik jam tangan, mengecek ponsel. "Enggak deh. Takutnya macet."
Ayfa ikut beranjak, kembali mengekor dari belakang. Mereka berdua berjalan menuju garasi, tanpa banyak kalimat yang terucap. Zio membuka pintu mobil, menoleh sebentar. "Aku berangkat, ya."
Tampak jelas, mimik air muka istrinya yang terlihat kesal. "Hmmph!" Detik berikutnya, Ayfa memalingkan muka sembari melipat tangan di dada.
Seakan ingat sesuatu, Zio kembali mendekat. "Ah iya, aku lupa."
Zio memeluk istrinya, mengusap beberapa kali rambut Ayfa. Ayfa terkekeh samar, akhirnya kode yang ia lemparkan dapat di terima dengan baik oleh sang suami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Be, Stuck With You
Romance[Sekuel : Don't Say You Love Me] [Di sarankan agar membaca Don't Say You Love Me terlebih dahulu, agar tau kehidupan awal mereka] Dia adalah sahabat ku. Dia adalah tunangan ku. Dan dia adalah pacar ku. Bagaimana jadinya jika teman hidup mu, adalah s...